Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta
Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta atau Makaryo merupakan suatu wadah konsensus beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan gerakan masyarakat sipil yang didirikan sebagai reaksi dan keprihatinan atas meningkatnya tindakan kekerasan di Yogyakarta.[1]
Singkatan | Makaryo |
---|---|
Tanggal pendirian | 11 Februari 2008 |
Status | Lembaga nirlaba |
Tipe | NGO |
Tujuan | Menciptakan Daerah Istimewa Yogyakarta bebas dari kekerasan.[1] |
Kantor pusat | Yogyakarta |
Wilayah layanan | Yogyakarta, Indonesia |
Jumlah anggota | 45 LSM di Yogyakarta |
Bahasa resmi | Bahasa Indonesia |
Pendirian
Aksi kekerasan dan pengerusakan terhadap kantor Lembaga Ombudsman Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta (LOS DIY) pada tanggal 11-2-2008[2] dikecam oleh berbagai elemen masyarakat sipil di Yogyakarta. Tri Wahyu Kaha bersama beberapa tokoh lain mendirikan suatu forum bernama Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) untuk mengawal penyelesaian kasus tersebut[1] hingga akhirnya berhasil menyeret pemimpin aksi massa yang berujung pada kekerasan tersebut ke penjara.[3]
Selanjutnya, Makryo tidak hanya bergerak di bidang kekerasan yang bersifat politis, tetapi juga kekerasan fisik, psikologis, birokratis, dan struktural di bidang agama/kepercayaan, pluralisme, perempuan dan anak, jurnalis, pekerja, dan sebagainya. Keanggotaan Makaryo yang berjumlah 26 LSM/ individu/ organisasi terus mengalami pengingkatan.[1]
Deklarasi Jogja darurat kekerasan
Makaryo mendeklarasikan "Jogja Darurat Kekerasan" pada tanggal 7 November 2013 sebagai sikap terhadap semakin meningkatkanya kasus kekerasan di Yogyakarta. Menurut Koordinator Umum Makaryo, Beni Susanto, terdapat 18 kasus kekerasan di Yogyakarta yang masuk ke data mereka semenjak tahun 1996, tetapi hanya dua yang diproses hukum. Kasus-kasus tersebut diawali penganiayaan yang menyebabkan kematian pada wartawan Fuad Muhammad Syafruddin hingga penyerangan peserta silaturahmi korban 1965 (Oktober 2013) oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Makaryo mengharapkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memanggil Sultan dan Kapolda DIY untuk mencari solusi.[4]
Pada bulan Mei 2014, Makaryo menyatakan akan melaporkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X, dan bupati Sleman, Bantul, dan Gunungkidul ke Komnas HAM, serta Polda DIY ke Kompolnas, dan meminta Kapolda DIY Haka Astana dicopot dari jabatannya. Hal tersebut disebabkan enam bulan semenjak deklarasi Jogja Darurat Kekerasan, kasus kekerasan di Yogyakarta semakin meningkat.[5]
Gerakan #SaveJogja
Gerakan #SaveJogja dilontarkan Makaryo sejak 5 Mei 2016 untuk mengembalikannya Yogyakarta sebagai Kota Toleran sebagaimana dideklarasikan pada tanggal 3 Maret 2011. Menurut Tri Wahyu, jika kondisi intoleransi di Yogyakarta dibiarkan, "Yogya akan jadi mantan Kota Pendidikan, mantan Kota Budaya, mantan Kota Toleran."[6]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d Abidin, Zainal (2015). "Kontrol Sosial Gerakan Masyarakat Sipil terhadap Kasus Kekerasan di Daerah Istimewa Yogyalkarta: Studi pada Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo)". Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
- ^ "Tolak Hasil Penelitian, Massa Rusak Kantor Ombudsman Yogya". Detik News. 11-2-2008. Diakses tanggal 24-8-2016.
- ^ "Ketua Partai NasDem Bantul Dijebloskan ke Bui Terkait Aksi Anarkis". Detik News. 20-2-2013. Diakses tanggal 24-8-2016.
- ^ "Deklarasi Darurat Kekerasan di Yogyakarta". Tempo. 7-11-2013. Diakses tanggal 24-8-2016.
- ^ Ibrahim Umar (3-6-2013). "Makaryo Laporkan Sultan dan 3 Bupati ke Komnas HAM serta meminta Kapolda DIY dicopot". Waktoe.com. Diakses tanggal 24-8-2016.
- ^ Pito Agustin Rudiana (7-5-2016). "Gerakan #SaveJogja untuk Selamatkan dari Intoleransi". Tempo. Diakses tanggal 24-8-2016.