Sejarah Minahasa

Revisi sejak 18 Februari 2016 05.56 oleh Derekhyahw (bicara | kontrib)


Minahasa adalah istilah yang merujuk kepada sebuah Budaya, ras atau suku bangsa. Sebagai Suku Bangsa, istilah ini merujuk kepada orang keturunan atau yang tinggal di tanah Minahasa.

Sejarah Minahasa
Daerah dengan populasi signifikan
Templat:Country data Kabupaten Minahasa+ 250.000
Templat:Country data Kabupaten Minahasa Selatan+ 200.000
Templat:Country data Kabupaten Minahasa Tenggara+ 80.000
Templat:Country data Kabupaten Minahasa Utara+ 100.000
Templat:Country data Kota Manado+ 350.000
Templat:Country data Kota Tomohon+ 80.000
Templat:Country data Kota Bitung+ 100.000
 DKI Jakarta+ 5.000
 Jawa Barat+ 5.000
 Jawa Tengah+ 5.000
 Jawa Timur+ 5.000
 Amerika Serikat+ 5.000
 Australia+ 1000
 Belanda+ 5000
Templat:Country data Pilipina+ 1000-sekitar 5000
Negara lainnya+ 10000
[1]
Bahasa
bahasa Minahasa, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan lain-lain.
Agama
Agama Kristen, Agama Katolik, Agama Islam, Agama Budha.
Kelompok etnik terkait
Belanda, bangsa Semitik, terutama orang Indonesia.

Berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada suku bangsa yang berasal dari keturunan Sem (Kejadian 10) Keturunan Toar Lumimuut (yang juga bernama "Minahasa") . Etnis Minahasa juga termasuk Minahasa yang tidak berbudaya Minahasa tetapi beridentitas Minahasa dari segi tradisi.

Budaya Minahasa adalah kombinasi antara agama dan suku bangsa. Budaya Minahasa dibahas lebih lanjut dalam artikel Budaya Minahasa; artikel ini hanya membahas dari segi sejarah suku bangsa saja. Kepercayaan semata-mata dalam Budaya Minahasa tidak menjadikan seseorang menjadi Minahasa. Di samping itu, dengan tidak memegang kepada prinsip-prinsip agama Minahasa tidak menjadikan seorang Minahasa kehilangan status Minahasanya. Tetapi, definisi Minahasa undang-undang adat Minahasa .

Etimologi

Kata " Minahasa" diambil menurut istilah musyawarah di Pinawetengan (keturunan langsung Toar Lumimuut) yang kemudian berkembang menjadi besar dinamakan menjadi Suku Minahasa.

Setelah berabad-abad turunan Minahasa berkembang menjadi bagian yang dominan dan mayoritas dari Bani Minahasa, sehingga sebutan Minahasa tidak hanya mengacu kepada orang-orang dari turunan di tanah Minahasa, tapi mengacu kepada segenap turunan dari Minahasa (Toar Lumimuut).

Pada awalnya bangsa Minahasa hanya terdiri dari satu kelompok keluarga di antara banyak kelompok keluarga yang hidup di tanah Sulawesi pada abad 1 SM. Ketika terjadi bencana kelaparan Tsunami, mereka tenggelam. Tersisa dua kelompok yaitu anggota keluarga Toar Lumimuut . dan kelompok Raja Sumendap.

Pada akhirnya keseluruh bangsa Minahasa, tanpa memandang warga negara atau tanah airnya, disebut juga sebagai orang-orang Minahasa. Meskipun sering mengklaim diri sebagai keturunan Toar Lumimuut. Minahasa (Kawanua) adalah keturunan bangsa Minahasa], oleh karena sulit untuk membuktikan secara biologis bahwa darah "orang Minahasa" secara langsung memiliki garis keturunan sebagai orang Minahasa, yang mengalami penyebaran dan keturunan mereka tidak kembali semuanya ke tanah air melainkan berbaur di antara penduduk bangsa-bangsa lain. Sementara orang Minahasa Malesung, yang beberapa kali mengalami penyebaran di zaman Pinabetengan dan sesudahnya, telah berpencar ke berbagai bangsa dengan mengggabungkan diri kepada suku-bangsa lainnya sehingga kehilangan identitas sebagai orang Minahasa asli walaupun mereka pernah tinggal di tanah air mereka sejak zaman Pinabetengan hingga zaman Kolonial Eropah Belanda. Sebab pada dasarnya siapapun orang dari berbagai etnis dan latar belakang dapat menjadi orang Minahasa baru (proselit).


Siapakah orang yang berhak disebut Minahasa?

Hukum budaya Minahasa, memberikan aturan Minahasa kepada seorang yang: Menikah dengan keturunan Minahasa dan atau tinggal di Minahasa.

  • Suku Bangsa Minahasa, suku bangsa ini terbagi lagi menjadi Sembilan suku.


Kelompok Minahasa

Dewasa ini ada sejumlah kelompok Minahasa utama:

  1. Suku Tontemboan
  2. Suku Tonsea
  3. Suku Tombulu
  4. Suku Tondano
  5. Suku Pasan
  6. Suku Ponosakan
  7. Suku Toundangow Tombatu
  8. Suku Tou Bantik
  9. Suku TonBabontewu Manado Tua, Bunaken

Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".

Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]

Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.

Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan provinsi masa kini.

Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.

Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mongondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic.

Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:

Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.

Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.

Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan Bolaang Mongondow. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Bolaang Mongondow adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian dari Bolaang Mongondow di Mangket.


Prasejarah

Benda Purbakala temuan Arkeology Masa Prasejarah

Temuan benda purbakala di Sulawesi Utara di antaranya gua-gua purba di Talaud, Minahasa, Bolaang Mongondow. Kubur batu Waruga yang bertebaran di Minahasa. Pada saat terjadi pengesekan (zaman glacial) di muka bumi pada masa Plestosin, pernah terjadi migrasi fauna dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara. Oleh sebab itu di Filipina dan di Sulawesi Utara terdapat peninggalan fosil-fosil binatang purba seperti gajah purba (stegodon) dan fosil hewan lainnya. Di Desa Pintareng di Tabukan Selatan di Pulau Sangihe, telah ditemukan adanya fosil-fosil gading dan geraham gajah purba tersebut. Menurut para ahli dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, fosil-fosil tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di Kepulauan Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu. Gajah purba ini selain di Pintareng telah ditemukan fosil-fosilnya di Sangiran, di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, di Lembah Cabenge di Sulawesi Selatan dan di Lembah Besoa di Sulawesi Tengah. Stegodon di dunia diperkirakan pernah hidup sejaman dengan binatang purba lainnya. Di Indonesia stegodon hidup dengan binatang-binatang purba lainnya seperti Rinocheros (badak purba) serta kerbau purba dan lain sebagainya. Dengan temuan fosil gajah purba di Pintareng, Tabukan Selatan Sangihe tersebut, maka sebenarnya pada masa lalu gajah pernah hidup di Pulau Sulawesi dan terutama di Sulawesi Utara.

