Penduduk asli Taiwan

Revisi sejak 3 Maret 2016 08.39 oleh BeeyanBot (bicara | kontrib) (→‎Suku-suku tanah datar: ejaan, replaced: di tempatkan → ditempatkan)

Penduduk Pribumi Taiwan (Hanzi: 原住民; Pinyin: yuánzhùmín; Wade–Giles: yüan2-chu4-min2; Tongyong Pinyin: yuánjhùmín; bahasa Taiwan Pe̍h-oē-jī: gôan-chū-bîn, arti harafiah: "penduduk asli") adalah penduduk pribumi Taiwan. Mereka termasuk bangsa Austronesia yang sudah ada di Taiwan sebelum imigrasi bangsa Han pada tahun 1600-an.

Seorang kepala desa Rukai yang sedang mengunjungi Jurusan Antropologi di Universitas Kekaisaran Tokyo semasa pemerintahan Jepang.

Sekarang sebagian besar suku-suku bangsa yang diakui oleh Republik Tiongkok hidup secara terkonsentrasi di daerah pegunungan Taiwan dan menuturkan bahasa-bahasa arkhais Taiwan atau juga disebut bahasa-bahasa Formosa yang berkerabat dengan bahasa Melayu-Polinesia dan merupakan cabang-cabang tersendiri bahasa Austronesia. Populasi total penduduk ini berjumlah sekitar 400.000 pada tahun 2004.

Republik Rakyat Tiongkok menyebut bangsa-bangsa ini sebagai Gaoshan (Hanzi: 高山族; py: Gāoshān zú; wg: Kao-shan tsu; tw: ko-san-cho̍k; secara harafiah "suku bangsa gunung tinggi") dan menghitung mereka sebagai salah satu suku bangsa resmi dari 56 suku bangsa Tiongkok. Di Taiwan, kata Kaoshan dipakai sebagai istilah untuk merujuk kelompok-kelompok pribumi yang dilihat hidup di pegunungan Taiwan, berbeda dengan istilah Pingpu (Hanzi: 平埔族; py: píngpǔ zú; wg: p'ing-p'u tsu; tw: pêⁿ-po-cho̍k; harafiah "suku bangsa ladang").

Daftar suku bangsa

Berkas:Taiwan aborigine en.jpg
Peta suku bangsa daerah tinggi menurut distribusi geografis secara tradisional.

Suku bangsa pribumi Taiwan yang diakui oleh pemerintah Republik Tiongkok termasuk suku-suku berikut:

Dari semua suku ini, suku Ami, Kavalan, dan Tsou kadangkala dianggap sebagai Pingpu atau suku bangsa "ladang" atau "tanah datar".

Suku bangsa yang tidak diakui:

Sejarah suku bangsa pribumi

Taiwan disebut oleh banyak ahli bahasa dan linguistik sebagai negeri asal bahasa Austronesia. Dipercayai bahwa bahasa dan kebudayaan Austronesia berasal dari Taiwan sekitar 6.000 tahun karena perbedaan yang sangat tajam dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya di Asia sebelah selatan. Bukti linguistik menunjukkan bahwa bahasa-bahasa Formosa lebih ragam di Taiwan daripada bahasa-bahasa Austronesia lainnya.

Ahli bahasa menyadari pemisahan linguistik yang lebih awal menandakan pemisahan dan permukiman yang paling awal. Menurut pemerintah Republik China, ada 11 suku di Taiwan yang memenuhi syarat untuk mendapat status suku, tetapi studi lapangan menunjukkan bahwa mungkin ada sebanyak 26 kelompok linguistik. Dan suku-suku Babuza, Popora, Hoanya, Siraya, Taokas dan Pazeh dimasukkan dalam studi bidang Jepang sampai 1945.

Arsip-arsip VOC Belanda menyediakan catatan-catatan terawal tentang kehidupan di Taiwan. Mereka melaporkan telah berjumpa dengan suku-suku bangsa di lading barat dan suku-suku bangsa lainnya di sebelah selatan dan tenggara.

Suku-suku tanah datar

Orang pribumi tanah datar sebagian besar tinggal di tempat desa sedenter yang dikelilingi dengan tembok pertahanan bambu. Desa-desa di Taiwan selatan lebih banyak didiami daripada lokasi lain. Beberapa desa mendukung penduduk sebanyak 1.500 orang, yang dikelilingi dengan desa-desa satelit yang lebih kecil.

Desa Siraya misalkan dibangun tempat tinggal yang terbuat dari lalang dan bambu, dan berada pada ketinggian 2 meter dari atas tanah pada tiang-tiang, dengan masing-masing rumah tangga mempunyai gudang untuk hewan ternak. Menara pengawasan ditempatkan di desa untuk bisa mengawasi keluar dan memberikan peringatan jika ada kelompok pengayau datang dari suku-suku pegunungan.

Mereka mempunyai konsep kepemilikan komunal, dengan rangkaian lingkaran konsentris sekitar masing-masing desa. Lingkaran paling dalam dipakai sebagai tempat berkebun dan menanam buah-buahan yang disusul dengan lingkaran tanah kosong di sekeliling ini. Lingkaran kedua dipergunakan untuk menanam tanaman sayur-sayuran dan bahan untuk penggunaan eksklusif suku. Lingkaran ketiga dipakai hanya untuk berburu dan merupakan ruang rusa bagi penggunaan suku.

Konsep administrasi perdesaan tanah datar dimasukkan secara menonjol dalam kepemerintahan Qing Taiwan kelak. Suku tanah datar memburu rusa berbintik-bintik dan muntjak, namun mereka juga bercocok tani tanaman millet. Gula dan padi ditanam juga, tetapi kebanyakan untuk dibuat minuman beralkohol.

 
Seorang wanita Pepobohan, sebuah suku bangsa pribumi tanah datar Taiwan.

