Pelacuran

transaksi meliputi menawarkan hubungan seks dengan uang

Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).

Pelacur di Jerman

Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat prilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.

Pelacur

Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya.

Pandangan terhadap pelacuran

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.

Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik.

Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya."

Pandangan yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.

Pelacuran dalam sastra

Penyair W.S. Rendra pernah menulis dua buah puisi tentang pelacur yang lebih netral dalam "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta!" Bahkan lebih dari itu, dalam puisinya "Nyanyian Angsa", Rendra melukiskan Maria Zaitun, seorang pelacur, yang justru menjadi kekasih Tuhan, yang dikontraskannya dengan kaum agamawan yang menjauhkan diri daripadanya.

Istilah lain untuk pelacur

Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial.

Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo.

Pelacuran Anak

Pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun.[1]

Para aktivis hak-hak anak menghindari penggunaaan istilah pelacur anak (child prostitutes) karena cenderung berkonotasi negatif. Istilah yang digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostituted children) yang menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam pelacuran adalah sebagai korban mengingat anak belum dianggap mampu untuk mengambil keputusan memilih pekerja seks sebagai profesi.

Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang aktivis Hak-hak Anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia.

Di Semarang, pada pertengahan tahun 90-an muncul istilah ciblek untuk menyebut anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini menggantikan istilah warrior (yang diambil dari sebuah judul film mengenai gank anak jalanan). Ciblek sendiri merupakan nama burung kecil yang lincah dan sering berkicau dan pada masa itu sangat digemari di Semarang. Penggunaan istilah Ciblek, awalnya merupakan kependekan dari cilik-cilik betah melek, namun kemudian berubah menjadi cilik-cilik isa digemblek. Sedangkan untuk perempuan dewasa dikenal dengan sebutan prenjak. Ini juga nama jenis burung. Namun diplesetkan dengan kepanjangan "perempuan nunggu diajak atau ada pula yang mengatakan perempuan ngajak kenthu/bersenggama.

Di Yogyakarta, untuk anak-anak (jalanan perempuan) yang dilacurkan dikenal dengan sebutan Rendan yang kepanjangannya adalah kere dandan.

Odi Shalahuddin 20:00, 25 Desember 2007 (UTC) Odi Shalahuddin 19:42, 25 Desember 2007 (UTC)

Lihat pula

Pranala luar

  1. ^ Farid, 1999