Dengan ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang berupa beliung batu persegi di Liang Tuo Mane’e di Kabupaten Talaud dan di daerah lain di Sulawesi Utara. Disamping itu ditemukan pula sisa-sisa budaya masa logam tua (paleometalik) yang mengenal penggunaan tempayan kubur seperti yang ditemukan di Liang Buiduane di Talaud dan di Bukit Kerang Passo di Minahasa, serta peninggalan budaya megalitik (kebudayaan yang mengenal penggunaan batu-batu besar) tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi dan kepulauan Maluku Utara (Bellwood, 1978). Sehubungan dengan hal itu wilayah ini menurut para pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara (Solheim, 1966; Shuttler, 1975, Bellwood, 2001).

Pra Sejarah Minahasa

Budaya yang dibawa oleh suku bangsa penutur bahasa Austronesia meninggalkan warisan-warisan budaya yang terdiri dari alat-alat batu neolitik beliung persegi, benda-benda yang terbuat dari batu-batu besar (megalitik) dan penguburan dengan menggunakan tempayan tanah liat. Warisan budaya semacam itu banyak ditemukan peninggalannya di Sulawesi Utara. Alat-alat batu neolitik telah ditemukan di gua-gua di daerah Talaud, di Guaan Bolaang Mongondow dan daerah Oluhuta yang sebelum pemekaran wilayah daerah itu termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Utara. Demikian juga benda-benda megalitik banyak ditemukan di Sulawesi Utara dalam bentuk kubur batu waruga, batu bergores watu pinabetengan, menhir ‘watu tumotowa’, kubur tebing batu Toraut dan lesung batu, yang umunnya ditemukan di Tanah Minahasa dan Bolaang Mongondow. Sedangkan kubur tempayan tanah liat ditemukan di beberapa daerah seperti di Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas Minahasa, di Liang Buiduane Salibabu, di Tara-tara, Kombi dan di beberapa daerah lainnya.

Kapak Lonjong Kapak zaman ini disebut kapak lonjong karena penampangnya berbentuk lonjong. Ukurannya ada yang besar ada yang kecil. Alat digunakan sebagai cangkul untuk menggarap tanah dan memotong kayu atau pohon. Jenis kapak lonjong ditemukan di Maluku, Papua, dan Sulawesi Utara.


Sejarah

Sejarah Peradapan di Sulawesi Utara

Sejarah peradaban manusia di daerah ini cukup panjang dan menarik. Daerah ini pada jaman es melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian daratan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan daratan Asia. Setelah jaman es berakhir, Sulawesi Utara menjadi daratan yang membentuk jazirah Pulau Sulawesi dan kepulauan di bagian Utaranya.

Selain daratan yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, Sulawesi Utara juga terdiri dari pulau-pulau yang jumlahnya cukup banyak, lebih dari 150 pulau. Daerah ini mempunyai karakter alam yang khas yaitu dataran tinggi lebih luas dari dataran rendahnya, memiliki banyak gunung berapi dan sebagian besar masih aktif termasuk gunung api bawah laut, memiliki banyak gugusan karang yang membentuk pulau-pulau, selain itu kerak bumi daerah ini berdekatan bahkan sebagian berada tepat di daerah terjadinya proses subduksi (perbenturan) lempeng-lempeng (plates) tektonik antara lempeng Pasifik-Filipina-Australia dengan lempeng Sangihe dan Halmahera. Bahkan terletak dekat dengan pertemuan lempeng-lempeng dunia seperti lempeng Pasifik, Eurasia dan Australia.

Posisi di daerah subduksi inilah yang menyebabkan kemunculan gunung-gunung berapi dan sering terjadinya berbagai gempa bumi di daerah ini sejak jaman dahulu kala. Gunung-gunung berapi Sulawesi, Halmahera dan Sangihe, adalah merupakan hasil zona subduksi lempengan Sangihe dan Halmahera.

Sebagian besar lempengan Maluku telah tertindih (tersubduksi) oleh zona subduksi Halmahera di bagian Timur dan oleh zona subduksi Sangihe di bagian Barat. Gunung-gunung berapi di Sulawesi, Sangihe dan Halmahera diberi pasokan magma yang dibangkitkan di mantle asthenospherik yang termodifikasi oleh fluida yang dihasilkan dari lempengan Maluku yang tertindih. Dalam beberapa juta tahun semua lempengan Laut Maluku akan tersubduksi dan lempengan Sangihe serta Halmahera yang sudah saling menindih pada ujung-ujung lempengannya akan bertabrakan hebat (Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadile, 2008: hal. 12, 144-149).

Fenomena alam yang telah digambarkan tersebut, disatu sisi telah menyebabkan berbagai bencana seperti bencana gempa bumi atau letusan gunung api yang mendatangkan kesulitan bagi masyarakat. Akan tetapi d sisi lain telah menberi warisan yang berupa keindahan alam dan kekayaan alam yang menguntungkan bagi masyarakat. Warisan yang menguntungkan itu antaralain keindahan alam pegunungan maupun bahari termasuk keindahan terumbu karang bahkan juga hasil rempah-rempah yang sudah terkenal di dunia sejak ratusan tahun lalu, adalah merupakan warisan yang menguntungkan masyarakat. Demikian juga warisan alam yang berupa logam bernilai ekonomis tinggi seperti emas, perak, timbal, seng dan tembaga. Semua itu telah terekam di dalam dokumen-dokumen sejarah alam daerah ini.

Dari uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa Sulawesi Utara berdasarkan alamnya, terkenal keseluruh dunia dengan kekhasan dan kekayaan alamnya yang indah dan subur, dengan adanya taman-taman laut seperti Bunaken maupun adanya tambang-tambang emas, serta tanaman cengkih-pala dan perkebunan kelapa yang sangat luas, demikian juga dengan fauna langkanya seperti Anoa, Maleo, Tarsius dan lain sebagainya.

Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa tanda-tanda kehidupan manusia di Sulawesi Utara sudah berlangsung sejak 30.000 tahun yang lalu seperti yang ditemukan buktinya di gua Liang Sarru di Pulau Salibabu. Bukti yang lain menunjukkan adanya kehidupan sekitar 6.000 tahun lalu di Situs Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas dan 4.000 tahun yang lalu sampai awal Masehi di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang. Kemudian muncul kebudayaan megalitik berupa kubur batu ‘waruga’, menhir ‘watutumotowa’, lumpang batu dan lain-lain sejak 2.400 tahun yang lalu sampai abad 20 Masehi di Bumi Minahasa. Selain itu Sulawesi Utara pada masa lalu merupakan wilayah penghasil rempah-rempah, beras, dan emas yang potensial yang menjadi ajang pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi antara bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Kerajaan-kerajaan di sekitar daerah ini, yang akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962: 93-100). Pada masa lalu daerah ini juga menjadi route perdagangan antara barat dan timur serta penyebaran agama Kristen, Islam maupun kepercayaan atau agama yang di bawa oleh pedagang-pedagang Cina. Sulawesi Utara juga berperan dalam perjuangan-perjuangan kemerdekaan dengan munculnya pahlawan-pahlawan asli dari daerah ini.