Banyak suku tanah datar merupakan masyarakat matriarkhal. Laki-laki menikah ke dalam keluarga seorang wanita setelah masa pra-pernikahan di mana wanita bebas menolak sejumlah laki-laki semau si wanita. Sampai kedatangan Geraja Reformasi Belanda, pasangan menikah jika mereka sudah menginjak usia 30-an dan sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan berat lagi. Hampir semua suku di Taiwan memiliki pembagian jenis pekerjaan menurut jenis kelamin. Wanita melakukan pekerjaan jahit-menjahit, masakan dan bertani, sedangkan laki-laki memburu dan mempersiapkan diri untuk mengayau. Laporan awal bangsa Eropa sering menyebutkan kaum pria malas, namun mereka tidak mempertimbangkan keuntungan pembagian kerja ini. Kaum wanita sering ditemukan memegang jabatan sebagai Pendeta atau yang memiliki hak berhubungan dengan Dewata dan dunia supranatural.

Masa Eropa

Masih sungguh banyak sumber-sumber dari arsip kolonial Dunia Barat yang pernah menjajah Taiwan antara tahun 1623-1662, ketika orang Belanda memiliki jajahan di Taiwan barat-daya (1624-1662 – dengan markas besar dekat kota Tainan masa kini) dan orang Spanyol memiliki jajahan di Taiwan utara (1626-1642 – dengan markas besar di kota yang sekarang disebut Keelung).

Sumber terbaik ialah yang sumber VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda). Sumber ini menunjukkan bahwa kala itu Belanda tiba pada 1624 di pelabuhan Tayouan (Anping). Lalu wakil dari desa yang paling dekat—semua di antaranya ialah penutur bahasa Siraya—pergi ke benteng Belanda untuk meminta tanda persahabatan. Kaum Belanda pun menyetujui segala permintaan mereka.

Namun wilayah perdesaan kala itu sedang berada dalam keadaan perang suku. Desa Sinckan (Sinshih) berperang dengan Mattau (Madou) dan sekutunya Baccluan, dengan desa Soulang memelihara keadaan damai tak-tenang. Maka pada 1629 sekelompok serdadu Belanda dibantai di sebuah sungai oleh suku Mattau, setelah peristiwa ini keadaan menjadi tegang.

Lalu pada 1635, dengan tibanya bantuan dari Batavia, angkatan perang Belanda menaklukkan Mattau. Karena Mattau adalah desa yang paling kuat di daerah ini, kemenangan Belanda membawa serangkaian permintaan damai dari desa-desa dekat lainnya, banyak di antaranya di luar daerah Siraya.

Ini adalah kelahiran pax hollandica, yang lambat laun menyebar sewaktu orang Belanda memperbesar kekuasaan mereka akan bagian-bagian besar Taiwan. Hal ini hanya berakhir pada 1662, ketika para pendukung Dinasti Ming; angkatan perang Zheng Chenggong mendirikan kerajaan wangsa Zheng di Taiwan atas nama dinasti Ming yang telah kalah.

Salah satu pranata menarik periode Belanda ialah "landdag," atau perkumpulan tahunan sesepuh desa (ouders) di hadapan Gubernur Belanda.

Orang Belanda memberi masing-masing pemimpin tanjung beledu hitam, tongkat rotan berujung perak dan bendera yang mewakili Pangeran Oranje untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada VOC. Pada gilirannya suku bangsa pribumi memberikan orang Belanda pot-pot pohon palem sebagai bukti kesetiaan mereka.

Orang Belanda mendirikan sekolah dan gereja. Pendeta Georgius Candidius dan Robertus Junius mempelajari bahasa setempat untuk mulai mengajar orang pribumi membaca bahasa mereka sendiri dengan huruf Latin. Bangsa pribumi tetap menggunakan huruf Latin ini sampai abad ke-18, namun sekarang hanya beberapa fragmen saja yang masih ada dalam bentuk naskah dan beberapa prasasti (tulisan Sinckan).

Orang Belanda juga mencari emas di Taiwan dan mereka mampu memberi semangat suku Puyuma supaya membawa mereka ke sumber emas pulau ini. Suku Puyuma membawa orang-orang Belanda 80 kilometer ke ladang Kavala di mana emas bisa dicela dari aliran sungai. Laporan ini dipastikan baik oleh sumber arsip Belanda maupun tradisi lisan Puyuma.

Orang Belanda memperkerjakan orang pribumi tanah datar untuk memperoleh kulit rusa yang bisa digunakan sebagai komoditi dagang di antara perdagangan segitiga Taiwan, Dinasti Qing dan Jepang. Namun perdagangan rusa jualah yang membawa para pedagang pertama bangsa Han ke daerah asli pedesaan. Permintaan untuk rusa sangat mengurangi persediaan rusa dan sudah sangat awal pada 1642 ada jumlahnya sudah menurun secara drastis di beberapa habitat mereka. Penurunan ini membawa dampak berat bagi masyarakat pribumi Taiwan sebab dengan begitu, sangat banyak orang pribumi mesti bercocok tanam untuk menanggulangi dampak ekonomi sumber makanan penting mereka.

Periode Belanda berakhir dengan kedatangan kaum loyalis Ming, Zheng Cheng-gong (Koxinga), tetapi pengaruh bangsa Belanda sangat mendarah-daging di antara masyarakat pribumi Taiwan. Pada abad ke-19 dan ke-20, para penjelajah bangsa Eropa menulis bahwa mereka disambut sebagai kerabat oleh orang pribumi yang mengira mereka adalah orang Belanda yang telah berjanji untuk kembali.

