Agrofarmasi

Revisi sejak 26 Juni 2016 18.00 oleh Mas Amrun (bicara | kontrib) (Agrofarmasi sebagai asuhan kefarmasian masyarakat agraris)

Agrofarmasi Universitas Jember adalah spesialisasi yang terdapat di dalam Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Asal Kata

Dengan mengambil analogi kata agrofisika yang berasal dari kata agronomi dan fisika, maka agrofarmasi berasal dari kata agronomi dan farmasi. Seperti halnya pada agrofisika yang memiliki definisi tersendiri yang tidak mencerminkan gabungan definisi agronomi dan fisika, maka diperlukan konsep dan definisi tersendiri untuk kata agrofarmasi.

Konsep Dasar

Agrofarmasi sebagai industri

Konsep agrofarmasi ini pertama kali dikemukakan oleh Sidik pada tahun 1992. Agrofarmasi meliputi industri budidaya tanaman obat, simplisia, sediaan galenik, fraksi atau kelompok senyawa bioaktif dan senyawa murni bioaktif dan hasil konversi yang mempunyai mutu standar. Industri agrofarmasi adalah industri farmasi yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan dan merupakan produk IPTEK tumbuhan obat[1]. Oleh karenanya, agrofarmasi sangatlah terkait dengan agribisnis (agrobisnis), agroindustri, tumbuhan obat (tanaman obat), farmasi dan industri farmasi.

Agrofarmasi sebagai proses pengembangan obat bahan alam Indonesia

Konsep agrofarmasi kemudian dapat dijumpai pada visi dan misi Fakultas Farmasi Universitas Jember, sebagai berikut: “Menjadi fakultas farmasi yang berkualitas dan unggul dalam pengembangan ilmu dan teknologi farmasi bercirikan agrofarmasi (development of natural product based on pharmaceutical added values) dan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care)”[2]. Jika diterjemahkan secara bebas dari konsep di atas, agrofarmasi berarti pengembangan bahan alam berbasis nilai tambah kefarmasian. Nilai tambah pada konsep ini dapat diartikan sebagai “sentuhan” atau aplikasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) kefarmasian.

Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) telah mengklasifikasikan obat bahan alam Indonesia menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka[3]. Oleh karenanya, obat bahan alam Indonesia (jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka) adalah produk agrofarmasi. Tata laksana pendaftaran obat bahan alam Indonesia tersebut telah diatur oleh Badan POM[4].

Jamu

Berkas:Obat bahan alam Indonesia.png

Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman[4]. Sediaan galenik adalah hasil ekstraksi simplisia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan. Jamu harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium[3].

Obat herbal terstandar

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi[4]. Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik; serta telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium[3].

Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi[4]. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik; telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi[3].

Agrofarmasi sebagai asuhan kefarmasian masyarakat agraris

Konsep agrofarmasi ini juga dapat dikomparasikan dengan konsep agromedis yang tercantum dalam penjelasan visi dan misi Fakultas Kedokteran Universitas Jember, sebagai berikut: “FK UNEJ juga diharapkan menjadi pusat pendidikan agromedis dimaksudkan bahwa FK UNEJ bertekad untuk mengembangkan ilmu kedokteran yang terkait dengan aktivitas agroindustri meliputi aplikasi ilmu kedokteran untuk promosi kesehatan, preventif, kuratif dan keselamatan kerja petani dan keluarganya, para pekerja dan konsumen produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan dan maritim”[5]. Konsep agromedis ini senada dengan konsep agromedicine yang dirumuskan oleh Pustaka Pertanian Nasional, Departemen Pertanian Amerika Serikat (National Agricultural Library,United States Department of Agriculture)[6].