Wilayah Indonesia Timur termasuk daratan Sulawesi Utara dan kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, sejak dahulu adalah merupakan wilayah yang strategis di kawasan Pasifik, karena merupakan jembatan penghubung antara kawasan Asia dengan Kepulauan Pasifik (Bellwood, 1996; Veth 1996). Pada masa lalu wilayah ini menjadi bagian dari route perjalanan migrasi fauna dan manusia beserta kebudayaannya. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa di dalam migrasi fauna prasejarah pernah melewati dan singgah di wilayah ini adalah ditandai dengan adanya fosil gading gajah purba (stegodon) yang ditemukan di Pintareng, di Kabupaten Kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara (Husni, 1996/1997, 1999), dan geraham binatang purba di lembah Napu di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, serta fosil-fosil binatang purba lainnya di Cabenge di Sulawesi Selatan (Santoso, 2001, 2002, 2003).


Era klasik

Kekaisaran Tiongkok dimasa Dinasti Tang (618–907) Masehi telah mencapai kemajuan besar dalam pengetahuan, perdagangan sehingga pelaut-pelaut Tiongkok yang hilir-mudik melewati Kepulauan Sulawesi menuju daerah rempah-rempah Maluku. Salah satu komoditi yang dibeli adalah Damar, yang merupakan hasil bumi Tanah Minahasa. Dalam peta dunia yang di terima oleh pelaut Portugis, dari peta pelayaran Tiongkok, telah di catat nama Manado dan Celebets Kalabat nama gunung tertinggi di utara Pulau Sulawesi. Damar merupakan komoditi dagang bukan hanya di masa Dinasti Tang, bahkan jauh sebelumnya masa Yosep dari Kerajaan Mesir disebutkan Damar menjadi salah satu bahan penting untuk (Kejadian 37:25). Cengkeh sejak dulu sudah menjadi bahan dagangan yang dicari oleh para pedagang India. Dalam kitab Raghuvamsa karangan Kalidasa yang menurut para ahli hidup sekitar tahun 400 M disebut Lavanga (cengkeh) yang berasal dari dvipantara. Wolter percaya bahwa yang dimaksud dengan dvipantara adalah Kepulauan Indonesia.

Dari Cina tercatat Dinasti Han, memanfaatkan keharuman cengkeh sebagai penyegar nafas. Pada abad ke-4, pemimpin Dinasti Han dari Tiongkok memerintahkan setiap orang yang mendekatinya untuk mengunyah cengkeh agar nafasnya harum. Semua yang hendak bertemu dan berinteraksi dengan Kaisar Cina diharuskan mengulum atau mengunyah cengkeh untuk menghindarkan kaisar dari bau nafas tak segar.

Selain oleh bangsa Cina, cengkih telah lama digandrungi orang-orang Mesopotamia. Dari penemuan arkeologi peradaban Sumeria (peradaban purba di selatan Mesopotamia, tenggara Irak) diketahui cengkeh sangat populer di Syria pada 2400 SM. Ini bukti yang sangat kuat bahwa perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Maluku sudah ada sejak zaman purba. Catatan mengenai popularitas cengkeh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati. Dari rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada 1700 SM, ia menemukan wadah berisi cengkeh.

Pada masa lalu, harga cengkeh cukup mahal. Cengkeh sangatlah mahal pada zaman Romawi. Cengkeh jadi bahan tukar menukar oleh bangsa Arab di abad pertengahan. Cengkeh banyak digunakan sebagai bumbu, baik dalam bentuknya yang utuh atau sebagai bubuk. Minyak esensial dari cengkeh juga mempunyai fungsi anestetik dan antimikrobial. Minyak cengkeh sering digunakan untuk menghilangkan bau nafas dan untuk menghilangkan sakit gigi. Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga yang dapat digunakan untuk aneka keperluan mulai dari perasa makanan, minuman, obat-obatan. Inilah yang menarik kedatangan bangsa Eropah, Pada abad pertengahan (sekitar 1600 Masehi) cengkeh menjadi salah satu rempah yang paling populer dan mahal di Eropa, melebihi harga emas. Pada akhir abad ke 15, orang Portugis membawa banyak cengkeh yang mereka peroleh dari kepulauan Maluku ke Eropa. Pada saat itu, harga 1 kg cengkeh sama dengan harga 7 gram emas. Perdagangan cengkeh akhirnya didominasi oleh orang Belanda pada abad ke 17. Dengan susah payah, orang Perancis berhasil membudidayakan pohon Cengkeh di Mauritius pada tahun 1770. Cengkeh lalu dibudidayakan di Guyana, Brasilia dan Zanzibar. Pada abad ke 17 dan ke 18 di Inggris, harga cengkeh sama dengan harga emas karena tingginya biaya impor.

Prasasti Pinawetengan yang ditemukan di dekat Kota Kawangkoan adalah sumber tertulis tertua di Sulawesi Utara, yakni bertahun 670. Pada masa Kerajaan Singhasari, Raja Kertanagara melakukan ekspansi hingga ke Melayu. Pada era Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk, wilayahnya hingga mencapai Malaka, dan Kepulauan Filipina. Bukti awal masuknya kong Hu chu dan Islam ke Minahasa adalah adanya makam nisan di Manado, serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Kampung Arab, Kampung Ternate.

Masa Di Temukannya Tulisan

 
KAWASARAN

Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut, pada awalnya para leluhur orang minahasa bermukim di sekitar pegunungan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nietakkan (dekat tompaso baru). Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema. Karema, sebagai Kepala Ibadah Minahasa, dan Lumimuut dan Toar adalah Raja dan Ratu Kerajaan Malesung dan leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Demikian kata David Lumoindong karena dimasa ini belum adanya system pemerintahan demokrasi. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.

Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat

Prasasti Pinawetengan

 
Prasasti Pinawetengan

Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. dikaki gunung Soputan, telah tertimbun tidak terlihat lagi di permukaan tanah, nanti tahun 1880 baru di gali atas usul Riedel kepada para Kepala Walak dan Pakasaan. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Hanya saja pengertian yang di turunkan turun temurun melalui hikayat sastra menjelaskan artinya. Minahasa masuk dalam masa sejarah catatan sejak tahun 670 demikian menurut tulisan David DS Lumoindong, di dapat dari penemuan berita mengenai Minahasa. Tetapi kalau dilihat sejak adanya tulisan maka bukti penulisan di Batu Pinawetengan yang di perkirakan tahun 670 Masehi menurut JGF Riedel.


Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahan

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).

Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.

Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.

Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut di mana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.

Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.


Dewan Musyawarah

Dalam membangun kesatuan dan kerjasama antar Negara anggota konfederasi Minahasa maka di bentuklah suatu pertemuan antar Kepala Pakasaan kepala Negara, untuk bermusyawarah ini kemudian hari disebut Dewan Wali Pakasaan. Dewan Musyawarah ini di mulai sejak musyawarah di Tombaso sekitar tahun 670 M yang menghasilkan deklarasi Watu Pinawetengan, sekalipun berbeda-beda di empat penjuru mata angin tapi tetap menyatu MInahasa. Musyawarah ini dimasa Belanda namanya Musyawarah Para Ukung (Vergadering der Doopshoofden) atau Dewan Wali Pakasaan (Raad der Doopshoofden); merupakan lembaga tertinggi dalam masyarakat Minahasa yang bertahan hingga akhir abad ke-19. Dewan Wali Pakasaan dapat menangani dengan dinamis berbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat.