Penguasaan Qing

Pemerintah Qing membolehkan imigrasi suku Han secara terbatas ke Taiwan dan mengakui klaim suku tanah datar terhadap lahan perburuan rusa dan tanah adat suku. Qing berharap mengubah suku-suku tanah datar menjadi rakyat setia. Pihak berwenang Qing mengambil pajak per kepala dan rodi pada orang pribumi. Hal ini membuat orang pribumi tanah datar secara langsung bertanggung jawab atas bayaran kepada yang berwenang. Untuk mengesahkan kebijakan pajak mereka, pejabat Qing menunjuk orang pribumi Taiwan yang berdasarkan kemampuan mereka untuk membayar pajak kepada Qing.

Suku-suku itu yang tunduk dan mau membayar pajak digolongkan sebagai 'Sek Huan', yang secara harfiah artinya 'orang biadab yang matang'. Suku-suku yang belum tunduk digolongkan sebagai 'Se Huan', atau 'orang biadab mentah'. (kata matang dan mentah merupakan sinonim kata “akrab” dan tak “akrab”).

Kelak, kedua kelompok dengan sederhana dibedakan sebagai suku-suku 'Ping Pu' atau 'Pepo' (Tanah Datar) dan 'Gao Shan' atau 'Ge Sen' (Gunung Tinggi).

Pembedaan ini hanya sedikit sekali merupakan refleksi hal yang sebenarnya dan dianggap tidak seluruhnya tepat. Sebab misalkan apa yang disebut suku-suku Gao shan sebetulnya tinggal di tanah datar, seperti kasus dengan suku Ami di pantai timur dan suku Tao di Kepulauan Lanyu.

Orang pribumi sebagai kelompok etnik secara klasik digolongkan sebagai 'Huan', yang artinya adalah 'orang biadab', klasifikasi ini sama dengan yang diberikan pada orang Barat.

Berlawanan dengan kepercayaan umum, yaitu bahwa suku-suku Ting pu di bawah tekanan pendatang bangsa Han, melarikan diri ke gunung kemudian menjadi suku-suku Gao Shan. Fakta sejarah justru menunjukkan bahwa sebagian besar orang tanah datar tinggal, berkawin campur dan berbaur dengan para pendatang dari daratan Tiongkok dan mengambil jatidiri sukubangsa Han dan keturunannya menjadi bangsa Taiwan modern. Oleh para pakar dipercayai bahwa proses asimilasi ini, mirip dengan proses pembauran oleh bangsa Han dari Tiongkok utara dalam menaklukkan bangsa-bangsa di sebelah selatan Tiongkok.

Luaslah wilayah tanah datar di sisi barat yang disewakan dengan harga tinggi 'Huan De Zu' (Sewa Tinggi kaum Barbar), yang dihentikan pada saat pemerintahan Jepang. Lalu pemerintahan Qing menjamin monopoli eksploatasi rusa oleh suku-suku pribumi dan anggota perseorangan mereka. Suku-suku secara umum biasanya akan menawari petani Han uang sewa permanen tanah tertinggi, yang dianggap 'Dua Tuan sebuah Ladang' (Yi tian liang zu). Kaum Han yang lebih kaya, biasanya petinggi militer, boleh menyewa 'tanah kosong pemerintah'.

Penyewa tanah besar diharuskan membayar pajak sebanyak 6-8 shi bagi setiap jiwa. Seringkali bangsa Han dan orang Pribumi menemukan solusi kreatif dalam memecahkan masalah tanah dan pajak mereka. Di bawah bimbingan pejabat mereka, yaitu sang penterjemah Zhang Da-jing, seorang etnik Hakka yang telah menikahi tujuh wanita pribumi, suku An Ii memindahkan hak kepemilikan enam petak tanah kepada petani Han sebagai ganti atas suku Han yang bertukar pengalaman mengenai sistem irigasi dan bercocok tanam. Para suku tanah datar memang seringkali ditipu atau dipaksa menjual tanah mereka. Beberapa lalu memang pindah, namun sebagian besar tetap tinggal dan mengganti nama mereka dengan nama Han.

Di sini penting ditekankan bahwa pada masa dinasti Qing, rakyat Taiwan diklasifikasikan sebagai kaum barbar maupun beradab. Kaum beradab kala itu sama dengan menjadi seorang Han. Klasifikasi ini berdasarkan adat istiadat dan tingkah laku dan tidak berdasarkan asal-usul. Dengan ini pemikiran yang dominan kala itu ialah bahwa semua orang bisa menjadi seorang Han yang beradab dengan memeluk norma-norma sosial yang berdasarkan Konfusianisme. Beberapa alasan mengapa mereka mendasarkan identitas nasional kepada tingkah laku dan bukan asal usul ialah bahwa keluarga kekaisaran sendiri tidak termasuk suku Han, dan dengan mendefinisikan identitas berdasarkan asal usul atau kelompok bahkan akan mengancam dan meniadakan legitimasi dinasti ini.

 
Suku pribumi tanah datar dari Kanatsui di wilayah Taipei (1897)

Salah satu laporan mengenai ‘pergeseran jati diri atau identitas’ ini terjadi di sebuah wilayah yang disebut Rujryck oleh orang Belanda dan sekarang merupakan bagian dari kota Taipei. Pada sebuah dokumen yang berasal dari tahun ketujuh Kaisar Qianlong dan ditanda-tangani oleh para kepala desa tertulis, “Kami pada awalnya tidak memiliki nama marga. Harap kami dianugerahi marga Han seperti Pan, Chen, Li, Wang, Tan, dan sebagainya.” Mengambil sebuah nama Han merupakan sebuah langkah penting dalam menyebarkan norma-norma Konfusianisme di antara kaum Pribumi Taiwan.

