Surealisme
Surealisme ialah gerakan budaya yang bermula pada pertengahan tahun 1920-an. Surealisme merupakan seni dan penulisan yang paling banyak dikenal. Karya ini memiliki unsur kejutan, barang tak terduga yang ditempatkan berdekatan satu sama lain tanpa alasan yang jelas. Banyak seniman dan penulis surealis yang memandang karya mereka sebagai ungkapan gerakan filosofis yang pertama dan paling maju. Karya tersebut merupakan artefak, dan André Breton mengatakan bahwa surealisme berada di atas segala gerakan revolusi. Dari aktivitas Dadaisme, surealisme dibentuk dengan pusat gerakan terpentingnya di Paris. Dari tahun 1920-an aliran ini menyebar ke seluruh dunia. Surealisme memengaruhi film seperti Angel's Egg dan El Topo.
Kata surealisme diciptakan tahun 1917 oleh Guillaume Apollinaire dalam catatan program yang menjelaskan balet Parade, yang merupakan karya kolaboratif oleh Jean Cocteau, Erik Satie, Pablo Picasso dan Léonide Massine: "Dari persekutuan baru ini, hingga sekarang, perlengkapan dan kostum panggung di satu sisi dan koreografi di sisi lain hanya ada persekutuan pura-pura di antara mereka, terjadi sejenis super-realisme ('sur-réalisme') di Parade, di mana saya melihat titik mula serangkaian manifestasi semangat baru ini."[butuh rujukan]
Fantastic Art atau Seni Fantastik, bisalah dikatakan sebagai sebuah mashab, aliran seni rupa yang baru saja diakui eksistensinya. Padahal bentuk ini sudah muncul sejak lama, bahkan pelukis Hieronymus Bosch (1450-1561) sekarang digolongkan sebagai salah satu perintis mashab ini. Lukisan Bosch “The Garden of Earthly Delights” yang menggambarkan surga dan neraka, yang tadinya digolongkan pada mashab Renesans, tapi kemudian diperdebatkan dan belakangan barulah digolongkan pada Seni Fantastik. Begitu juga beberapa pelukis lain pada masa sesudahnya, seperti: Brueghel, Giuseppe Arcimboldo, Matthias Grünewald, Hans Baldung Grien, Francisco de Goya, Gustave Moreau, Henry Fuseli, Odilon Redon, Max Klinger, Arnold Böcklin, William Blake, Gustave Doré, Giovanni Battista Piranesi, Salvador Dalí, Arik Brauer, Ernst Fuchs, Johfra, sampai Matti Klarwein. Sekitar tahun 1970-an, ketika istilah Seni Fantastik ini muncul, sebetulnya dimulai oleh seniman-seniman yang tergolong ilustrator, yang berkarya diatas kanvas untuk kebutuhan sampul-sampul novel, yang cerita-ceritanya dikelompokkan pada kisah fantasi, khayalan, legenda, dongeng, cerita rakyat, atau fiksi, termasuk fiksi –ilmiah yang bercerita tentang angkasa luar, kehidupan alien, kehidupan purba, dinosaurus, dsb. Yang dianggap paling berpengaruh dari generasi ini adalah: Frank Frazetta (1928-2010), juga Roger Dean dan Boris Vallejo. Pengaruh angkatan ini sampai juga di Indonesia, dan kebanyakan bisa dijumpai pada sampul-sampul komik dan novel masa 1980-an, bahkan kaset. [Hal ini pernah kami teliti untuk sebuah skripsi tahun 1987 dengan judul: Ilustrasi Fantasi dan Fiksi Sains / FSRD ITB] Namun bila diteliti lebih jauh, di Indonesia sebetulnya lukisan-lukisan yang tergolong Seni Fantastik ini sudah muncul di sekitar tahun 1960-an, yaitu pada karya-karya lukis yang di masa lalu digolongkan pada Seni Naturalis Romantik, seperti lukisan dengan tema Ken Dedes, atau Rahwana melawan Jatayu, yang bisa ditemui di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul Jaka Tarub atau Nyai Roro Kidul bisa digolongkan pada mashab ini, terutama dalam hal tema yang diangkat. Serta masih banyak lukisan lain bertema wayang. Namun sampai di masa belakangan kita masih menyebut masa itu Naturalis atau Romantik