Minahasa Raad

Lembaga Musyawarah Para Ukung (Vergadering der Doopshoofden) atau Dewan Wali Pakasaan (Raad der Doopshoofden); di plesetkan oleh Johannes Wenzel saat menjadi residen pada tanggal 1 September 1825, ia menghapus Dewan Wali Pakasaan, lalu mengantinya dengan Minahasaraad purba; kemudianMinahasaraad purba diubah berdasarkan undang-undang desentralisasi 1905 yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda, namun di Minahasa nanti diberlakukan tahun 1919 dengan namaMinahasaraad. Domeinverklaring, yaitu pemerintahan langsung Belanda atas Minahasa ditolak oleh Minahasa termasuk Manado yang saat itu masih termasuk wilayah Minahasa melalui staadblad Nomor 65. Penolakan pemerintahan langsung Belanda atas Minahasa-Manado mendorong pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan koningen yang isinya memberikan parlemen (DPR) kepada Minahasa pada tahun 1919, yang dikenal dengan nama dewan Minahasa, yang dalam bahasa Belanda disebut Minahasaraad.

Adapun gedung Minahasaraad didirikan di Manado karena (Keresidenan) Manado menjadi pusat perkantoran dan administrasi waktu itu dan berdekatan dengan Benteng Amsterdam.

Menurut Max Laurens Tamon dalam penelitian berjudul Dari Mina’esa ke Minahasa Raad (Dewan Minahasa) Akhir Abad ke-19 Sampai Awal Abad ke-20 (Universitas Indonesia, Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya, Program Studi Perencanaan & Kebijakan Publik, 2000), setelah Johannis Wenzel dikukuhkan tanggal 1 September 1825 sebagai Residen Manado, ia menerapkan sistem hukum barat dan gaya pemerintahan sesuai undang-undang desentralisasi 1905 dan berlaku di seluruh wilayah Hindia Belanda. Kondisi yang diciptakan Wenzel lambat laun menjadi pemicu bagi masyarakat Manado dan Minahasa, khususnya bagi mereka yang telah berpendidikan barat, untuk menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberikan otonomi seluas-luasnya. Tuntutan itu bersandar pada tiga alasan mendasar, yaitu : pertama, telah ada undang-undang desentralisasi (decentralisatieweb) 1903 tentang otonomisasi di Hindia Belanda; kedua, kuatnya dorongan tradisi; ketiga, walaupun ada beberapa orang Minahasa yang duduk sebagai anggota Volksmad, akan tetapi kepentingan masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam lembaga itu. Minahasaraad didirikan oleh residen Manado (1919-1922), Fredrik Hendrik Willem Johan Rijken Logeman pada tanggal 8 Februari 1919. Minahasa Raad (Dewan Minahasa), yang menggantikan fungsi dari Dewan Wali Pakasaan yang telah diselewengkan oleh J. Wenzel. Namun, pembangunan gedung kantor nanti dimulai tahun 1930 dan selesai pada tiga tahun berikutnya. Pembentukan Minahasaraad seiring dengan Manado Gemeenteraad berdasarkan locale raden-ordonnantie. Mula-mula anggota Minahasaraad ditentukan, kemudian dipilih langsung oleh rakyat. Namun yang bisa menjadi anggota Minahasaraad hanya laki-laki. Tetapi kemudian kaum wanita juga boleh masuk setelah diperjuangkan oleh Maria Josephine Catherina Maramis alias Maria Walanda Maramis pada tahun 1921. Semula anggota Minahasaraad 23 orang, yaitu 4 orang Belanda, 18 orang Minahasa dan 1 orang etnis Cina. Setelah itu jumlah anggota bertambah menjadi 41 orang, lalu tahun 1923 turun lagi menjadi 18 orang. Minahasaraad didirikan oleh residen Manado (1919-1922), Fredrik Hendrik Willem Johan Rijken Logeman pada tanggal 8 Februari 1919. Namun, pembangunan gedungnya nanti dimulai tahun 1930 dan selesai pada tahun 1933. Pembentukan Dewan Minahasa (Minahasaraad) dan dewan kota Manado (Gemeenteraad ) dilakukan bersamaan berdasarkan locale raden-ordonnantie. Eks gedung bersejarah Minahasaraad terletak di pusat kota Manado. Dikelilingi oleh sejumlah bangunan dan jalan. Arah sebelah tenggara dibentengi landmark Zero Point kota Manado; sebelah barat berhadapan dengan Wilhelminalaan (sekarang Jl. Sam Ratulangi) dan eks kantor Keresidenan Manado (sekarang kantor pusat Bank Sulut); arah sebelah utara menghadap Jl. Sudirman; dan arah sebelah timur membelakangi gedung Juang ’45 Manado. Semula anggota Minahasaraad ditentukan, kemudian dipilih langsung oleh rakyat. Namun yang bisa menjadi anggota Minahasaraad hanya laki-laki. Tidak terwakilinya kaum wanita mendorong Maria Josephine Catherina Maramis yang menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda memperjuangkannya. Pada tahun 1921, usaha dan kerja keras Maria Maramis memperjuangkan wanita sebagai anggota Minahasaraad berhasil, yang ditandai dengan dikeluarkannya keputusan dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad. Tokoh lainnya yang memperjuangkan hak pilih kaum wanita agar sejajar dengan laki-laki adalah anggota Minahasaraad, Albertus Louis Waworuntu. Semula anggota Minahasaraad 23 orang, terdiri dari 4 orang Belanda, 18 orang Minahasa dan 1 orang etnis Cina. Kemudian menjadi 41 orang, lalu tahun 1923 anggotanya turun menjadi 18 orang. Selanjutnya pada tahun 1934, anggota Minahasaraad tercatat sebanyak 29 orang terdiri dari 18 orang Minahasa, yang dipilih langsung oleh rakyat dalam 16 distrik pemilihan; 6 orang yang terpilih berasal dari kepala-kepala distrik di Minahasa. Anggota Minahasaraad terakhir pada tahun 1942 berjumlah 29 orang terdiri dari 4 orang Belanda, 24 orang Minahasa dan 1orang etnis Cina.

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi adalah penduduk pribumi pertama menjadi anggotaMinahasaraad dan merangkap sebagai sekretaris Minahasaraad (1923-1928). Dalam Regerings Almanak 1922 tercantum nama-nama anggota Minahasaraad, Selain Dr. G S S J. Ratulangi, anggota Minahasaraad lainnya sebagaimana tercantum di dalam Regerings Almanak 1922 adalah: Theodorus Estefanus Gerungan, Alber W.R Inkiriwang, Apeles J.H.W. Kawilarang, B. Lalamentik, J.E. Lucas, R.E. Lucas, A. J Maengkom, Jan Hendrik Mononoetoe, Josef Ulrich Mangowal, P. Mamesah, Petrus Arnoldus Mandagie, Petrus Tingolou Momuat, A.F. Najoan, B. Parengkuan, G.J. Palar, Herling Pande-Iroot, Ernest Hendrik L. Willem Pelenkahu, G. van Renesse van Duivenbode, Ezau Rotinsulu, Peter Frederick Ruata, H. Rorimpunu, Paul Alexander ‘Ande’ Ratulangi, Sie Lae Hoeat, Alexander ‘Ajeh’ Hendrik Daniel Supit, L. Saerang, R.C.J Sondakh, J. Stormer, Jan Nicolaas Tambajong, W.F. Tumbuan, Z. Taloemepa, Albertus Louis Lasut Waworuntu, Exaverius ‘Pius’ Walewangko Jacob Waworuntu, Joost Alexander Karel Wenas, W.A. Wakkary, dan A.A. Warokka.