Dalam negara Qing yang berdasarkan kepercayaan Konfusianisme, norma-norma Konfusianisme dianggap penting untuk dikenali sebagai 'ren' (manusia). Sebuah nama marga akan memungkinkan kaum Pribumi Taiwan untuk memuja para leluhur mereka, bersembahyang kepada para Dewa, dan melakukan kesalehan keagamaan yang membuat mereka bisa berfungsi secara penuh dalam negara yang bernapaskan Konfusianisme. Seringkali para pendatang dari daratan Tiongkok bersatu dan mengambil nama marga yang sama sebagai ungkapan tali persaudaraan. Tali persaudaraan ini dipakai sebagai sebagai bentuk pertahanan, karena setiap orang yang memiliki nama marga yang sama diwajibkan untuk melindungi sesama. Kelompok-kelompok yang berdasarkan tali persaudaraan ini lalu akan menghubungkan nama-nama mereka dalam sebuah silsilah dan dengan itu membentuk hubungan keluarga berdasarkan tempat mereka di silsilah dan menduduki tempat dalam sebuah organisasi kekeluargaan seperti di Tiongkok daratan. Hal seperti ini dilakukan secara luas sehingga buku-buku silsilah yang ada sekarang kurang bisa dipercaya. Banyak penduduk pribumi Taiwan tanah datar juga bergambung dengan kelompok-kelompok persaudaraan untuk mendapatkan perlindungan dari kelompok ini. Dan dari kelompok-kelompok ini, mereka mendapatkan identitas Han dengan leluhur Tionghoa.

‘Skenario pemindahan paksa’, yang mengklaim bahwa kaum pribumi Taiwan pindah ke daerah pegunungan dan menjadi ‘Gao shan zu’, telah diperburuk dengan migrasi para suku-suku tanah datar pada awal abad ke-19. Sukubangsa Gao Shan sudah terbiasa dengan kehidupan di pegunungan tinggi selama ribuan tahun seperti telah tercerminkan melalui budaya material mereka, budaya pengayauan, tradisi sastra lisan, dan bahkan bentuk morfologis tubuh mereka. Kaum-kaum tanah datar yang menolak menjadi petani seperti para penyewa mereka yang berasal dari suku Han, memutuskan untuk pindah ke daerah-daerah lain yang bebas dari pengaruh suku Han. Pada tahun 1804, sebuah kelompok yang beranggotakan kurang lebih 1.000 kaum suku tanah datar Taiwan, pindah melampaui gugusan pegunungan tengah menuju ke daerah Iilan di selatan, dekat daerah yang kini disebut Luo dong. Kelompok-kelompok ini terutama terdiri atas keluarga-keluarga yang kurang mampu di 30 desa-desa di kecamatan Changhua dan Tanshui.

Sebuah migrasi kedua ke daerah dataran rendah Puli pada tahun 1823 memberikan kesan bahwa yang bermigrasi hanyalah keluarga-keluarga yang tidak punya tanah dan menghasilkan nama-nama tempat baik di Iilan dan Puli yang persis sama dengan nama-nama tempat asal mereka. Pada awal abad ke-20, kaveling-kaveling luas masih dimiliki para anggota suku-suku pribumi ini dan dibeli secara besar-besaran oleh pemerintahan Jepang dan dipakai sebagai lapangan terbang, tempat pembuangan sampah, dan daerah-daerah industri.

Sebelum tahun 1600-an, kaum pribumi tinggal di seluruh pulau Taiwan, namun mereka yang padang-padang di pesisir barat sudah berbaur dengan budaya Taiwan dan pembauran dengan para pendatang Han dari Daratan Tiongkok sudah mengkaburkan deskripsi para suku dan komposisi etnis Taiwan.

Suku-suku tanah tinggi

Sedikit yang diketahui mengenai keadaan para suku pribumi Taiwan dari dataran tinggi sebelum mereka dikunjungi oleh para penjelajah dan misionaris dari Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kekurangan data ini terutama diakibatkan oleh karantina Qing atas daerah di sebelah timur garis yang tidak boleh didatangi.

Kontak antara kaum Han dan para suku yang tinggal di pegunungan biasanya ialah karena mereka mencari kapur Barus, sebuah zat kimia yang diambil dari pohon kapur Barus yang dipakai sebagai bahan obat-obatan. Pertemuan antara mereka biasanya berakhir dengan dipenggalnya kepala sang Han. Para anggota suku tanah datar seringkali dipakai sebagai penterjemah untuk berdagang antara para pedagang Han dan para anggota suku-suku tanah tinggi. Para suku pribumi ini berdagang kain, kulit, dan daging. Bahan-bahan ini dibarter besi dan senapan. Besi sebagai bahan dasar dipakai untuk membuat parang-parang untuk berburu dan mengayau para musuh.

 
Seorang gadis suku Atayal dengan tato di wajahnya sebagai lambang kedewasaan, yang dilakukan oleh pria dan wanita. Adat itu dilarang semasa pemerintahan Jepang.

Penelitian lapangan pertama mengenai budaya para suku tanah tinggi dipelopori pada tahun 1897 oleh seorang ahli antropologi Jepang Ino Kanori, yang kemudian hari bergabung dengan kawannya Torii Ryuzo. Karya yang diterbitkan oleh kedua pria ini merintis ilmu antropologi modern Taiwan. Ino beragumentasi untuk mendukung hak-hak kaum pribumi Taiwan dan berpendapat bahwa akal budi mereka tidaklah lebih rendah, bertentangan dengan sumber-sumber Tionghoa, meski Ino juga menulis bahwa mereka lebih mudah diatur di bawah sebuah kekuasaan kolonial. Penelitian awal oleh para pakar Jepang ini menghasilkan penciptaan delapan suku Taiwan, Atayal, Bunun, Saisiat, Tsou, Paiwan, Puyuma, Ami dan, Pepo (tanah datar). Penemuan mereka diterima oleh Gubernur Jepang, Kodama. Penelitian pada masa depan menemukan kesalahan pada klasifikasi mereka sebab Atayal berarti ‘saya’ dan Yami ternyata menyebut diri mereka sendiri ‘Tao’, seperti ‘yami’ dalam bahasa Tao artinya adalah “kita/kami”. Kemudian suku Paiwan disebut Ruval dan Batsul, sebuah istilah yang juga digunakan bagi kaum Rukai. Kemudian Puyuma dinamakan menurut kota Beinan dan bukan nama suku yang sebenarnya. Meski kaum Pepo juga dikenali, mereka tidak dilindungi, sementara Pong So No Daoo (Pulau Anggrek (Orchid Island) atau Lanyu), tempat asal Tao, ditutup secara hermetis dari dunia luar sampai tahun 1930-an, dan hanya boleh dimasuki oleh para ilmuwan dan ahli antropologi.

