Taman Kudus

taman di Indonesia
Revisi sejak 18 Maret 2016 23.39 oleh Dj Ran (bicara | kontrib)

Taman Kudus atau Kudusan Garden adalah taman yang dibangun dengan gaya[1] tradisional Kabupaten Kudus. Prinsip dasar taman Kudus adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam Kabupaten Kudus. Taman Kudus dahulunya hanya di bangun di areal halaman Kemantren di Kudus, halaman Wedana di Kudus, Masjid seperti di Masjid Al-Aqsa (Masjid Menara Kudus), juga di Masjid Wali Loram Kulon, dan Masjid Bubrah Desa Demangan. fungsi taman tersebut untuk sarana hiburan serta untuk menyegarkan pikiran.

Berkas:Anjungan Kabupaten Kudus di Maerokoco.JPG
Taman khas gaya Kudus
Berkas:Taman di Anjungan Rumah Adat Kudus.JPG
Taman khas gaya Kudus

Ornamen pada taman Kudus dahulu hanya menerapkan konsep arsitektur tradisional. Kini taman Kudus lebih mengarah keminiatur alam, arsitektur, dan kultur budaya Kabupaten Kudus dengan sentuhan sedikit modern. Bahkan sekarang taman Kudus dapat di buat oleh masyarakat umum, taman Kudus kini di bangun di hotel yang bertema Kudus, kantor, dan rumah milik pejabat, atau pengusaha.

Ornamen

Taman Kudus terdapat beberapa ornamen khas yang merupakan ciri khas konsep taman gaya Kudus, yaitu:

Joglo Kudus

Joglo Kudus (Joglo Pencu) adalah Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah Adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut “Atap Wuwungan Tembakau”. Jenis bangunan ini merupakan bangunan tradisional di daerah Kudus dan sampai saat ini masih banyak dijumpai. Ciri khusus arsitektur bangunan ini adalah :

  • Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-laba berkaki banyak), gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
  • Kedua, tata ruang rumah adat yang memiliki jogo satru/ruang tamu dengan soko geder-nya/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT bersifat Esa/Tunggal.
  • Ketiga, gedhongan dan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko guru/tiang penyangga. Keempat tiang tersebut adalah simbol yang memberi petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-hari dg mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutmainnah.
  • Keempat, pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah.
  • Kelima, pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu membersihkan diri baik fisik maupun rohani.
  • Keenam, tanaman di sekeliling pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang melambangkan lima rukun Islam; pandan wangi, sebagai simbol rezeki yang harum/halal dan baik bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku yang baik dan budi pekerti luhur, serta kesucian, bersambung ke hal berikutnya.
  • Ketujuh, genteng wuwungan kretek, genteng yang terletak paling atas (kerpus) yang bentuk genteng tersebut berbentuk dedaunan tembakau dan cengkeh.

Candi Bentar

Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit. Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan "supit urang" ("capit udang"), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, Keraton Kasepuhan dan Pemakaman raja-raja Imogiri. Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.

Paduraksa

Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus.

Gazebo

Gazebo merupakan suatu bangunan yang ada di taman, biasanya tiap sisinya terbuka karena sesuai dengan tujuan utamanya, gazebo merupakan tempat yang nyaman untuk menikmati taman. Dengan sisi yang terbuka, Anda yang sedang berada di dalamnya dapat menikmati pemandangan taman dengan lebih bebas juga dapat menikmati udara yang bertiup tanpa terhalang penutup pada tiap sisi.

Tugu Selaras dan Seimbang (Tugu Tembakau Cengkeh)

Patung Tugu Cengkeh dan Tembakau menjadi ornamen taman bertema Kota Kudus Patung Pentol Selaras Dan Seimbang adalah simbol kejayaan Kabupaten Kudus yang merupakan sebagai Kota Kretek. Foto Patung Tugu Pentol Selaras dan Seimbang diatas yang terletak di kawasan Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.Tugu ini terletak di tengah taman kota. Memiliki warna hijau dan berbentuk abstrak. Patung tersebut dibuat dan didesain Benny Ronald Tahalele. Menurut sang perancang, patung tersebut memiliki dua bagian. Bagian pertama menggambarkan tembakau dan bagian kedua menyimbolkan cengkeh, yang merupakan bahan utama membuat rokok kretek khas Kota Kudus. Karena Patung Pentol Selaras Dan Seimbang simbol kejayaan Kota Kudus maka setiap kota yang memiliki tema berkonsep taman tradisional khas Kudus di beri ornamen miniatur Patung Pentol Selaras Dan Seimbang.