Riwayat gedung Minahasaraad sendiri baru dimulai tahun 1930. Setelah 10 tahun beraktifitas, dewan memutuskan segera menempati gedung tersendiri. Diputuskan akan dibangun di lahan taman penjara Manado, yakni di depan timur kantor Keresidenan Manado (sekarang kantor pusat Bank Sulut), yang dipisahkan oleh Wilhelminalaan, sekarang Jalan Sam Ratulangi.

Mantan Rektor Unsrat Prof. W.J. Waworuntu, menyebut biaya pembangunan gedung Minahasaraad ini diusahakan oleh Dr. G.S.S.J. RatuLangi (1890-1949). Sebelumnya ia menjadi Sekretaris Minahasa Raad tahun 1923-1928. Waktu jadi anggota Volksraad (antara 1928-1937), ia melobi Sultan Kutai di Kalimantan agar meminjamkan sejumlah uang untuk pembangunan gedung ini. Sultan langsung menyetujui pinjaman sebesar f 11.000 gulden kepada Minahasaraad dengan syarat pengembalian harus dicicil per tahun 1000 gulden (cicilan ini baru dilunasi 11 tahun kemudian tahun 1930 hingga 1941). Pembangunan gedung dilaksanakan tahun 1930 dan selesai pada tahun 1933.

Walaupun gedung Minahasaraad telah dibangun, namun pemanfaatannya tidak maksimal. Pemanfaatannya secara penuh nanti terjadi pada tahun 1945-1946, yaitu setelah Perang Dunia II berakhir. Pertama dimanfaatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Minahasa Sementara(Voorlopige Minahasaraad,) (semacam DPR Minahasa Sementara) semasa NICA, pemanfaatannya dilanjutkan oleh Dewan Minahasa pasca pengakuan kedaulatan RI tahun 1949. Pada masa Pergolakan Permesta tahun 1958-1961, pemanfaatan gedung kurang maksimal karena beberapa anggota Dewan ikut terlibat Permesta.

Pada tahun 1962, ketika pemerintah daerah Minahasa dipindahkan dari Manado ke Tondano, gedungMinahasaraad dijual kepada Penguasa Perang Daerah (Peperda), dalam hal ini TNI-AL dengan harga pada saat itu Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah); dan selama lebih dari 20 tahun, eks gedungMinahasaraad dijadikan Markas Komando TNI-AL Daerah VI. Setelah Markas Komando TNI-AL Daerah VI menempati gedung baru di Kairagi, eks gedungMinahasaraad disewakan oleh pihak TNI-AL sebagai tempat kursus, rumah makan, usaha kecil dan sejumlah usaha lainnya. Akibatnya kondisi bangunan eks gedung Minahasaraad mengalami kerusakan yang parah. Dindingnya dibobol sesuka hati oleh para penyewa. Kebersihan dan sanitasinya tidak terawat dengan baik. Sebagian ruangan dan halamannya telah dijadikan pemukiman yang kumuh. Kondisi tersebut membuat masyarakat dan sejumlah LSM mendesak pemerintah agar mengambil alih gedung yang memiliki nilai sejarah ini. Pada tahun 2007, pemerintah provinsi Sulawesi Utara mengambil alih eks gedung Minahasaraad dari Lantamal VIII TNI-AL melalui tukar guling dengan sejumlah tanah dan aset pemerintah provinsi Sulawesi Utara dengan harga 10 miliar rupiah. Aset pemerintah Sulawesi Utara yang dipakai untuk tukar guling dengan eks gedung Minahasaraad terdiri dari tanah pemerintah provinsi Sulawesi Utara di Kawiley Minahasa Utara seluas 10 ha, pembuatan pagar pengaman tanah, 11 unit kendaraan operasional merek Toyota, sebidang tanah di kelurahan Bumi Beringin, gedung mess perwira, dan biaya pemeliharaan sarana/kendaraan bermotor angkutan darat. Kini kondisi eks gedung Minahasaraad yang bersejarah itu sudah tertata rapi, dan telah menjadi ikon sejarah perjalanan demokrasi bangsa Minahasa pada khususnya dan daerah Sulawesi Utara pada umumnya.


Pengembangan Suku {Pemekaran}

Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan, Toumbulu', Tonsea dan Toundanou.

Pakasa’an Tontemboan

Tountumaratas (TonTemboan) Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah PAKASA'AN yang beraasal dari kata ESA. PAKASAA'AN berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Pakasa’an di Minahasa zaman sebelum Kolonial sudah berubah di mana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua pemerintahan negara otonom menjadi : Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumoo'ong dan Sonder.


Pakasa’an TonWuluh Tombuluk

Berpusat di Maiesu kemudian mengalami pemekaran pemerintahan menjadi : Ton Kinilow, Toum Wariri, Kakaskasen, Masyarakat tombuluh sejak zaman Batu Pinawetengan abad ke–7 tetap utuh satu Pakasa'an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah WANUA berkembang menjadi dua pengertian yaitu: desa/kampong dan bangsa

Pakasa’an TonTewoh TonSea

A. Tountewu berubah nama jadi Tounsea, berpusat di Niaranan kemudian mengalami pemekaran pemerintahan menjadi : Kemudian Pakasa'an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni maumbi, kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.

B. Sekelompok masyarakat Tountewo membangun kediaman di pinggiran danau disebut Tolour, kemudian disebut Toundano. Kaum Tondano terbagi lagi menjadi dua yakni: 1. Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano. Masyarakat di sekitar danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken. 2. Masyarakat yang pergi ke Danau Bulilin disebut "Toundanau" yang bermukim di wilayah Tonsawang dan Tombatu.

Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa'an Tonsea dan Pakasa'an Tondano.

Sekelompok masyarakat Tountemboan bersama dengan TounTewo membangun kediaman di sekitar Danau Bulilin; yang kemudian membangun Pakasa’an Toundanouw dan Touwuntu.

Sekelompok masyarakat Pakasa’an Touwuntu Tondangow kemudian membangun  :

  1. Touwuntu  menjadi walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan (Ponosakan). 
  2. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.


Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang datang belakangan, mereka tersebar dimasa perang Minahasa-Bolaang Mongondow diantaranya di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Telebusu (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Dalam Buku Sejarah Lengkap Minahasa oleh David DS Lumoindong dijelaskan suku Tow Bantik adalah keturunan Toar-Lumimuut yang berdiam menjaga perairan di wilayah utara di kepulauan Sangihe-Talaud, kemudian terjadi bencana alam Tsunami maka merekapun mengungsi ke daratan Sulawesi Utara di sekitar Bolaang-Mongondow, kemudian dimasa perang Minahasa melawan Bolaang-Mongondow mereka menjadi pasukan Bolaang-Mongondow menyerbu dan menduduki beberapa wilayah di Minahasa, setelah selesai perang tahun 1690 dan di sepakatinya perdamaian, maka mereka memilih tetap tinggal di Minahasa bergabung dengan suku bangsa perserikatan Minahasa.


Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.


Tugu Dotu Lolong Lasut

Merupakan makam dari Dotu Lolong Lasut yang lahir pada bulan November 1450 dan meninggal pada tahun 1520. Pada nisan tugu tersebut tertulis : Dotu Lolong Lasut alias Ruruares Teterusan dan Kepala Agama suku Tombulu yang sudah merintis dan membangun TUMANI negeri WENANG kemudian berkembang menjadi Manado.

Dotu Lolong Lasut adalah seorang tokoh perjuangan yang berhasil mengusir penjajah dari Portugis untuk menjajah Wenang pada saat itu. Oleh karena itu nama Dotu Lolong Lasut tetap dikenang sepanjang masa oleh masyarakat SULUT lebih khusus masyarakat Manado dan Minahasa.


Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan demokrasi, pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan. Kemudian mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat


Kepala Pemerintahan

Kepala kampung adalah Ukung Tua (seorang pemimpin yang di tuakan). Sedangkan untuk memimpin gabungan wanua maka di kepalai Kepala Walak. Sedangkan untuk memimpin perserikatan Konfederasi diangkat Ketua Dewan Pakasaan.

Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TomBulu berturut-turut diantaranya :

Tonaas Wangko Muntu-Untu abad 7 Masehi Tonaas Wangko Pinontoan-Lokon 8 M Tonaas Wangko Ahkaimbanua Abad Tonaas Wangko Pukul Tonaas Wangko Rares-empung Tonaas Wangko Lumoindong, Abad 9 pemimpin Tombulu semasa pusat pemerintahan masih di Kinilow Tua, dimasanya terjadi bencana hebat tapi oleh kebijaksanaan maka masyarakat dapat diselamatkan, itu sebabnya dimasa lalu sebuah gunung di Tomohon Gunung Masarang di mana ia tinggal dinamakan sesuai dengan namanya.

Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TonTemboan diantaranya :

Tonaas Wangko Kopero pemimpin musyawarah pertama di Pinawetengan (Tompaso)

Pemerintahan Pasan Ponosakan dan Tondangow/Tonsawang menerapkan sistem Kerajaan. Para raja yang pernah berkuasa di Ratahan diantaranya :

Dotu Lensang Alu, Dotu Soputan, kepala walak wilayah itu. Abad 15 Dotu Watulumanap, Dotu Raliu abad 16 kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman. Dotu Antou, Mayor Maringka, akhir abad 18. Mayor Soputan [Baca Buku : Sejarah Kerajaan dan Pemerintahan di Minahasa oleh David DS Lumoindong]


Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TonSea diantaranya :

Tonaas Wangko Maramis Tonaas Wangko Dotulong dimasanya maka ia membuat surat pengakuan negara Belanda atas kepemilikannya terhadap pulau Lembeh.

Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di ToLour diantaranya :

Tonaas Wangko Singal Tonaas Wangko Gerungan (Dotu Gerungan, hidup kurang lebih antara Tahun 1550-1650-an) adalah pemimpin Tondano, Bahasa Minahasa Suku Toulour/Toudano/Tondano yaitu Walak (Kepala Suku) dan Teterusan (Kepala Perang) Tondano pada masa hidupnya, dengan tujuan menjaga wilayah suku Tondano dan menghalau para musuh yang menyerang. Dotu Gerungan merupakan salah satu dari pahlawan-pahlawan atau panglima perang Minahasa yang mengalakan musuh-musuh yang menyerang tanah Minahasa

Era Kolonial

Pada akhir abad ke-16, Portugis dan Spanyol tiba di Sulawesi Utara. Saat bangsa Eropa datang, Kesultanan Ternate memiliki pengaruh di Sulawesi Utara, yang sering dikunjungi pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Kekayaan sumber daya alam Minahasa menjadikan Manado sebagai pelabuhan strategis bagi pedagang-pedagang Eropa yang akan menuju dan pulang dari Maluku.

Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Sulawesi Utara, kapal Portugis berlabuh di pulau Manado dimasa Kerajaan Manado tahun 1521. Kapal Spanyol berlabuh di pulau Talaud dan Siau, terus ke Ternate. Portugis membangun benteng di Amurang. Spanyol membangun Benteng di Manado, sejak itu Minahasa mulai di kuasai Spanyol. Perlawanan melawan penjajahan Spanyol memuncak tahun 1660-1664. Kapal Belanda mendarat di Kota Manado pada tahun 1660 dalam membantu perjuangan Konfederasi Minahasa melawan Spanyol. Perserikatan negara-negara republik anggota Konfederasi Minahasa mengadakan Perjanjian Dagang dengan VOC. Perjanjian kerjasama dagang ini kemudian menjadikan VOC memonopoli perdagangan, yang lama kelamaan mulai memaksakan kehendaknya, akhirnya menimbulkan perlawanan tahun 1700 an di Ratahan yang memuncak pada Perang Minahasa-Belanda tahun 1809=1811 di Tondano.

Bangsa Spanyol telah menjajah Kepulauan Filipina pada waktu itu dan Minahasa dijadikan perkebunan kopi yang didatangkan dari Amerika Selatan karena tanah Minahasa yang subur. Manado kemudian lebih dikembangkan oleh Spanyol untuk menjadi pusat perdagangan kopi bagi pedagang-pedagang Tiongkok. Dengan bantuan suku-suku Minahasa yang menjadi sekutu, Spanyol merebut benteng Portugis di Amurang pada 1550-an, dan kolonis Spanyol kemudian membangun benteng di Manado, sehingga akhirnya Spanyol menguasai seluruh Minahasa. Pada abad ke 16 salah satu komunitas Indo-Eurasia pertama di Nusantara muncul di Manado. Raja pertama Manado, Muntu Untu (1630) sebenarnya merupakan keturunan setengah Spanyol.

Spanyol kemudian menyerahkan Minahasa kepada Portugis dengan ganti 350,000 ducat dalam sebuah perjanjian. Para penguasa Minahasa mengirim Supit, Pa’at, dan Lontoh untuk bersekutu dengan Belanda untuk mengusir bangsa Portugis dari Minahasa. Pada 1655 mereka akhirnya unggul, membangun benteng mereka sendiri pada 1658 dan mengusir orang Portugis terakhir beberapa tahun kemudian.

Pada awal abad ke-17 Belanda telah menumbangkan kesultanan Ternate, dan mulai menutup pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara. Pada 1677 Belanda menguasai kepulauan Sangir dan, dua tahun kemudian, Robert Padtbrugge, gubernur Maluku, mengunjungi Manado. Kedatangannya menghasilkan perjanjian dengan para kepala suku Minahasa yang berujung pada dominasi Belanda selama 300 tahun berikut meskipun pemerintahan langsung oleh Belanda hanya bermula pada 1870.