Hanya sedikit hal yang berubah bagi para suku tanah tinggi ini sampai masa pendudukan Jepang pada tahun 1895. Ketika orang-orang Jepang sampai di Taiwan, mereka memiliki rencana-rencana muluk-muluk untuk mengubah Taiwan menjadi jajahan teladan, sebuah model bagi ambisi-ambisi colonial lainnya pada masa depan. Demi mengeploatasi kekayaan alam, orang-orang Jepang harus mengkategorisasikan para penduduk pribumi dan membatasi mereka pada daerah-daerah reservasi. Kaum-kaum pribumi dibatasi dari pergaulan dengan masyarakat umum yang hidup di tanah datar dan dipaksa untuk memakai pakaian tradisional mereka supaya membatasi klaim-klaim teritorial mereka. Kampanye-kampanye awal untuk menundukkan kaum pribumi biasanya sangat kejam dengan suku Taroko yang menderita pengeboman terus menerus dari kapal-kapal perang dan pesawat terbang yang menjatuhkan gas mustard. Mulai tahun 1910, pemerintahan Jepang berusaha memberikan kaum pribumi sebuah identitas Jepang. Mereka membangun sekolah-sekolah di desa-desa di pegunungan yang dijaga oleh pejabat kepolisian/kepala sekolah. Sekolah-sekolah ini mengajari matematika, etika, bahasa Jepang, dan pelajaran praktik. Atribut administratif suku pribumi ini menjadi sesuatu hal yang diwariskan di bawah pemerintahan Jepang dan membuat hubungan kebudayaan Taiwan semakin kabur dan rumit.

Mendekati tahun 1940, 71% dari anak-anak kaum pribumi Taiwan duduk di bangku sekolah dan kebudayaan Jepang mengganti kebudayaan pribumi. Istilah 'Takasago zoku' (高沙族, "ras Formosa") juga mengubah istilah 'hoan-á' (番仔, orang liar/barbar) sebagai nama untuk menyebut mereka. Pemerintahan Jepang telah menginvestasi banyak waktu dan uang untuk menghilangkan beberapa tradisi yang mereka anggap kurang baik seperti tattoo, pembunuhan anak-anak, dan pengayauan.

Pengayauan

Para anggota suku-suku tanah tinggi terkenal akan kemampuan dalam pengayauan, yang seringkali dipandang sebagai liar dan tak beradab. Mereka yang menolak fenomena ini mengatakannya tanpa melihat fungsinya dalam konteks sosialnya di dalam beberapa masyarakat di Taiwan.

Di Taiwan, pengayauan dianggap merupakan simbol keberanian dan kejantanan. Hampir semua suku pribumi, kecuali Yami (Tao) melakukannya. Seringkali kepala-kepala yang telah dipenggal diundang sebagai anggota suku untuk menjaga dan melindungi mereka. Para penghuni dan penduduk Taiwan menerima peraturan pengayauan sebagai risiko kehidupan persukuan yang telah diperhitungkan. Kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan, seringkali bergantungan dari pohon atau rak-rak kepala. Sebuah kelompok yang pulang membawa sebuah kepala diterima dengan meriah karena hal ini dianggap akan membawa keberuntungan.

Suku Bunun seringkali akan mengambil tawanan dan menuliskan doa-doa atau pesan pada para sahabat dan sanak saudara yang telah meninggal dunia pada panah-panah mereka. Lalu panah-panah mereka tembakkan pada tawanan mereka dengan harapan doa mereka akan dibawakan kepada kenalan mereka di dunia baka. Para pendatang Han seringkali merupakan korban serangan pengayauan karena mereka diangkap pembohong dan musuh oleh para suku pribumi. Sebuah serangan pengayauan biasanya terjadi di ladang atau dengan membakar sebuah rumah dan memenggal semua penghuninya ketika mereka melarikan diri. Selain itu juga dianggap kebiasaan untuk memelihara anak-anak korban pengayauan mereka sebagai anggota penuh suku mereka. Suku-suku terakhir yang melakukan pengayauan adalah Paiwan, Bunun, dan Atayal. Pemerintahan Jepang mengakhiri praktik ini pada tahun 1930, namun beberapa orang Taiwan yang sudah lanjut usia masih bisa mengingat kebiasan pengayauan tersebut.

Kehidupan di antara suku-suku pribumi setelah datangnya pemerintahan Jepang menjadi berubah secara drastis, karena banyak struktur-struktur tradisional mereka diganti dengan kekuasaan militer. Suku-suku pribumi yang ingin memperbaiki status sosial mereka menggunakan pendidikan sebagai sarana yang baru dan bukan pengayauan. Para anggota suku-suku pribumi yang telah belajar bekerja sama dengan orang-orang Jepang lebih pantas untuk menjadi kepala desa. Mendekati akhir Perang Dunia II, kaum pribumi yang mana ayah-ayah mereka tewas dalam kampanye pasifikasi merelakan diri untuk mati bagi sang Kaisar Jepang. Banyak kaum pribumi yang telah tua merasakan rasa identifikasi yang kuat terhadap orang Jepang dan lebih banyak atau lebih suka menggunakan bahasa Jepang daripada bahasa Mandarin.

