Petrus Abelardus

Revisi sejak 17 Maret 2016 14.53 oleh Rachmat-bot (bicara | kontrib) (tidy up, replaced: dimana → di mana (11), nafas → napas, obyek → objek (2), subyek → subjek (2), mengijinkan → mengizinkan, analisa → analisis)

Petrus Abelardus (ca 1079, Le Pallet, Bretagne — 21 April 1142, sekitar Chalon-sur-Saône, Kerajaan Perancis) adalah seorang filsuf skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan;[1] selain itu ia juga dikenal sebagai seorang komponis. Skandal dan kisah cintanya dengan Héloïse d'Argenteuil telah menjadi legenda. Chambers Biographical Dictionary menggambarkan Petrus Lombardus sebagai "pemikir paling tajam dan teolog paling berani dari abad ke-12".[2][3]:14 Ada anggapan bahwa ia, bersama dengan Santo Anselmus dari Canterbury, adalah pendiri skolastisisme di awal abad ke-12.[4]

Petrus Abelardus
Lahir1079
Le Pallet, dekat Nantes
Meninggal21 April 1142 (umur 62 atau 63)
Biara Saint-Marcel, dekat Chalon-sur-Saône
EraFilsafat abad pertengahan
KawasanFilsuf Barat
AliranSkolastisisme
Minat utama
Metafisika, logika, filsafat bahasa, teologi
Gagasan penting
Konseptualisme, Skolastisisme
Dipengaruhi

Riwayat Hidup

Masa muda

Petrus Abelardus (bahasa Prancis: Pierre Abélard), awalnya dipanggil "Pierre le Pallet",[5] lahir ca tahun 1079, sekitar 16 km di sebelah timur Nantes, di Bretagne, putra tertua dari keluarga bangsawan Breton. Sebagai seorang anak laki-laki, ia belajar dengan cepat. Ayah Petrus, seorang bangsawan kaya bernama Berengar, mendorongnya untuk mempelajari seni liberal, di mana ia unggul dalam seni dialektika (sebuah cabang dari filsafat). Pada saat itu dialektika utamanya terdiri dari ilmu logika Aristoteles. Berbeda dengan ayahnya yang berkarir dalam militer, Petrus Abelardus memilih menjadi seorang akademisi. Selama awal kegiatan akademiknya Abelardus berkelana ke seluruh Perancis, terlibat dalam ajang perdebatan dan pembelajaran, agar (dalam kata-katanya sendiri) "ia menjadi seperti salah seorang Peripatetik (murid sekolah filsafat Aristoteles pada abad awal)".[6] Pertama kali Abelardus belajar di daerah Loire di mana Roscellinus dari Compiègne, seorang nominalis yang telah dituduh sesat oleh Anselmus (Uskup Agung Canterbury), adalah gurunya dalam periode ini.[2]

Menjadi tenar

Sekitar tahun 1100, Abelardus sampai di Paris. Di sekolah katedral dari Notre Dame de Paris (sebelum dibangunnya katedral yang digunakan sampai saat ini), ia diajar selama beberapa waktu oleh William dari Champeaux (yang kemudian menjadi Uskup Châlons-en-Champagne), murid Anselmus dari Laon (bukan Anselmus dari Canterbury) —seorang pelopor Realisme.[2] Dalam masa inilah ia mengganti nama keluarganya menjadi "Abelardus" (bahasa Prancis: Abélard, bahasa Latin: Abaelardus). Dalam kisah di otobiografinya (Historia Calamitatum), Abelardus menggambarkan William berubah dari yang sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan; sumber lama mengatakan bahwa konseptualisme[7] Abelardus mengalahkan teori realisme, namun, bagaimanapun pemikiran Abelardus sebenarnya nyaris serupa dengan pemikiran William dibanding kisah yang diceritakannya.[3]:15 Dan William beranggapan bahwa Abelardus terlalu sombong.[8] Hal itu terjadi dalam rentang waktu di mana Abelardus juga memicu pertengkaran dengan Roscellinus —yang adalah gurunya juga.[5] Untuk menandingi gurunya, Abelardus mendirikan sekolah sendiri, yang pertama di Melun, suatu daerah favorit keluarga kerajaan; kemudian sekitar tahun 1102-11-4, demi kompetisi langsung, ia pindah ke Corbeil-Essonnes, dekat Paris.[6]