Bangsa Belanda membantu mempersatukan konfederasi Minahasa, dan pada 1693, bangsa Minahasa memperoleh kemenangan militer mutlak melawan suku Mongondow di selatan. Pengaruh Belanda bertumbuh subur seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan budaya Eropa di tanah Minahasa. Sekolah-sekolah misionaris di Manado pada 1881 merupakan salah satu upaya pertama pendidikan masal di Indonesia, memberikan kesempatan bagi lulusannya memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri, ketentaraan, dan posisi tinggi lainnya dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Hubungan Minahasa dengan Belanda seringkali kurang baik. Terjadi perang antara Belanda dan Tondano pada 1807 dan 1809, dan wilayah Minahasa tak berada di bawah pemerintahan langsung Belanda hingga 1870. Namun pada akhirnya Belanda dan Minahasa menjadi sangat dekat hingga Minahasa seringkali disebut sebagai provinsi ke-12 Belanda. Bahkan pada 1947, di Manado dibentuk pergerakan politis Twapro, singkatan dari Twaalfde Profincie (Provinsi Keduabelas) yang memohon integrasi Minahasa secara formal ke dalam Kerajaan Belanda.[2]

Benda Temuan Arkeology Masa Sejarah

Di antaranya Benteng-benteng Portugis di seperti di Amurang, Kema, Batu Waruga di Sawangan, Tomohon, Tondano, Tompaso kemudian tugu-tugu batu di semua desa yang disebut Batu Tumotowa.

Era kemerdekaan

Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het paleis van de Resident van Manado TMnr 10015308.jpg
Kantor gubernur Sulawesi Utara di Manado pada tahun 1951

Pendudukan Jepang pada 1942-45 merupakan periode deprivasi, dan pasukan sekutu membom Manado dengan hebat pada 1945. Selama periode masa kemerdekaan setelah itu, ada perpecahan di antara orang-orang Minahasa yang pro-Indonesia dan pro-Belanda. Penunjukkan Sam Ratulangi sebagai gubernur Indonesia Timur pertama kemudian sukses memenangkan dukungan Minahasa terhadap Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia terbagi menjadi 8 Provinsi, dan Sulawesi termasuk salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Sulawesi adalah S.G.J.Ratulangi, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional. Tahun 1948 di Sulawesi dibentuk Negara Indonesia Timur, yang kemudian menjadi salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Negara Indonesia Timur dibubarkan, dan bergabung ke dalam Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor UU 13 Tahun 1964, dibentuk Provinsi Sulawesi Utara. Tanggal=14 Agustus 1959 di tetapkan sebagai hari jadi provinsi.

Saat negara baru itu menghadapi krisis demi krisis, Monopoli kopra oleh Jakarta sangat melemahkan ekonomi Minahasa. Seperti di Sumatra, mulai timbul ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Minahasa karena inefisiensi, pembangunan tak merata, dan uang yang hanya mengalir ke Jawa.

Ekspor illegal bertumbuh subur pada 1956. Jakarta kemudian memerintahkan penutupan pelabuhan Manado, pelabuhan penyelundup terbesar di Indonesia pada waktu itu. Tak lama kemudian Permesta menghadapi pemerintah pusat meminta reformasi ekonomi, politik, dan regional. Jakarta menanggapi dengan membom Manado pada Februari 1958, kemudian menginvasi Minahasa pada Juni 1958, tapi hanya bisa mengakhiri pemberontakan Permesta pada 1961.

Permesta

Pada Maret 1957, para pemimpin militer Sulawesi Utara dan Selatan mengadakan konfrontasi dengan Jawa, dengan tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Mereka meminta pembangunan yang lebih aktif, pembagian pajak yang lebih adil, bantuan menghadapi pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan kabinet pemerintah pusat yang dipimpin oleh Sukarno dan Hatta dengan seimbang. Pada mulanya pergerakan ‘Permesta’ (Piagam Perjuangan Semesta Alam) hanyalah merupakan pergerakan reformasi daripada pergerakan separatis.

Negosiasi antara pemerintah pusat dan para pemimpin militer Sulawesi mencegah kekerasan di Sulawesi Selatan, tapi para pemimpin Minahasa tak puas dengan hasil perjanjian dan pergerakan tersebut pecah. Khawatir dengan dominasi selatan, para pemimpin Minahasa mendeklarasikan negara otonom Sulawesi Utara mereka sendiri pada Juni 1957. Pada saat itu pemerintah pusat telah mengontrol Sulawesi Selatan, tapi di Utara tak ada figur kuat pemerintah pusat dan ada rumor bahwa Amerika Serikat, dikabarkan mempersenjatai pemberontakan di Sumatera Utara, juga memiliki hubungan dengan para pemimpin Minahasa.

Kemungkinan adanya intervensi luar negeri mendorong pemerintah pusat meminta bantuan militer dari Sulawesi selatan. Pasukan Permesta kemudian dikeluarkan dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sangir, dan Morotai di Maluku. Pesawat-pesawat Permesta (disuplai oleh AS dan diterbangkan oleh Pilot Filipina, Taiwan, dan Amerika) dihancurkan. AS kemudian berpindah pihak, dan pada Juni 1958 tentara pemerintah pusat mendarat di Minahasa. Pemberontakan Permesta berakhir pada pertengahan 1961.

Efek dari pemberontakan Sumatra dan Sulawesi pada akhirnya meningkatkan apa yang ingin dilawan para pemberontak tersebut. Otoritas pemerintahan pusat meningkat sedangkan otonomi daerah melemah, nasionalisme radikal menguat dibandingkan moderasi pragmatis, kekuatan partai komunis dan Sukarno meningkat sedangkan Hatta melemah, dan Sukarno akhirnya menetapkan demokrasi terpimpin pada 1958.

Sejak reformasi 1998, pemerintah Indonesia mulai menetapan undang-undang yang meningkatkan otonomi daerah, ide utama yang diperjuangkan Permesta.


Tempat Wisata Purbakala

Kuburan Belanda

Di kuburan ini dimakamkan jasad beberapa orang bangsa Belanda yang meninggal dunia di Manado ketika mereka menduduki Indonesia.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengetahui sejarah pendudukan Belanda di Indonesia.

Terletak di Kelurahan Singkil Satu Kecamatan Singkil sekitar 20 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Velld Box

Velld box ini terbuat dari bahan beton berbentuk bundar yang merupakan bekas benteng pertahanan tentara Jepang pada masa penjajahan di Indonesia.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, antara lain melihat dan mengenal bekas benteng pertahanan tentara Jepang ketika menjajah Indonesia.

Tersebar di beberapa wilayah kota Manado, yakni Kelurahan Kleak, Wanea, Pakowa, Tuminting, Bumi Beringin, Istiqlal, dan Titiwungen Selatan.

Untuk ke lokasi Velld Box-Velld Box tersebut, dapat menggunakan transportasi darat dan jaraknya sangat dekat dengan pusat Kota Manado.

