Wilhelmina dari Belanda

Ratu Belanda 1898 - 1948

Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau; (31 Agustus 188028 November 1962), Putri Orange-Nassau, adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri (dengan sebutan Putri) sejak 1948 - 1962. Ia memimpin Belanda selama lebih dari 50 tahun, lebih lama daripada penguasa monarki kerajaan Belanda lainnya. Masa kekuasannya menjadi saksi beberapa titik perubahan di Belanda dan sejarah dunia: Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Krisis Ekonomi tahun 1933, dan juga kejatuhan Belanda sebagai penguasa kolonial.

Ratu Belanda, 1909

Ia paling dikenang untuk perannya dalam Perang Dunia II dimana ia membuktikan dirinya sebagai inspirasi besar bagi gerakan perlawanan rakyat Belanda dan sebagai pemimpin utama pemerintahan Belanda di pengasingan. [1]

Masa Kecil

 
Ratu Belanda, foto tahun 1909

Ia adalah anak satu-satunya dari Raja Willem III dan istri keduanya, Ratu Emma dari Waldeck dan Pyrmont. Masa anak-anaknya ditandai dengan hubungan yang sangat dekat dengan orangtuanya, khususnya dengan sang ayah yang telah berusia 63 tahun saat Wilhelmina lahir.

Karena Raja William sudah memiliki 3 putra dari istri pertama, Ratu Sophie, saat Wilhelmina dilahirkan, hanya ada peluang kecil baginya untuk mewarisi tahta. Namun, William kehilangan semua putranya ( putra terakhir meninggal saat Wilhelmina berusia 6 tahun ).

Raja Willem III wafat pada tanggal 23 November 1890 dan meskipun Wilhelmina seketika menjadi Ratu Belanda, ibunya, Emma, ditunjuk sebagai wali sampai usia Wilhelmina mencapai 18 tahun.

Pada tahun 1901, ia menikah dengan Hendrik, Pangeran dari Mecklenburg-Schwerin. Walaupun perkawinan itu dikatakan tidak berlandaskan cinta, Wilhelmina sebenarnya sangat menyayangi Hendrik, dan tampaknya perasaan Hendrik pun sama. Kenyataannya Hendrik tidak berbahagia dengan perannya sebagai pasangan ratu dan menyatakan, hal ini sangat membosankan, apalagi ia hanya dianggap "dekorasi" dan selalu berjalan di belakang istrinya. Ia juga tidak punya kekuasaan di Belanda.

Ratu Wilhelmina beberapa kali mengalami keguguran. Namun kelahiran anak satu-satunya, Juliana pada tanggal 30 April 1909, menjadi obat penawar setelah perkawinan 8 tahun tanpa anak. [2]

Masa Kekuasaan

Bersikap taktis dan hati-hati dalam masa kekuasaan - di luar dugaan dan harapan rakyat dan para anggota DPR - Wilhelmina menjadi pribadi yang sangat kuat. Kualitas ini tercermin dalam masa awal kekuasaannya di usia 20 tahun, Ratu Wilhelmina memerintahkan angkatan perang menuju Afrika Selatan untuk membantu Paul Kruger, presiden dari wilayah Transvaal. Untuk itu, Wilhelmina memperoleh pengakuan internasional.

Wilhelmina menunjukkan sikap tidak senang terhadap Kerajaan Britania, yang menganeksasi Republik Transvaal dan Orange Free State dalam Perang Boer. Kaum Boer adalah keturunan Belanda pertama dimana Wilhelmina merasa sangat dekat dengan mereka.

Ratu Wilhelmina juga dikenal mahir dalam mengelola bisnis dan investasi, membuat dia sebagai salah satu wanita terkaya di dunia. Investasinya merambah Amerika Serikat dan sampai ke sumur minyak di wilayah Hindia Belanda.

Perang Dunia I

Meskipun Belanda bersikap netral dalam Perang Dunia I, investasi Jerman yang besar di Belanda, ditambah dengan hubungan perdagangan yang erat, memaksa Inggris memblokade pelabuhan-pelabuhan Belanda untuk melemahkan Jerman.

Dalam perang, Wilhelmina menjadi "Ratu-Pengawal." Ia selalu waspada terhadap serangan Jerman, khusunya di awal perang. Namun ancaman terhadap kedaulatan muncul dari Inggris dan AS yang memblokade kapal dagang dan kargo - untuk memutus upaya perang pihak Jerman. Hal ini menyulut ketegangan antara Belanda dan kekuatan Sekutu.

Kerusuhan sipil, disulut oleh Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917, mencekam Belanda setelah perang. Seorang pemimpin sosialis, yang bernama Troelstra mencoba merebut kekuasaan Ratu dan pemerintah. Ketimbang revolusi, Troelstra ingin mengontrol Tweede Kamer, badan legislatif Belanda, dan berharap meraihnya lewat pemilu yang diyakini akan didukung oleh kaum pekerja. Namun popularitas sang ratu muda membantu kepercayaan diri pemerintahan. Wilhelmina menggalang dukungan massa dengan menunggang kuda bersama putrinya di kereta terbuka. Rupanya revolusi ini tidak berhasil.

Perang Dunia II

Pada tanggal 10 Mei 1940, Nazi Jerman menyerbu Belanda. Wilhelmina dan keluarganya mengungsi ke Inggris 3 hari kemudian. Sebenarnya Wilhelmina mau tinggal di Belanda. Ia merencanakan untuk pergi ke Zeeland bersama pasukannya untuk mengatur koordinasi serangan dari kota Breskens sambil menanti bantuan - yang diperkirakan sama seperti dialami oleh Raja Albert I dari Belgia selama Perang Dunia I. Ia naik kapal Inggris di Den Haag yang akan membawa dia kesana. Namun saat ratu berada di kapal, kapten kapal meyatakan dia dilarang mengontak pantai wilayah Belanda karena Zeeland sedang diserang oleh AU Jerman (Luftwaffe) dan terlalu berbahaya untuk kembali. Wilhelmina memutuskan pergi ke Inggris dimana ia memimpin pemerintahan dalam pengasingan.

Seusai perang, Ratu Wilhelmina memutuskan untuk tidak tinggal di istana namun pindah ke sebuah rumah di Den Haag selama 8 bulan dan mengunjungi seluruh pelosok negeri untuk memotivasi rakyat Belanda. Kadang-kadang ratu menggunakan sepeda.

Masa-Masa Akhir Kekuasaan

Pada tanggal 4 September 1948, Wilhelmina menyerahkan tampuk kekusaaan kepada anaknya, Putri Juliana.

Ia juga menulis otobiografi yang berjudul: Eenzaam, maar niet alleen (Kesepian tetapi bukan Kesendirian).

Ratu Wilhelmina wafat pada tanggal 28 November 1962 dan dimakamkan di Nieuwe Kerk di kota Delft, pada tanggal 8 Desember 1962.


Didahului oleh:
William III
Pemimpin Kerajaan Belanda Diteruskan oleh:
Juliana

Pranala Luar