Berdasarkan uraian di atas, agrofarmasi dapat didefinisikan sebagai aplikasi ilmu farmasi untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja petani dan keluarganya, para pekerja dan konsumen produk pertanian. Saat ini, paradigma praktek kefarmasian telah bergeser dari praktek berorientasi produk (drug oriented) menuju praktek berorientasi pasien (patient oriented) yang berazaskan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care)[7]. Perlu dipahami bahwa bidang pertanian juga meliputi perkebunan dan peternakan. Oleh karenanya, masyarakat agraris tidak terbatas kepada petani, tetapi juga mereka yang bekerja di bidang perkebunan dan peternakan. Oleh karenanya, agrofarmasi juga dapat didefinisikan sebagai asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris.

Uraian Konsep

Pengembangan obat bahan alam Indonesia

Sumber bahan baku

Pada proses pengembangan obat bahan alam, tahapan awal yang paling penting adalah pemilihan sumber (asal) dan kualitas bahan baku. Pemerintah melalui Depkes menyarankan penggunaan tanaman budidaya dan menghindari penggunaan tumbuhan liar untuk pembuatan obat bahan alam[8].

Tumbuhan liar umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :

  • Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen tidak tepat dan berbeda-beda
  • Jenis (spesies) tumbuhan yang dipanen seringkali kurang diperhatikan sehingga simplisia yang diperoleh tidak sama
  • Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda, sering mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif.

Di sisi lain, tanaman budidaya memiliki karakteristik sebagai berikut :

  • Bahan baku dari tanaman budidaya memiliki variasi lebih kecil daripada bahan baku dari tumbuhan liar
  • Senyawa aktif pada tanaman budidaya lebih mudah dimonitor untuk penentuan waktu panen optimum
  • Ketidakajegan kualitas karena kondisi lingkungan yg bervariasi dapat dikendalikan.

Proses budidaya tanaman obat

Pedoman budidaya tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes RI)[9]. Secara garis besar, tahapan budidaya tanaman obat dibagi menjadi : pembenihan dan pembibitan tanaman obat, serta budidaya tanaman obat. Organisasi kesehatan dunia (WHO) sebelumnya juga mengembangkan pedoman praktek budidaya dan pemanenan tanaman obat yang baik (Good Agricultural and Collection Practice) pada tahun 2003[10].

Pembenihan dan pembibitan tanaman obat

Tahapan pembenihan tanaman obat dibagi menjadi :

  1. Seleksi benih
  2. Uji kemurnian benih
  3. Uji kadar air benih
  4. Uji daya kecambah benih
  5. Pengolahan benih
  6. Penyimpanan benih.

Proses pembibitan tanaman obat secara garis besar dibagi menjadi tahapan berikut.

  1. Pembibitan secara generatif
  2. Pembibitan secara vegetatif.

Pembibitan tanaman obat secara vegetatif dibagi menjadi :

  1. Stek
  2. Cangkok
  3. Okulasi
  4. Merunduk[9].
Budidaya tanaman obat

Tahapan budidaya tanaman obat adalah sebagai berikut :

  1. Pemilihan lokasi penanaman
  2. Penyiapan lahan
  3. Penyiapan bibit dan penanaman
  4. Pemberian naungan
  5. Pemeliharaan
  6. Dokumentasi[9].

Pengelolaan pasca panen tanaman obat

Pedoman pengelolaan pasca panen tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Balitbangkes RI[11]. Pengelolaan pasca panen tanaman obat juga dapat merujuk pada pedoman GACP yang dikeluarkan WHO tahun 2003[10]. Pengelolaan pasca panen merupakan suatu perlakuan yang diberikan pada hasil panen hingga produk siap dikonsumsi.

Pengelolaan pasca panen yang kurang tepat dapat menyebabkan berbagai kerusakan bahan baku (simplisia) baik secara fisika maupun kimia. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fisik/kimiawi dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Perubahan fisiologis bahan
  2. Pencemaran mikroba patogen
  3. Kerusakan penyimpanan
  4. Kerusakan fisik.
Perubahan fisiologis bahan

Umur tanaman saat panen berpengaruh terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan. Tanaman yang belum cukup umur saat panen masih mengalami perkembangan secara fisiologis yang berakibat kerusakan fisiologis. Pada simplisia rimpang dan buah yang belum cukup umur saat panen menyebabkan rimpang dan buah menjadi keriput sehingga nilai ekonomisnya turun.