Naturalis. Pengakuan tentang aliran atau mashab ini baru jelas sekitar tahun 2005, ketika Penerbit Taschen yang dikenal akan buku-buku seninya, menerbitkan: Schurian, Prof. Dr. Walter (2005). Fantastic Art. Taschen. ISBN 978-3-8228-2954-7 (English edition). Dalam buku ini Schurian mengakui betapa sulitnya dunia seni rupa menerima tema-tema Fantastik, yang bernuansa fantasi, ini menjadi suatu mashab seni. Kembali ke Indonesia sendiri, bagi generasi yang lahir tahun 1980-an mereka sudah tidak asing dengan tema-tema Fantastik ini, karena di sekitarnya bermunculan berbagai bentuk karya rupa dengan tema ini. Komik, Game, Poster, Majalah, T-shirt, cakram (Compact disc), film-film, mainan, dan banyak lagi yang mengangkat tema ini. Generasi sebelumnya, yang lahir 1960-an atau 1970-an, hanya sebagian yang menyadari kehadiran gaya ini, itupun sering digolongkan sebagai desain, ilustrasi saja, serta hanya sedikit yang bertahan dengan gaya ini. Tema Fantastik inipun ada pada dunia wayang, lukisan Bali dari sejak zaman penjajahan sampai lukisan bali yang sekarang. Lagi pula tema fantastik erat sekali dengan dongeng (storytelling). Walaupun begitu, dosen, mahasiswa maupun guru senirupa akan kesulitan mengajar seni fantastik ini bila pembelajaran bermula dari jenis-jenis mahsab dan aliran seni rupa. Penelitian baca gambar, foto yang dilakukan oleh Zahar (2008) menunjukkan bahwa mahasiswa belajar apresiasi gambar secara berurut dari mendeskripsi aktifitas subyek pada gambar tersebut, teknik pembuatan, membahas elemen dan prinsip seni dan yang terakhir penentuan mahsab. Aktifitas subyek pada gambar dan subjek itu sendiri merupakan tema dari gambar tersebut. Oleh karena itu pembelajaran dengan tema pada dunia seni rupa menjadi hal yang penting bila kita akan menerapkan suatu metode pembelajaran berbasis masalah atau pembelajaran yang mementingkan tema seperti pembelajaran yang berintegrasi (Fogarty & Stoehr, 2008). Pada tulisan ini akan difokuskan pada pembuatan klasifikasi tema seni fantastik yang akan mempermudah pengajar dan mahasiswa dalam proses pembelajaran senirupa. “Klasifikasi” tema atau klasifikasi subjek ini agak berbeda dengan “klasifikasi” sejarah senirupa yang memperhitungkan tahun pembuatan, gaya, pengaruh luar dari seniman. Tema adalah subjek (ide utama) dari suatu lukisan, gambar atau foto. Terry Barrett (2000) membedakan antara subjek (ide utama) dengan subject matter. Subject matter adalah tokoh atau orang, benda yang ada didalam gambar. Seandainya lukisan itu hanya berisi suatu komposisi dari bentuk, maka bentuk-bentuk tersebut sebagai subject matter. Pengelompokkan tema pada klasifikasi seni fantastic ini tidak meliputi semua karya seniman di Indonesia. Klasifikasi tema fantastik ini memperlihatkan bahwa tidak semua pelukis selalu mengerjakan seni fantastik, seperti pelukis Basuki Abdullah, Nasirun, Hendra Gunawan. Bahkan Basuki Abdullah lebih dikenal sebagai pelukis naturalis bukan sebagai seni fantastik. Tetapi boleh dibilang seniman era prakolonial di Bali adalah seniman fantastik. Bahkan gaya dengan tema fantastik ini masih dominan sampai pelukis muda Bali. Tema cerita Ramayana, Mahabrata, Arjuna Wiwaha merupakan cerita yang paling sering digambarkan. Tema kematian Kumbakarna dilukis oleh berberapa pelukis seperti I Ketut Budiana dan Nasirun, atau kisah pencurian pakaian dewi oleh jaka tarub yang dilukis dari Ida Bagus Nyoman Rai, Abdul Azis dan yang paling dikenal adalah lukisan yang dilukis oleh Basuki Abdullah. Lukisan dengan judul yang sama dalam suatu tema akan melatih siswa untuk