Kaum pribumi di bawah pemerintahan kaum Nasionalis

Ketika pemerintahan Nasionalis China mendarat di Taiwan, mereka ketakutan bahwa daerah-daerah pegunungan yang dilanda kemiskinan akan menjadi basis komunisme. Partai KMT mengasosiasikan kaum pribumi Taiwan dengan pemerintahan Jepang dan mereka dianggap sebagai 'shan bao' atau penduduk gunung. Pada tahun 1946, sekolah-sekolah desa yang didirikan Jepang diubah menjadi pusat-pusat ideology KMT. Dokumen-dokumen Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa kurikulum kala tersebut sarat dengan proganda dengan penekanan pada bahasa Mandarin, sejarah, dan kewarganegaraan. Sebuah laporan pemerintahan mengenai daerah-daerah pegunungan dari tahun 1953 menunjukkan bahwa tujuan mereka terutama mulai dari tahun ini ialah mempromosikan bahasa Mandarin demi memperkuat posisi nasional dan menciptakan tatakrama yang baik. Hal ini dimasukkan pada kebijakan 'Shandi Ping di hua' supaya membuat "daerah pegunungan menjadi lebih mirip dengan tanah datar". Kekurangannya para guru pada tahun-tahun pertama pemerintahan KMT menciptakan jurang-jurang yang dalam pada pendidikan kaum pribumi karena hanya sedikit guru-guru Tionghoa yang tinggal di Taiwan dan lebih sedikit lagi yang ingin mengajar di daerah pegunungan. Banyak pekerjaan berat mengajari kaum pribumi dilakukan oleh guru-guru yang kurang cakap namun bisa berbahasa Mandarin dan mampu mengajarkan ideologi dasar.

Pada tahun 1951 sebuah kampanye besar diluncurkan untuk mengubah adat-istiadat kaum pribumi supaya lebih mirip sukubangsa Han. Pada waktu yang sama, anggota suku-suku pribumi yang pernah bergabung dengan Tentara Dai Nippon ditugaskan untuk berperang pada peperangan yang sangat berdarah dalam mempertahankan pulau Kinmen dan Matsu, kedua pulau ini berada di bawah kekuasaan Republik Tiongkok namun posisinya paling dekat dengan daratan. Kemudian para prajurit KMT yang mengungsi dari Daratan Tiongkok seringkali menikahi wanita-wanita pribumi karena mereka berasal dari daerah-daerah miskin dan bisa lebih mudah dibeli sebagai istri. Kebijakan resmi pada identitas kaum pribumi ada pada rasio 1.1, di mana setiap pernikahan antarsuku menghasilkan seorang anak Tionghoa. Kemudian kebijakan ini diubah di mana status kesukuan sang bapak menentukan status si anak.

Medan penelitian budaya pribumi Taiwan hampir saja dihilangkan dari kurikulum pendidikan Taiwan dengan memberikan perhatian lebih khusus pada hal-hal yang lebih bernapaskan Tionghoa demi menolong memperkokoh kedudukan KMT di Taiwan. Hasilnya ialah punahnya beberapa bahasa Austronesia di Taiwan dan pengekalan rasa malu bagi mereka yang merupakan keturunan penduduk pribumi Taiwan. Hanya sedikit orang Taiwan saja yang bersedia mengemukakan bahwa mereka memiliki darah pribumi Taiwan meskipun studi-studi modern menunjukkan bahwa di Taiwan terjadi perkawinan campur dan pembauran secara luas. Pada sebuah studi tahun 1994, menunjukkan bahwa 71% dari semua keluarga Taiwan menolak gagasan jika putri mereka menikahi seorang pria pribumi Taiwan.

Semenjak pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan Republik China sudah mengambil beberapa langkah untuk mengangkat derajat dan kesadaran kaum pribumi serta memberikan hak-hak khusus kepada mereka sebagai bagian dari gerakan lokalisasi Taiwan. Anggota suku-suku pribumi memainkan peran yang penting pada agenda pendidikan lokal dan lingkungan hidup dan pengajaran bahasa-bahasa pribumi Taiwan. Semenjak tahun 1998, kurikulum resmi pendidikan di sekolah-sekolah Taiwan sudah diganti dan sekarang lebih banyak memuat informasi mengenai kaum pribumi. Sementara itu mereka juga digambarkan lebih positif. Pemerintah Taiwan juga telah mengeluarkan banyak biaya pada museum dan pusat-pusat kebudayaan yang secara khusus memperhatikan suku-suku tanah datar dan warisan leluhur Taiwan.

Sementara itu semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa kompositas etnik warga Taiwan tidak bisa dikategorikan secara mudah begitu saja seperti pada masa dahulu. Lee Teng hui misalnya secara terkenal telah menjalani sebuah penelitian darah di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa ia juga memiliki darah pribumi Taiwan selain juga memiliki darah Hakka dan Hokkien.

Para pendukung kemerdekaan Taiwan melihat kepentingan dalam urusan kaum pribumi sebagai sebuah langkah ke depan dalam proses pembentukan bangsa (nation building) dan ciptaan sebuah alternatif pada identitas Tionghoa. Di sisi lain para pendukung persatuan Tiongkok secara umum tidak menolak kepentingan-kepentingan kaum pribumi dan berpendapat bahwa hal ini menggaris bawahi keluasan dan keanekaragaman suku bangsa di Tiongkok dan menekankan bahwa perhatian pada bangsa-bangsa pribumi juga ada di Daratan Tiongkok sebagai bagian daripada Gerakan Xungen.

Kaum pribumi dan masyarakat modern

 
Seorang penari Bunun sebelum pertunjukan di Lona, Taiwan.