Sekolah Abelardus dapat dikatakan sukses dan menonjol, meski dalam suatu masa ia harus melepaskannya dan menghabiskan waktu di Bretagne, ketegangan yang dialaminya terbukti terlalu besar baginya. Sekembalinya, setelah tahun 1108, ia menemukan William menjadi pengajar di pertapaan Saint-Victor, di luar Île de la Cité; di sana mereka sekali lagi menjadi saingan, Abelardus menantang William melalui teori "universal"-nya. Abelardus sekali lagi menjadi pemenang, dan ia hampir dapat meraih posisi master di Notre-Dame. Namun, sementara waktu, William dapat mencegah Abelardus agar tidak mengajar di Paris. Dengan demikian Abelardus terpaksa melanjutkan kembali sekolahnya di Melun, yang mana kemudian ia mampu memindahkannya ke Paris, antara tahun 1110-1112, di ketinggian bukit Montagne Sainte-Geneviève, menghadap Notre-Dame.[9]

Dari kesuksesannya dalam dialektika, Petrus Abelardus selanjutnya beralih ke teologi dan pada tahun 1113 pindah ke Laon untuk menghadiri pengajaran Anselmus (dari Laon) mengenai penafsiran (eksegesis) Alkitab dan doktrin Kekristenan.[5] Tapi Abelardus tidak terkesan dengan pengajaran Anselmus, dan ia mulai menawarkan pengajaran sendiri mengenai Kitab Yehezkiel. Anselmus melarangnya untuk melanjutkan pengajarannya, dan Abelardus kembali ke Paris di mana, sekitar tahun 1115, ia menjadi master di Notre Dame de Paris dan seorang kanon dari katedral Sens (saat itu merupakan keuskupan agung yang menjadi provinsi gerejani dari Keuskupan Paris).[6]

Kisah asmara

 
Abelardus dan Héloïse

Kepopuleran Abelardus membuatnya dikelilingi ribuan murid dari berbagai negara oleh karena kemasyhuran ajarannya. Persembahan dan kekaguman para muridnya membuat Abelardus, sebagaimana ia katakan sendiri, berpikir bahwa ia adalah satu-satunya filsuf di dunia yang tiada tandingannya. Namun pengabdiannya pada ilmu pengetahuan membuatnya menjalani kehidupan yang sangat biasa, hanya dimeriahkan dengan perdebatan filosofis; dan saat di puncak ketenarannya ini ia terlibat hubungan asmara.[6]

Ketika itu dalam wilayah Notre-Dame tinggallah seorang kanon sekuler, Fulbertus, bersama dengan keponakannya, yakni Héloïse d'Argenteuil. Héloïse memiliki pengetahuan yang luar biasa akan klasika, tidak hanya bahasa Latin tetapi juga Yunani dan Ibrani. Abelardus berhasil dalam upayanya untuk tinggal di rumah Fulbertus, kemudian sekitar tahun 1115-1116 memulai hubungan gelapnya dengan Héloïse. Skandal tersebut mempengaruhi karirnya, dan Abelardus sendiri menyombongkan diri atas penaklukannya itu (atas Héloïse). Saat Fulbertus mengetahuinya, ia memisahkan mereka, tetapi mereka tetap melanjutkan hubungan dengan diam-diam. Lalu Héloïse hamil dan ia segera dikirim ke Bretagne untuk dirawat keluarga Abelardus, di sana ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Astrolabe.[5][6]

Untuk menenangkan hati Fulbertus, Abelardus mengusulkan suatu perkawinan rahasia agar tidak merusak prospek karirnya. Awalnya Héloïse menentang itu, tapi akhirnya pasangan tersebut menikah. Pada saat Fulbertus mengungkapkan pada publik mengenai pernikahan tersebut, dan Héloïse menyangkalnya, Abelardus mengirim Héloïse ke biara di Argenteuil, tempat di mana ia dibesarkan, untuk melindunginya dari sang paman. Héloïse kemudian berpakaian seperti seorang biarawati (suster) dan menjalani kehidupan layaknya seorang biarawati, meski ia tidak bercadar. Fulbertus kemungkinan besar meyakini bahwa Abelardus ingin menyingkirkan Héloïse dengan memaksanya menjadi seorang suster; lalu ia mengatur sejumlah orang untuk masuk ke kamar Abelardus pada suatu malam dan mengebirinya. Akibatnya, Abelardus memutuskan untuk menjadi seorang rahib di biara St Denis, dekat Paris.[5] Sebelum melakukan rencananya, Abelardus mendesak Héloïse agar mau berkaul sebagai seorang biarawati. Tapi Heloise menjawab Abelardus, melalui surat, dengan menanyakan mengapa ia harus menjalani suatu kehidupan religius padahal ia merasa tidak mempunyai panggilan untuk itu.[6]