Pencemaran mikroba patogen

Tingkat pencemaran mikroba tertinggi dijumpai pada simplisia akar dan rimpang. Jika tanah tempat tumbuh tanaman asal dipupuk dengan kotoran hewan atau manusia, maka tingkat pencemaran akan meningkat.

Kerusakan penyimpanan

Kerusakan penyimpanan umumnya terjadi pada tempat penyimpanan (gudang) yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjamin kualitas hasil panen. Kelembaban dan cahaya di dalam gudang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memicu timbulnya kerusakan hasil panen.

Kerusakan fisik

Kerusakan fisik umumnya disebabkan oleh cara pemanenan yang tidak benar. Pengangkutan hasil panen ke tempat penyimpanan atau tempat pengolahan lebih lanjut juga dapat menyebakan kerusakan fisik.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada kerusakan kandungan kimia simplisia dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Kandungan air bahan
  2. Pengaruh sinar ultra violet (UV)
  3. Faktor pemanasan
  4. Derajat keasaman (pH).

Simplisia

Simplisia merupakan bahan baku untuk industri obat bahan alam Indonesia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat dikelompokkan berdasarkan asal bahan bakunya, yakni :

  1. Simplisia nabati
  2. Simplisia hewani
  3. Simplisia pelikan.

Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya[11].

Secara singkat, simplisia nabati adalah bagian dari tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan obat dan yang sudah memenuhi persyaratan tertentu.

Pembuatan simplisia nabati

Pembuatan simplisia merupakan kelanjutan proses pengelolaan pasca panen tanaman obat. Tahapan pembuatan simplisia nabati adalah sebagai berikut.

  1. Pengumpulan bahan baku
  2. Sortasi basah
  3. Pencucian
  4. Perajangan
  5. Pengeringan
  6. Sortasi kering
  7. Pengepakan & penyimpanan[8].
Pengumpulan bahan baku

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan bahan baku simplisia adalah sebagai berikut.

  1. Bagian tanaman yang akan digunakan
  2. Umur tanaman atau bagian tanaman saat panen
  3. Waktu yang tepat untuk panen.

Pada tanaman kecubung (Datura metel), yang ditanam pada ketinggian 2166 m dpl, kadar alkaloid tertinggi terakumulasi pada bunga (0,99%), diikuti akar (0,89%), daun (0,58%), batang (0,46%) dan biji (0,19%).

Umur tanaman dan bagian (organ) tanaman terkait erat dengan kandungan aktif (metabolit sekunder) tanaman. Pada tanaman Datura tatula, kandungan alkaloid total (skopolamin dan hiosiamin) tertinggi diperoleh saat panen pada umur 3-5 bulan, diikuti saat bunga pertama mekar, kemudian saat awal pematangan buah dan terakhir saat muncul kuncup bunga pertama.

Musim terkait erat dengan aktivitas fisiologi tanaman sehingga akan berdampak pada kandungan aktif yang dibentuk saat akhir masa pertumbuhan, yaitu ketika suplai nutrisi sudah terbatas dan tidak mencukupi lagi untuk pertumbuhan. Rimpang sejumlah tanaman empon-empon lebih tepat dipanen pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau.

Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya seperti : tanah, kerikil, rumput, bagian tumbuhan yang rusak atau pengotor lainnya.

Pencucian

Pencucian dialkukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat. Selain itu, pencucian bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba. Oleh karenanya, pencucian harus menggunakan air bersih dari mata air, sumur atau PDAM.