Meriam Kuno

Meriam Kuno yang dipajang didepan Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Utara dan Markas Korem 131/Santiago merupakan benda peninggalan sejarah pendudukan dan penjajahan di Indonesia.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal peninggalan sejarah.

Untuk ke lokasi tersebut, dapat menggunakan transportasi darat yang dapat ditempuh sekitar 15 menit dari pusat Kota Manado.

Batu Sumanti

Batu Sumanti adalah batu keramat bagi masyarakat Minahasa yang pertama mendiami kota Manado. Batu ini berdiri secara berjejer dan konon dari hari ke hari terus bertumbuh menjadi besar.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Tikala Ares Kecamatan Tikala sekitar 25 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Batu Bantik

Batu ini menjadi tempat persembunyian para leluhur anak suku Bantik dahulu. Mereka hanya akan keluar waktu itu jika hendak berbelanja atau mencari makan berupa biji kacang hijau yang di beli dengan alat tukar berupa manik-manik yang kini sering dijadikan batu cincin.

Batu Bantik merupakan batu keramat bagi anak suku Bantik dan masyarakat Kota Manado.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di kompleks Perumahan Bumi Beringin Kelurahanh Bumi Beringin Kecamatan Wenang sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Batu Kuangang

Diatas batu ini terdapat lubang-lubang kecil sebagai tempat permainan congklak bagi anak-anak. Konon lubang-lubang kecil itu dibuat oleh seorang leluhur anak suku Bantik Malalayang dengan menggunakan sikut tangannya.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Malalayang Satu Barat Kecamatan Malalayang sekitar 35 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Batu Buaya

Batu ini bentuknya menyerupai seekor buaya namun tidak berkepala. Konon batu tersebut adalah jasad dari seorang tonaas yang kalah berkelahi ketika itu.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Malalayang Satu Barat Kecamatan Malalayang sekitar 30 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Batu Ni Yopo

Batu Ni Yopo adalah batu keramat bagi anak suku Bantik Malalayang pada jaman dahulu, karena memiliki kekuatan supranatural.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Malalayang Satu Kecamatan Malalayang sekitar 30 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Batu Rana

Batu Rana adalah batu keramat bagi anak suku Bantik Malalayang pada jaman dahulu, karena memiliki kekuatan supranatural.

Diatas batu ini terdapat bekas tapak kaki dari seorang yang sakti ketika itu.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Malalayang Dua Kecamatan Malalayang sekitar 35 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Lima Batu

Lima Batu adalah batu keramat bagi anak suku Bantik Malalayang pada jaman dahulu, karena memiliki kekuatan supranatural.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Malalayang Satu Timur Kecamatan Malalayang sekitar 30 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Parigi Puteri

Parigi Puteri atau Sumur Puteri, merupakan tempat mandi dari seorang puteri bernama Karema. Konon Dia tercipta dari keringat yang keluar pada sebuah batu karang yang ketika itu tersengat matahari panas dimusim kemarau dan merupakan orang pertama yang mendiami tanah Malesung atau Minahasa.

Parigi Puteri menjadi parigi keramat bagi masyarakat Sulawesi Utara khususnya masyarakat kota Manado.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, adalah melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di kelurahan Dendengan Dalam Kecamatan Tikala sekitar 35 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat.

Parigi Tujuh

Dinamakan Parigi Tujuh karena terdapat dua sumber mata air yang masing-masing tempat memiliki 7 sumber mata air. Mata airnya keluar dari sela-sela batu besar dan sangat bening serta tidak pernah kering sekalipun di musim kemarau.

Konon pada jaman nenek moyang orang Minahasa, parigi atau sumur kecil ini menjadi tempat mandi dari 7 orang puteri yang berasal dari khayangan.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini, antara lain melihat dan mengenal cerita rakyat yang telah menjadi legenda.

Terletak di Kelurahan Kombos Timur Kecamatan Singkil sekitar 25 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat

Situs Minahasa Selatan

penemuan situs-situs kebudayaan di Minsel masing-masing di Kecamatan Tumpaan mendapati beberapa situs yakni Desa Popontolen berupa Waruga, Desa Matani terdapat 3 Waruga, Desa Tumpaan Satu 6 Veil Boks. Sedangkan di Kecamatan Amurang Timur Desa Lopana terdapat Sumur Tua Portugis, Kecamatan Suluun Tareran Desa Kapoya ada tiga Waruga, 1 Menhir/Watu Tumotowa dan 8 Goa/Bunker Perlindungan Penduduk Peninggalan Perang, Desa Pinapalangkow batu Menhir/Watu Tomotowa), 3 Goa/Bunker Perlindungan Penduduk Peninggalan Perang, Desa Suluun terdapat 3 batu Menhir/Watu Tumotowa1 Waruga, Kecamatan Tareran Desa Wuwuk Waruga & Watu Tumotowa, Desa Rumoong Atas ada Lonceng Gereja Tua/Buatan Belanda Di GMIM Rumoong Atas, Desa Lansot Waruga, Makam Penginjil Belanda, Kuburan Hukum Tua Pertama, Desa Wiau Lapi batu Menhir/Watu Tumotowa, Desa Tumaluntung 3 situs Watu Tumotowa/menhir, Desa Kaneyan Waruga, Lesung Batu, Lentuk Batu, Kecamatan Maesaan Desa Tumani, Tumani Barat, Lowian, Kinaweruan terdapat Lumpang Batu & Batu Dakon. Kecamatan Maesaan dan Tompasobaru Desa Pinaesaan Rumah Batu, lesung Batu & Taman Purbakala Watu Tiwa, Desa Bojonegoro Mesjid Tua Bojonegoro, Desa Tumani Makam Belanda, Desa Liandok Lesung Batu, Desa Tumani bakal Lesung Batu dan di Kecamatan Ranoyapo Desa Pontak Lesung Batu, Batu Dakon Tim Balai arkeologi Suluttenggo ini sudah melakukan penelitian juga melakukan pendataan serta pengukuran situs/benda cagar budaya & sejarah dan juga meneliti lokasi penemuan, mengambil dokumentasi objek, dan pengambilan sampel berupa pecahan gerabah di dekat lokasi objek untuk di analisa dan diteliti di laboratorium balai arkeologi, “Tim Arkeologi ini juga langsung melakukan/memasukan situs/objek temuan ke GPS agar bisa diketahui lokasi koordinatnya. Tim ini melakukan penelitian pada situs/objek yang baru pertama kali ditemukan dan belum terdata di Kantor balai Arkeologi Suluttenggo


Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama JVIL2012
  2. ^ The Fate of Federalism: North Sulawesi from Persatuan Minahasa to Permesta

Pranala luar

Informasi
* (Indonesia) Situs resmi pemerintah provinsi
Organisasi

Templat:Kehidupan Minahasa

Referensi


Lihat pula


Catatan kaki

Pranala luar


Templat:Suku Bangsa Indonesia Templat:Sejarah Suku Indonesia

Didahului oleh:
Keajaan Malesung
Konfederasi Minahasa di Sulawesi Utara
670 – 1810
Diteruskan oleh:
Rua Sistem dan Duapuluh Tujuh Walak

[[Republik {{{1}}}|{{{1}}}]] Templat:Sejarah Minahasa