Menjadi pertapa

Dalam Biara Saint-Denis, Petrus Abelardus yang telah berusia 40 tahun mengubur dirinya sebagai seorang rahib dengan kesengsaraan yang tak terlihat dari luar.[10] Karena ia tidak menemukan waktu luang di dalam biara, dan setelah secara bertahap berniat beralih kembali untuk belajar, ia menyerah dengan mengajukan permohonan yang mendesak, dan membuka kembali sekolahnya di suatu biara yang tidak diketahui (namun masih dimiliki Biara Saint-Denis). Pengajaran Abelardus sekarang dibingkai dalam suatu semangat devosional, dan juga teologi serta pengajarannya dahulu dalam logika. Ia kembali dikerumuni oleh banyak murid, dan sepertinya pengaruh lamanya telah kembali. Ia menggunakan Alkitab dan tulisan-tulisan — yang menurut anggapannya — tidak konsisten di antara para pemimpin gereja sebagai dasar penulisan Sic et non (Ya dan Tidak).[5]

Berikutnya Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, dalam buku Theologia Summi Boni, yang berisi tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang murid Anselmus dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu kutukan terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons tahun 1121. Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia diperintahkan untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga dikenakan hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, namun sepertinya telah ada kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera, sebab setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali ke Biara St. Denis.[3]:15

Kehidupan Petrus Abelardus di biara terbukti tidak lebih cocok baginya dibanding sebelumnya. Ia lalu melakukan semacam kesenangan berbahaya yang menjengkelkan para rahib lainnya. Seolah-olah suatu lelucon, ia mengutip kata-kata Santo Beda untuk membuktikan bahwa pendiri Biara St Denis, yaitu St Dionisius orang Areopagus, adalah Uskup Korintus, padahal para rahib lainnya selama ini mempercayai pernyataan Abbas (Kepala Biara) Hilduin bahwa ia adalah Uskup Athena. Ketika kontroversi ini mengarah ke tekanan yang tak terelakkan atas dirinya, Abelardus menulis sebuah surat kepada Abbas Adam dengan mengatakan bahwa menurut Historia Ecclesiastica-nya Eusebius dari Kaisarea dan St Hieronimus, St Dionisius (Uskup Korintus) adalah berbeda dengan St Dionisius dari Aeropagus (Uskup Athena dan pendiri biara tersebut), namun untuk menghormati St Bede, ia mengusulkan bahwa St Dionysius dari Aeropagus mungkin juga adalah Uskup Korintus. Abbas Adam lalu menuduhnya menghina biara tersebut dan Kerajaan Perancis (di mana St Denis dipandang sebagai santo pelindung); kehidupan Abelardus di biara menjadi semakin terhambat, dan akhirnya ia diizinkan untuk pergi meninggalkan biara.[9]

Setelah peristiwa tersebut, Abelardus menetap di Biara St Ayoul of Provins —di mana sang abbas adalah temannya. Kemudian, setelah Abbas Adam meninggal pada bulan Maret 1122, Abelardus dapat memperoleh izin dari abbas yang baru, Suger, untuk hidup di tempat sunyi manapun yang ia inginkan. Abelardus memilih sebuah tempat sunyi dekat Nogent-sur-Seine di Champagne, ia membangun sebuah pondok dari jerami dan alang-alang, juga sebuah oratorium sederhana yang didedikasikan pada Trinitas; dan jadilah ia seorang pertapa (eremit). Ketika hal ini diketahui umum, para murid datang berbondong-bondong dari Paris dan memenuhi padang belantara di sekitarnya dengan tenda dan gubuk mereka. Abelardus mulai mengajar lagi di sana. Oratoriumnya dibangun ulang dengan batu dan kayu, serta didedikasikan kembali sebagai Oratorium dari Parakletos.[9]