Genteng Kudus

Atap Genteng khas Kabupaten Kudus berbentuk menyerupai dedaunan yang berhubungan dengan ciri Kota Kudus Kota Kretek. Genteng tersebut sebagai ikon tembakau yang merupakan bahan utama membuat rokok kretek.

Menara Kudus

Menara Jam yang di bentuk menyerupai Menara Kudus sebagai ornamen hias pada taman bertema yang berkonsep Taman Kudus

Patung Sapi

Sapi merupakan binatang yang sangat berhubungan dengan sejarah dan budaya Kabupaten Kudus. Taman yang mengusung konsep Taman Kudus atau Kudus Garden dipasang ornamen patung sapi sebagai ciri khas dari kabupaten Kudus yang warganya di larang memotong binatang sapi karena di perintah oleh Sunan Kudus. Sapi merupakan binatang yang sangat dihormati oleh penganut agama Hindu di India. Tak ada orang di sana berani mengusir sapi yang berbaring di tengah jalan, misalnya. Sapi dianggap sebagai binatang suci. Hal ini didasarkan pada salah satu peninggalan bersejarah agama Hindu yang menceritakan keterkaitan antara sapi dan Dewa Khrisna. Dalam peninggalan itu disebutkan Dewa Khrisna pernah menampakkan diri di bumi dalam wujud pengembala sapi, yang kemudian mereka sebut sebagai Bala-Gopala atau Govinda yang artinya seseorang yang melindungi kawanan sapi. Bahkan dalam salah satu kitab suci lain, sapi diumpamakan sebagai ibu kehidupan karena air susunya yang banyak berguna buat manusia. Konon pada zaman dahulu ada sekelompok pendeta Hindu yang mendatangi kediaman Sunan Kudus. Mereka melakukan "topo pepe"(memanggang diri di terik matahari) di halaman rumah Sunan Kudus sebagai tanda protes karena di beberapa tempat masyarakat Kudus menyembelih hewan yang mereka hormati dan keramatkan yaitu sapi. Sunan Kudus akhirnya mendapatkan akal untuk menjawab keinginan para pendeta tersebut. Suatu kali beliau pernah menambatkan sapi di depan masjid Menara sehingga penduduk baik yang beragama Hindu maupun Islam berdatangan ke masjid. Disinilah beliau menerangkan bahwa suatu saat ketika masih kecil beliau pernah hampir mati kehausan. Kemudian datang seekor sapi yang menolongnya dengan memberikan air susunya. Karena itu beliau melarang pengikutnya untuk menghormati hewan yang telah menolongnya dengan cara tidak meyembelih sapi. Tindakan Sunan Kudus yang bijaksana ini mendapatkan simpati dari para pengikut agama Hindu, bahkan banyak dari mereka akhirnya menyatakan diri menjadi pengikut Sunan Kudus dan memeluk agama Islam. Demi menghormati keyakinan agama Hindu beliau melarang masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi. Itulah sebabnya sampai sekarang di Kudus tidak ada rumah pemotongan hewan yang menyembelih sapi. Untuk mencukupi kebutuhan akan daging sapi biasanya didatangkan dari daerah sekitar. Orang Kudus percaya kalau mereka melanggar larangan ini maka akan timbul malapetaka di kemudian hari. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih mengikuti peraturan yang diperintah oleh Sunan Kudus untuk menyembelih sapi.

=Patung Barongan Gembong Kamijoyo

Barongan Gembong Kamijoyo (Barongan Khas Kudus) untuk taman yang mengusung konsep Taman Kudus atau Kudus Garden dipasangi ornamen patung barongan khas Kudus yaitu Patung Barongan Gembong Kamijoyo sebagai ciri khas taman bertema dengan konsep Kudus

Dwarapala

Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Biasanya dwarapala diletakkan di luar untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter dengan berat 23 ton. Di pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.

Referensi

Pranala luar