Perajangan

Perajangan bertujuan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan atau penggiingan. Makin tipis irisan, penguapan air akan makin cepat. Meski demikian, rimpang yang banyak mengandung minyak atsiri tidak boleh diiris terlalu tipis karena menyebabkan penurunan kadar minyak atsiri pada simplisia.

Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak agar bisa disimpan dalam waktu yang lama. Air yang tersisa dapat menjadi media tumbuh kapang dan jasad renik lainnya. Kadar air < 10% akan menghentikan reaksi enzimatis yang seringkali menyebabkan kerusakan senyawa aktif simplisia.

Sortasi kering

Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor lain yang masih ada. Tahapan ini adalah tahapan akhir pembuatan simpisia.

Pengepakan dan penyimpanan

Pengepakan atau pengemasan sangat berpengaruh terhadap mutu simplisia terkait dengan pengangkutan dan penyimpanan. Kegiatan ini bertujuan untuk meindungi simplisia saat pengangkutan, distribusi dan penyimpanan dari gangguan luar seperti suhu, kelembaban, sinar, pencemar mikroba serta serangan berbagai jenis serangga.

Asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris

Asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris secara konsep tidaklah berbeda dengan asuhan kefarmasian secara umum. Asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris lebih menekankan kepada sasaran, yakni masyarakat agraris. Masyarakat agraris memiliki karakteristik dan pola penyakit yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat urban (perkotaan).

Luaran (outcome) asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris tidakah berbeda dengan luaran asuhan kefarmasian secara umum sebagai berikut :

  • Terjaminnya keamanan, efektifitas dan keterjangkauan biaya pengobatan
  • Meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan dan penggunaan obat dan/atau alat kesehatan
  • Terhindarnya reaksi obat yang tidak diinginkan
  • Terselesaikannya masalah penggunaan obat dan/atau alat kesehatan dalam situasi tertentu[7].

Penerapan konsep asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris dapat dijumpai pada kasus-kasus berikut, yang dimuat pada Journal of Agromedicine.

  • Studi kasus gigitan laba-laba pertapa : peran farmasis komunitas dalam terapi untuk mendapatkan luaran klinik yang sukses[12].
  • Studi kasus sengatan semut api yang menyebabkan reaksi hampir fatal[13].

Rumusan Konsep

Agrofarmasi dapat didefinisikan sebagai :

  1. Pengembangan bahan alam menjadi obat alam Indonesia (jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka).
  2. Asuhan kefarmasian pada masyarakat agraris.

Referensi

  1. ^ [1] Andriaty, E., Sundari, T.S. (Eds.). Abstrak Hasil Penelitian Pertanian Komoditas Tanaman Obat, Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. ISBN. 978-979-8943-25-6.
  2. ^ [2]Visi dan Misi FFUJ
  3. ^ a b c d [3]Badan POM, 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.
  4. ^ a b c d [4]Badan POM, 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK. 00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
  5. ^ [5]Visi dan Misi FKUJ.
  6. ^ [6]Definisi Agromedicine dari NAL-USDA
  7. ^ a b [7]Depkes, 2008. Pedoman pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care). Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
  8. ^ a b Anonim, 1985. Cara pembuatan simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
  9. ^ a b c [8]Balitbangkes, 2011. Pedoman umum budidaya tanaman obat. Tawang Mangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
  10. ^ a b [9]World Health Organization, 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO Press.
  11. ^ a b [10]Katno, 2008. Pengelolaan pasca panen tanaman obat. Tawangmangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
  12. ^ Nonavinakere VK, Stamm PL, Early II JL, 1996. A Case Study of Brown Recluse Spider Bite. Journal of Agromedicine, 3(4): 37-44.
  13. ^ Levy AL, Wagner JM, Schuman SH, 1999. Fire Ant Anaphylaxis. Journal of Agromedicine. 5(4): 49-54.

Pranala Luar

  1. Website resmi Badan POM.
  2. Website resmi FFUJ.
  3. Website resmi FKUJ.
  4. Journal of Agromedicine.