Abelardus menetap di "Parakletos" selama sekitar 5 tahun. Ia mengkombinasikan kehidupannya sebagai seorang pertapa dengan pengajaran kesenian sekuler sehingga ia mendapat kritikan keras, dan saat itu ia mempertimbangkan untuk benar-benar meninggalkan Kekristenan.[11] Abelardus kemudian memutuskan untuk pergi dan mencari tempat perlindungan lain; dan sekitar tahun 1126-1128 ia menerima tawaran untuk memimpin Biara Saint-Gildas-de-Rhuys, jauh di lepas pantai Basse-Bretagne. Daerah tersebut tidaklah bersahabat, kawasan yang menjadi sasaran para pelanggar hukum.[9] Di sana pun hubungannya dengan komunitas biara yang dipimpinnya semakin hari semakin memburuk.[11]

Pada bulan April 1129 Kepala Biara Suger dari St Denis berhasil memenuhi rencananya untuk memiliki komunitas biarawati, di mana termasuk juga Héloïse, yang telah dikeluarkan dari biara di Argentuil, agar propertinya dapat dialihkan untuk Biara St Denis. Héloïse untuk sementara menjadi kepala dari komunitas biara baru tersebut, yang dinamakan Parakletos. Abelardus menjadi abbas dan menyusun seperangkat aturan dengan suatu penyesuaian atas cara hidup para biarawati; dalam hal ini ia menekankan keutamaan studi sastra. Ia juga memberikan buku-buku himne hasil komposisinya, dan di awal tahun 1130 ia dan Héloïse menyusun suatu kumpulan surat cinta mereka dan surat korespondensi rohaniah.[11]

Ketidakberhasilan Petrus Abelardus sebagai abbas di Biara Saint-Gildas membuatnya memutuskan untuk mengajar kembali. Tidak dapat dipastikan sepenuhnya kapan ia melakukan hal tersebut, tapi mengingat Yohanes dari Salisbury (Uskup Chartres) pernah diajar dialektika oleh Abelardus pada tahun 1136 maka dapat diasumsikan bahwa Abelardus kembali ke Paris dan mengajar lagi di Montagne Sainte-Geneviève. Ada dugaan juga bahwa pengajarannya termasuk logika, setidaknya sampai tahun 1136, tetapi utamanya berkaitan dengan Alkitab, etika dan doktrin Kristiani. Ia menghasilkan rancangan lebih lanjut dari Theologia-nya di mana ia menganalisis sumber-sumber keyakinan akan Trinitas dan ia memuji para filsuf pagan dari zaman kuno atas keutamaan dan penemuan mereka mengenai penggunaan akal (reason) atas banyak aspek fundamental pewahyuan Kristen.[11] Dalam masa ini juga Abelardus menuliskan, antara lain, Historia Calamitatum yang adalah otobiografinya. Tulisan tersebut menggerakkan Héloïse untuk menulis surat pertamanya yang berisi suatu ungkapan tak tertahankan dari hasrat manusia dan pengabdian femininitas.[12]

Konflik dengan St. Bernardus

Setelah tahun 1136, tidak jelas apakah Abelardus telah berhenti mengajar, atau apakah ia meneruskannya (kecuali pengajaran mengenai logika) sampai akhir tahun 1141. Pada suatu waktu, William dari St. Thierry (Abbas dari Biara Saint-Thierry) menemukan apa yang dianggapnya penyesatan dalam beberapa pengajaran Abelardus; dan pada musim semi 1140 Abbas William menulis surat kepada Uskup Chartres dan kepada Bernardus dari Clairvaux (pada masa itu Bernardus termasuk figur paling berpengaruh dalam Kekristenan Barat) berisi kecaman atas ajaran-ajaran Abelardus tersebut. Seorang teolog lainnya, Thomas dari Morigny, dalam waktu bersamaan juga mendaftar ajaran-ajaran Abelardus yang dianggap sesat, hal ini kemungkinan atas perintah Bernardus. Keberatan Bernardus terutama adalah bahwa Abelardus telah menerapkan ilmu logika di mana hal tersebut tidak dapat diterapkan, dan menurut Bernardus itu tidaklah logis.[13]