Kaum pribumi Taiwan jumlah secara relatif menurut pemerintah Taiwan hanyalah 2% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Di sisi lain 34% dari seluruh penduduk pribumi Taiwan telah berhijrah ke kota. Pertumbuhan ekonomi di Taiwan yang pesat pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke-20 menghasilkan fenomena urbanisasi. Pekerjaan pada proyek-proyek bangunan biasanya terbuka bagi kaum-kaum pribumi yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang cukup pada tempat-tempat reservasi mereka dan dengan begitu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka dengan cepat membentuk kelompok-kelompok dengan suku-suku lain karena mereka memiliki motif-motif politik yang sama untuk melindungi kepentingan mereka bersama sebagai tenaga kerja. Orang-orang pribumi ini menjadi pekerja besi yang terampil dan tim-tim pembangun di pulau ini dan seringkali dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek yang sulit. Hasilnya ialah eksodus besar-besaran kaum pribumi dari desa-desa tempat mereka tinggal dan alienasi para pemuda pribumi yang tidak bisa mempelajari budaya mereka jika bekerja. Seringkali, para pemuda pribumi di daerah perkotaan terjerumus menjadi anggota gang proyek bangunan. Kebudayaan-kebudayaan pribumi di Taiwan menghadapi krisis besar.

Kemudian undang-undang baru yang mengizinkan masuknya tenaga kerja asing dari Indonesia, Vietnam dan Filipina mengikis kesempatan kerja kaum pribumi lebih jauh lagi. Sementara itu kelompok-kelompok pribumi lainnya berpaling kepada sektor pariwisata supaya bisa bersaing pada ekonomi lokal. Berkat keterdekatan kaum-kaum pribumi dengan pegunungan, banyak anggota kelompok ini lalu berharap bisa mendapatkan keuntungan pada usaha-usaha pemandian air panas dan hotel-hotel di mana mereka bisa menyanyi dan menari untuk memberikan dan menambahkan nuansa. Namun para kritikus sering menyebut usaha-usaha seperti ini kurang menghormati mereka atau hanya menggaris bawahi stereotipe kaum pribumi.

 
Anak-anak penghuni desa Bunun di Lona, Taiwan, berpakaian rapi untuk perayaan Natal tradisional. Para misionaris Kristen berhasil menyebarkan agama Katolik dan Protestan di kalangan mereka. Kota menyelenggarakan dua parade besar dalam kaitan liburan ini.

Kaum pribumi di Taiwan sudah menjadi simbol mawas diri terhadap lingkungan hidup di pulau ini, karena banyak masalah-masalah yang berhubungan dengan lingkungan hidup dipelopori oleh orang-orang pribumi yang secara klasik sebelumnya merupakan korban-korban kebijakan pemerintahan.

Kasus dengan profil tertinggi adalah fasilitas tempat penimbunan sampah nuklir di pulau Anggrek (Orchid Island). Pulau Anggrek ini merupakan sebuah pulau tropis kecil 60 kilometer sebelah tenggara lepas pantai Taiwan. Penghuni pulau ini berjumlah 4.000 jiwa dan merupakan anggota suku Tao yahng telah hidup selama lebih dari 1.000 tahun di pulau ini dengan menjadi nelayan dan bercocok tanam ubi manis. Pada tahun 1970-an, pulau ini ditunjuk sebagai situs tempat penimbunan sampah nuklir dengan faktor risiko rendah dan menengah. Pulau ini, meski dihuni dipilih dengan alasan bahwa biaya untuk membangun fasilitas penimbunan sampah di sini akan menjadi lebih rendah dan penduduk setempat dianggap tidak berbuat macam-macam. Suku Tao mengklaim bahwa pejabat-pejabat KMT menawarkan mereka untuk membangun sebuah pabrik pengalengan ikan dan menolak 98.000 barel sampah nuklir yang disimpan di pulau mereka, 100 meter dari tempat penjalaan ikan Immorod. Suku Tao sejak saat itu menjadi pelopor pada gerakan anti nuklir dan meluncurkan beberapa aksi ‘eksorsisme’ dan protes untuk menyingkirkan sampah nuklir dari pulau mereka yang menurut mereka telah menghasilkan kematian dan penyakit. Penyewaan tanah di pulau tersebut sudah habis dan sebuah situs alternatif masih harus ditemukan. Komisi di kecamatan Taitung telah menawarkan diri untuk menimbun sampah di Taimali (Timmuri), di wilayah reservasi Puyuma, namun gagasan ini belum diterima oleh penduduk setempat.

 
Seorang wanita Bunun dan anaknya yang digendong menggunakan sejenis selendang di desa Lona Village, Taiwan.

Dewasa ini ada sebuah gerakan yang dilakukan oleh kaum pribumi Taiwan untuk kembali ke daerah asal mereka dan mencari-cari cara untuk tetap tinggal di tanah mereka, melestarikan budaya mereka dan bahasa-bahasa mereka sementara juga mencari uang. Pariwisata ramah lingkungan (eco tourism), menjahit, dan menjual ukiran gaya etnik, perhiasan, dan musik sudah menjadi ekonomi baru kaum pribumi. Lalu pemerintah pusat juga sudah memperbolehkan para anggota suku-suku pribumi untuk menggunakan nama-nama asli mereka menggunakan huruf Latin pada surat-surat resmi dan dengan ini menghentikan kebijakan lama yang memaksakan nama-nama Tionghoa pada mereka. Sebuah kebijakan baru juga memperbolehkan seorang anak dari pernikahan campur boleh memilih jatidiri mereka sendiri secara bebas.

Dari segi politik, kaum pribumi Taiwan cenderung memilih partai Kuomintang. Meskipun hal ini terlihat agak paradoksal melihat koalisi pan-hijau yang mempromosikan budaya pribumi, gejala pemilihan bisa dijelaskan dengan alasan ekonomi. Kaum pribumi biasanya berasal dari daerah-daerah miskin dan dengan ini tergantung pada jaringan koneksi yang telah dirintis oleh Kuomintang. Salah satu fenomena yang aneh dalam pemilihan umum di Taiwan ialah bahwa para calon legislatif koalisi pan-biru biasa menggunakan nama-nama Tionghoa sementara para caleg koalisi pan-hijau menggunakan nama-nama pribumi mereka.