Di tengah tekanan dari Bernardus, Abelardus menantang Bernardus untuk menarik tuduhannya atau mempublikasikannya di Konsili Sens yang direncanakan pada 2 Juni 1141. Dengan demikian Abelardus menempatkan dirinya dalam posisi pihak yang bersalah dan memaksa Bernardus untuk mempertahankan dirinya sendiri atas tuduhan fitnah. Namun Bernardus menghindari perangkap ini, pada malam sebelum berlangsungnya konsili ia mengadakan suatu pertemuan pribadi dengan para uskup yang akan hadir dalam konsili dan berhasil mempengaruhi mereka untuk mengutuk semua dalil kesesatan yang ditujukan pada Abelardus. Lalu saat Abelardus datang di konsili pada hari berikutnya, ia disajikan dengan suatu daftar dalil kutukan yang dituduhkan kepadanya.[3]:17

Abelardus menolak untuk menjawab dalil-dalil yang dituduhkan kepadanya, ia pergi meninggalkan konsili tersebut dan mengajukan banding kepada Paus; ia berangkat ke Roma dengan harapan mendapat dukungan dari Paus. Namun harapannya tidak terpenuhi, pada tanggal 16 Juli 1141 Paus Innosensius II mengeluarkan sebuah bulla yang mengekskomunikasikan Abelardus dan para pengikutnya. Abelardus diperintahkan untuk hidup dalam kesunyian selama-lamanya, dalam sebuah biara, dan buku-bukunya harus dibakar. Namun Abelardus diselamatkan dari hukumannya oleh Peter the Venerable, abbas dari biara di Cluny. Pada waktu itu Abelardus singgah di sana, dalam perjalanannya ke Roma, sebelum bulla ekskomunikasi dari Paus sampai ke Perancis. Abbas Peter berhasil membujuk Abelardus, yang sudah tua pada saat itu, untuk tidak melanjutkan perjalanannya dan tinggal di biaranya. Lalu sang abbas mengatur suatu rekonsiliasi dengan Bernardus, agar hukuman ekskomunikasi atas Abelardus dicabut dan agar ia membujuk Paus Innosensius II untuk mengizinkan Abelardus menetap di bawah pengawasan Biara Cluny selama sisa hidupnya. Bernardus menyetujuinya, dan permohonannya dipenuhi Paus, sehingga terjadi rekonsiliasi dengan Abelardus.

Akhir hidup

Petrus Abelardus menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupnya di biara St. Marcel, dekat Chalon-sur-Saône, dan ia meninggal pada tanggal 21 April 1142.[3]:17 Ada laporan bahwa Abelardus mengucapkan kata-kata terakhir "Saya tidak tahu", sebelum menghembuskan napas terakhirnya.[14] Ia meninggal karena demam dan kelainan pada kulit, kemungkinan besar penyakit kudis.[15] Pada awalnya Petrus Abelardus dimakamkan di Biara St Marcel, namun jenasahnya kemudian diam-diam dibawa ke "Parakletos" untuk diberikan kepada Héloïse —yang kemudian meninggal pada tahun 1163 dan dimakamkan bersama dengannya. Tulang-tulang mereka telah berpindah lebih dari sekali dan saat ini diduga berada di suatu pemakaman terkenal di Père Lachaise Cemetery, sebelah timur Paris.[16] Dikatakan bahwa jenazah pasangan tersebut dipindah dari Parakletos ke Père-Lachaise pada awal abad ke-19 dan dikebumikan di ruang bawah tanah pemakaman Père-Lachaise yang terkenal itu.[16]

Pemikiran

 
Patung Abelardus di Palais du Louvre, karya Jules Cavelier

Allah dan determinisme

Pandangan Abelardus akan Allah sangatlah deterministik (lihat: Determinisme). Ia berpendapat bahwa Allah hanya dapat melakukan apa yang Ia (kehendaki untuk Ia) lakukan, dan hanya kapan dan bagaimana Ia melakukannya, sebatas apa yang Ia abaikan. Menurutnya hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan atau abaikan; dan bahwa dunia ini, yang mana adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang beralasan, adalah satu hal deterministik. Tapi tetap ada kebebasan (kehendak) bagi manusia di dunia ini; manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah bebas.[17]:934

Dalam Sentences Buku I:43, Petrus Lombardus menentang pandangan Abelardus tersebut dengan menuliskan: "Allah dapat melakukan berbagai hal yang yang tidak Ia kehendaki, dan dapat tidak melakukan apa yang Ia kehendaki." Dengan kata lain Lombardus, yang kemudian menjadi Uskup Paris, menyatakan bahwa kekuasaan-Nya melampaui kehendak-Nya. Lombardus menegaskan bahwa dalam Allah sendiri terkandung kekuatan dasar untuk melakukan apa pun yang tidak menyangkut suatu kontradiksi; bahwa Ia menghendaki sesuatu adalah suatu hal yang berbeda.[17]:270

Sikap batin

Salah satu pemikiran Abelardus di bidang etika atau moral adalah tentang kemurnian sikap batin.[7] Dalam tulisannya yang berjudul "Kenalillah Dirimu Sendiri" (bahasa Latin: Scito te ipsum), yang ditulis tahun 1130, ia mengajarkan bahwa suatu tindakan lahiriah selalu bersifat netral.[7] Yang membuat suatu tindakan bermoral atau tidak adalah maksud atau sikap batin dari orang tersebut, apakah batin orang tersebut menyetujui tindakan yang diambil itu.[7] Oleh karena itu, suatu hal yang dianggap tidak pantas, belum dapat dinilai baik atau buruk; bila batin orang itu di dalam batinnya menyetujui atau mengiyakan sesuatu yang tidak pantas itu, maka barulah itu dianggap dosa.[7]

Menurut Paus Benediktus XVI ajaran Abelardus dalam hal ini menimbulkan kerancuan, karena ia bersikeras hanya memperhitungkan niat atau intensi (sikap batin) sebagai satu-satunya dasar untuk menjelaskan tindakan moral yang baik atau jahat sehingga mengabaikan makna objektif dan nilai moral dari tindakan, hasilnya adalah subjektivisme yang berbahaya.[18] Dengan kata lain ajaran Abelardus tersebut mengarah kepada: penilaian baik atau tidaknya perbuatan seseorang hanyalah tergantung pada orang itu sendiri. Menurut Paus, aspek yang demikian sangat relevan dewasa ini, di mana kebudayaan seringkali ditandai dengan suatu kecenderungan yang berkembang menuju relativisme etika, yaitu ketika seseorang menyatakan: Setiap saat, hanya "aku" yang memutuskan apa yang baik untukku.[18]

Teori pengaruh moral

Petrus Abelardus mengemukakan sebuah teori penebusan dosa yang dikenal sebagai teori pengaruh moral.[19] Dalam pemikiran Abelardus, kematian Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh kasih, merupakan undangan Allah agar manusia mengubah kehidupannya yang penuh dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih.[19] Karya Yesus melalui pelayanan-Nya selama Ia hidup di dunia hingga kematian-Nya menjadi teladan moral bagi manusia.[19] Bagi Abelardus, kematian Yesus Kristus di kayu salib merupakan ungkapan mutlak kasih Allah dan Ia mengharapkan tanggapan manusia.[20][21]:115 Teorinya tetap menuntut bahwa proses rekonsiliasi Allah dengan manusia membutuhkan tanggapan dan penerimaan manusia untuk berdamai dengan Allah, yaitu bertobat dengan kesadaran sepenuhnya dan berbalik kepada Allah.[20][21]:206 Teori penebusan ini menganggap bahwa kematian Kristus sebenarnya tidak diperlukan untuk penebusan dosa manusia, dan bukanlah suatu syarat rekonsiliasi antara Allah dengan manusia; namun Ia memilih untuk melakukannya (menderita dan mati) untuk mengungkapkan kasih dan persaudaraan dengan manusia dalam penderitaan mereka.[21]:116[22]

Teori pengaruh moral dari Abelardus ini terutama dianut oleh para Protestan liberal dari abad ke-19 dan 20;[20] namun dewasa ini hanya sebagian saja yang masih mendukung teori ini.[22] Kristen Ortodoks terang-terangan menentang teori ini karena dianggap tidak cukup untuk menjelaskan banyaknya teks Kitab Suci yang menyajikan pandangan bahwa kematian Kristus adalah mutlak diperlukan bagi Allah untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.[22] Sementara Gereja Katolik Roma tidak pernah menetapkan suatu dogma atas teori penebusan tertentu;[20] Katolik cenderung menggunakan kombinasi berbagai pandangan, terutama dari Santo Anselmus dan Santo Thomas Aquinas.[22]