Referensi

  • Bellwood, Peter. 1979. Man’s Conquest of the Pacific. New York, Oxford University Press. ISBN 0-19-520103-5
  • Ed. Blundell, David. 2000. Austronesian Taiwan: Linguistics; History; Ethnology; Prehistory. Taipei, Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing. ISBN 0-936127-09-0
  • Ed. Blusse, Leonard & Everts, Natalie. 2000. The Formosan Encounter: Notes on Formosa’s Aboriginal Society-A selection of Documents from Dutch Archival Sources Vol. I & Vol. II. Taipei, Shung Ye Museum of Formosan Aborigines. ISBN 957-99767-2-4 & ISBN 957-99767-7-5
  • Blust, Robert A. Austronesian Root Theory. 1988. Philidelphia, John Benjamins Publishing. ISBN 90-272-3020-X
  • Borao Mateo, Jose Eugenio 2002. Spaniards in Taiwan Vol. I & Vol. II. Taipei, SMC Publishing. ISBN 957-638-566-0 & ISBN 957-638-589-X
  • Brown, Melissa J. Is Taiwan Chinese? : The Impact of Culture, Power and Migration on Changing Identities. 2004, University of California Press. ISBN 0-520-23182-1
  • Campbell, Rev. William. 1915. Sketches of Formosa. Marshall Brothers Ltd. London, Edinburgh, New York, reprinted by SMC Publishing Inc 1996. ISBN 957-638-377-3
  • Chen, Chiu-kun, 1997, Qing dai Taiwan tu zhe di quan, (Land Rights in Qing Era Taiwan), Academia Historica, Taipei, Taiwan. ISBN 957-671-272-6
  • Cohen, Marc J. 1988. Taiwan At The Crossroads: Human Rights, Political Development and Social Change on the Beautiful Island. Asia Resource Center, Washington D.C.
  • Ed. Faure, David. 2001. In Search of the Hunters and Their Tribes. Taipei, Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing. ISBN 957-30287-0-0
  • Ed. Harrison, Henrietta. 2001. Natives of Formosa: British Reports of the Taiwan Indigenous People, 1650-1950. Taipei, Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing. ISBN 957-99767-9-1
  • Hong, Mei Yuan, 1997, Taiwan zhong bu ping pu zhu (Plains Tribes of Central Taiwan), Academia Historica, Taipei, Taiwan.
  • Hsu, Mutsu, 1991, Culture, Self and Adaptation: The Psychological Anthropology of Two Malayo-Polynesian Groups in Taiwan. Institute of Ethnology, Academia Sinica, Taipei, Taiwan. ISBN 957-9046-78-6.
  • Keliher, Macabe.2003. Out of China or Yu Yonghe’s Tales of Formosa. Taipei, SMC Publishing. ISBN 9570-638-609-8
  • Ed. Knapp, Ronald G. China’s Island Frontier: Studies in the Historical Geography of Taiwan. 1980. Honolulu, University of Hawaii Press. ISBN 957-638-334-X
  • Leo T.S. Ching. 2001. Becoming “Japanese”. Berkeley, University of California Press. ISBN 0-520-22551-1
  • Li, Paul Jen-Kuei & Tsuchida Shigeru. 2001. Pazih Dictionary. Academia Sinica Institute of Linguistics, Taipei, Taiwan. ISBN 957-671-790-6
  • Li, Paul Jen-Kuei and Tsuchida, Shigeru. 2002. Pazih Texts and Songs. Institute of Linguistics Preparatory Office, Academia Sinica. ISBN 957-671-888-0
  • Interview: 2003: Lin Tan Ah (age 94) -in Shi Men, Ping Tung
  • Mackay, George L. 1896. From Far Formosa. London, Oliphant Anderson and Ferrier, Reprinted 1991,1998, SMC Publishing, Taipei. ISBN 957-638-072-3
  • Montgomery-McGovern, Janet B. 1922. Among the Head-Hunters of Formosa. Boston, Small Maynard and Co. Reprinted 1997, SMC Publishing, Taipei. ISBN 257-638-421-4
  • Interview: 2003: Pan Jin Yu (age 93) -in Puli
  • Peng, Tan Ming, 1999, Da du she gu wen shu (Old Records of the Da Du Tribes), Academia Historica, Taipei, Taiwan. ISBN 957-02-7661-4
  • Peng, Tan Ming, 2000, Ping pu bai she gu wen shu (Old Records of 100 Plains Villages), Academia Historica, Taipei, Taiwan. ISBN 957-01-0937-8
  • Pickering, W.A. 1898. Pioneering In Formosa. London, Hurst and Blackett, Republished 1993, Taipei, SMC Publishing. ISBN 957-638-163-0:
  • Ed. Rubinstein, Murray A. 1999. Taiwan: A New History. New York, M.E. Sharpe, Inc. ISBN 1-56324-816-6
  • Shepherd, John R. 1993. Statecraft and Political Economy on the Taiwan Frontier, 1600-1800. California, Leland Stanford University Press. Reprinted 1995, SMC Publishing, Taipei. ISBN 957-638-311-0
  • Taylor, George. Ed. Dudbridge, Glen. 1999. Aborigines of South Taiwan in the 1880s. Taipei, Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Publishing. ISBN 957-99767-1-6
  • Wilson, Richard W. 1970. Learning To Be Chinese:The Political Socialization of Children in Taiwan. Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, MA
  • Yosaburo Takekoshi. 1907. Japanese Rule in Formosa. London, Longmans, Green and Co. Reprinted 1996, SMC Publishing, Taipei. ISBN 957-638-378-1

Lihat pula

Pranala luar