Limbo para Bayi

Mengenai bayi yang meninggal tanpa dibaptis, Petrus Abelardus — dalam Commentaria in Epistolam Pauli ad Romanos — menekankan kebaikan Allah dan menafsirkan "hukuman paling ringan"-nya St. Agustinus dari Hippo sebagai rasa sakit akibat tiadanya visiun beatifis (beatific vision), tanpa harapan untuk mendapatkannya, namun tidak ada hukuman tambahan yang diterima bayi-bayi tersebut. Pemikirannya dalam hal ini memberikan kontribusi atas pembentukan teori "Limbo para Bayi" pada abad ke 12-13.[23]

Tanggapan Paus Benediktus XVI

Saat audiensi umum tanggal 4 November 2009, Paus Benediktus XVI berbicara tentang Santo Bernardus dari Clairvaux dan Petrus Abelardus untuk menggambarkan perbedaan dalam pendekatan teologi monastik dan skolastik pada abad ke-12. Paus mengingatkan bahwa teologi adalah pencarian pemahaman yang rasional (jika memungkinkan) akan misteri wahyu Kristen, yang diyakini melalui iman —iman yang mencari kejelasan atau pengertian ( fides quaerens intellectum ). Namun St Bernardus, yang mewakili teologi monastik, menekankan "iman" sedangkan Abelardus, seorang skolastik, menekankan "pemahaman melalui akal".[18]

Bagi Bernardus, iman didasarkan atas kesaksian dalam teks Alkitab dan ajaran para Bapa Gereja. Dengan demikian, Bernardus merasa sulit untuk setuju dengan Abelardus dan, secara umum, dengan mereka yang mengandalkan kebenaran iman pada penelitian kritis melalui akal budi — suatu penelitian yang menurutnya menimbulkan bahaya besar: intelektualisme, yang merelatifkan kebenaran, dan mempertanyakan kebenaran iman sendiri. Teologi bagi Bernardus hanya bisa bertumbuh dalam doa kontemplatif, oleh persatuan afektif antara hati dan pikiran dengan Tuhan, dengan hanya satu tujuan: untuk menumbuhkan pengalaman yang hidup dan akrab dengan Allah; suatu bantuan untuk mengasihi Allah secara lebih.[18]

Menurut Paus Benediktus XVI, penggunaan yang berlebihan akan ilmu filsafat dalam doktrin Abelardus akan Trinitas sangat rapuh dan berbahaya, demikian juga pemikirannya akan Allah. Di bidang moral, ajarannya samar-samar, karena ia bersikeras hanya mempertimbangkan sikap batin sebagai satu-satunya dasar untuk menjelaskan tindakan moral yang baik atau jahat, sehingga mengabaikan makna objektif dan nilai moral dari tindakan, hasilnya adalah subjektivisme yang berbahaya. Tapi sang Paus mengakui pencapaian besar Abelardus, yang telah berkontribusi bagi perkembangan teologi skolastik, dalam cara yang lebih matang dan berbuah selama abad-abad berikutnya. Dan beberapa wawasan Abelardus tidak boleh dianggap remeh, misalnya, penegasannya bahwa tradisi-tradisi agama non-Kristen sudah mengandung beberapa bentuk persiapan untuk menyambut penerimaan akan Kristus.[18]

Paus Benediktus XVI menyimpulkan bahwa "teologi hati" St Bernardus dan "teologi akal budi" Abelardus menggambarkan pentingnya diskusi teologis yang sehat, terutama ketika pertanyaan yang diperdebatkan belum didefinisikan oleh magisterium, dan ketaatan yang rendah hati kepada otoritas Gereja. St Bernardus, dan bahkan Abelardus sendiri, senantiasa mengakui tanpa ragu-ragu akan kewenangan magisterium. Abelardus menunjukkan kerendahan hati dengan mengakui kesalahan-kesalahannya, dan Bernardus mempraktikkan kebajikan besar dengan menerima rekonsiliasi. Paus menekankan, dalam bidang teologi, harus ada keseimbangan antara prinsip arsitektonis — yang diberikan melalui pewahyuan dan yang selalu menjaga kepentingan utama prinsip-prinsip tersebut — dan prinsip penafsiran yang diusulkan oleh filsafat (yaitu, dengan akal budi), yang mana memiliki suatu fungsi penting, tetapi hanyalah sebagai sebuah alat. Ketika keseimbangan tersebut rusak, refleksi teologis menghadapi risiko dirusak oleh kesalahan; jika demikian maka adalah tugas magisterium untuk melaksanakan layanan yang dibutuhkan demi kebenaran, untuk itulah ranah tanggung jawabnya.[18]

Karya

Abelardus mengarang beberapa buku berikut:[4]

  • Sic et non (Ya dan Tidak) yang ditulis tahun 1122.
  • Historia Calamitatum (Sejarah Nasib Malang)
  • Introductio ad Theologia (Pengantar ke dalam Teologi)
  • Theologia Christiana (Teologi Kristen)

Referensi

  1. ^ (Inggris) "Peter Abelard". Stanford Encyclopedia of Philosophy. 
  2. ^ a b c (Inggris) Chambers Biographical Dictionary, ISBN 0-550-18022-2, p. 3
  3. ^ a b c d e (Inggris) Marenbon, John (2004). "Life, milieu and intellectual contexts". Dalam Brower, Jeffrey E; Guilfoy, Kevin. 'The Cambridge Companion to Abelard. Cambridge University Press. hlm. 14–17. 
  4. ^ a b F.D. Wellem. 1987. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 1-3.
  5. ^ a b c d e f (Inggris) Hoiberg, Dale H., ed. (2010). "Abelard, Peter". Encyclopedia Britannica. I: A-ak Bayes (edisi ke-15th). Chicago, IL: Encyclopedia Britannica Inc. hlm. 25–26. ISBN 978-1-59339-837-8. 
  6. ^ a b c d e f (Inggris) Abelard, Peter. Historia Calamitatum. Diakses tanggal 7 December 2008. 
  7. ^ a b c d e Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 127-129.
  8. ^ (Inggris) Edward Cletus Sellner (2008). Finding the Monk Within: Great Monastic Values for Today. Paulist Press. hlm. 238–. ISBN 978-1-58768-048-9. 
  9. ^ a b c d Chisholm 1911.
  10. ^ (Inggris) Kevin Guilfoy, Jeffrey E. Brower (2004). The Cambridge Companion To Abelard. Abelard and monastic reform: Cambridge University Press. hlm. 25. ISBN 0-521-77596-5. 
  11. ^ a b c d (Inggris) David Edward Luscombe. "Peter Abelard". Encyclopædia Britannica, Inc. 
  12. ^ (Inggris) Wheeler, Bonnie (2000). Listening to Héloïse: the voice of a twelfth-century woman. Palgrave Macmillan. hlm. 150–151. ISBN 978-0-312-21354-1. 
  13. ^ (Inggris) John R. Sommerfeldt (2004). Bernard of Clairvaux on the Life of the Mind. Paulist Press. hlm. 134. ISBN 9780809142033. 
  14. ^ (Inggris) Davies, Norman (1996). Europe: A history. Oxford University Press. hlm. 687. ISBN 978-0-19-820171-7. Diakses tanggal 7 December 2008. 
  15. ^ (Inggris) Donaldson, Norman and Betty (1980). How Did They Die?. Greenwich House. ISBN 0-517-40302-1. 
  16. ^ a b (Inggris) Burge, James (2006). Héloïse & Abelard: A New Biography. HarperOne. hlm. 276–277. ISBN 978-0-06-081613-1. 
  17. ^ a b (Inggris) Henrik Lagerlund (2010), Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, Volume 1, Springer Science & Business Media, ISBN 9781402097287 
  18. ^ a b c d e f (Inggris) St. Bernard and Peter Abelard, National Catholic Register - EWTN News, Inc., 13 November 2009 
  19. ^ a b c Joas Adiprasetya. 2010. Berdamai dengan Salib. Jakarta:Grafika KreasIndo. Hal. 40-41.
  20. ^ a b c d (Inggris) J. Denny Weaver (2011). The Nonviolent Atonement (edisi ke-Second, revised). Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 19-20. ISBN 9780802864376. 
  21. ^ a b c (Inggris) Hans Boersma (2006). Violence, Hospitality, and the Cross (edisi ke-reprint, annotated). Baker Academic. ISBN 9780801031335. 
  22. ^ a b c d (Inggris) John F. Walvoord (1969). Jesus Christ Our Lord. 9. Chrst in His Suffering and Death. Moody Publishers. ISBN 9781575677316. 
  23. ^ (Inggris) International Theological Commission, The Hope of Salvation for Infants Who Die Without Being Baptised, Holy See 
Atribusi