belajar membandingkan dan membedakan karya satu dengan karya lainnya. Sehingga siswa dapat meningkatkan ketrampilan berpikir terutama bila mengikuti taksonomi Bloom. Pengenalan tema dan pembandingan tema antara karya seni termasuk tahap tiga dari Taksonomi Bloom. Zahar (2011) dan Hamblen, (1984). Tema dalam pembelajaran seni rupa bisa pula diangkat sebagai suatu persoalan nyata dalam pembelajaran berbasis masalah. Pencarian suatu tema dalam suatu karya merupakan salah satu persoalan dalam suatu pembelajaran berbasis masalah. Tema tidak mudah ditentukan pada saat pembuatan tugas para mahasiswa. Pengenalan suatu tema akan memudahkan guru untuk membagi kelompok kerja pada saat mengaplikasikan pembelajaran berbasis masalah. Fogarty dan Stoehr, 2008 membagi 10 model untuk mengintegrasikan kurikulim. Semua model ini membutuhkan tema yang berkaitan antara disiplin ilmu. Pada tulisan ini mencoba melihat dari karya seni rupa, yaitu tema pada seni fantastik. Bila seni komik fantasi ilmiah tentunya berkaitan dengan tema pada ilmu sains. Misal pembuatan cerita Gundala putra petir bisa saja dikaitkan dengan teori-teori pada ilmu fisika sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik. Komik Seni yang lain yang tidak begitu banyak tokohnya tetapi pembacanya besar adalah komik. Komikus Indonesia terkenal sepert Teguh Santosa, Jan Mintaraga dll banyak membuat karya yang tergolong seni fantastic dengan tema wayang maupun tokoh imajinasi seperti Gundala Putra Petir, Sri Asih dsb. Komikus Karya komik Teguh Santosa (1942-2000) Mahabharata Jan Mintaraga (1942-1999) Ramayana, Indra Bayu, Teror Macan Putih Widodo Noor Slamet (1938-2003) Godam, Aquanus R A Kosasih (1919) Sri Asih, Mahabharata Ganes TH (1935-1995) Si Buta dari Goa Hantu Harya Suryaminata (1955) Gundala Putra Petir Pengenalan tema seni fantastik dari komik lebih mudah dipahami pembaca karena alur ceritanya jelas dan dalam komik disertai teks Hal tersebut yang tidak ada dalam lukisan tradisionil. Pengembangan muatan lokal termasuk nilai-nilai luhur dalam lukisan tradisionil dan pengangkatan cerita rakyat dalam bentuk komik merupakan bahan ajar yang baik. Sehingga murid sekolah dapat belajar visual dan menggembangkan modalitas belajar mereka. Pengenalan seniman lokal baik yang nasional dan internasional akan sangat diperlukan dalam budaya kompetisi global. Bangsa yang berhasil mengembangkan budaya visual mereka, seperti India dengan film bollywoodnya, Cina dengan film silatnya dan sejarahnya, korea dengan film serialnya, Jepang dengan komik mangga dsb. Semua ini mengangkat muatan lokal dari negaranya masing-masing.
Referensi
Barrett, T (2000) Criticizing Art: Understanding the contemporary. McGrawHill: New
York.
Couteau, J (2011) Bali Inspires, Yayasan Seni Rudana : Bali
Fogarty, R dan Stoehr, J (2008) Integrating Curricula with Multiple Intelligences, 2nd, Corwin Press : California
Hamblen, K, A. “An Art Criticism Questioning strategy within the Framework of Bloom’s Taxonomy”, Studies in Art Education, Vol 26. No.1, 1984. 41-50. National Art Education Association.
Schurian, W (2005). Fantastic Art. Taschen. Spanjaard, H (2004) Exploring Modern Indonesian Art (The Collection of DR Oei Hong Djien), SNP International: Singapore.
Zahar, I. The integration Ki Hadjar Dewantara’s Taxonomy into Barrett ‘s criticism model, Paper Presented at the 4th Redesigning Pedagogy International
Conference, May/June 2011, Singapore http://r.search.yahoo.com/_ylt=A2oKmKpToxBY0h0AHXTjPwx.;_ylu=X3oDMTEyMTA5cWZwBGNvbG8Dc2czBHBvcwMyBHZ0aWQDQjA5MDZfMQRzZWMDc3I-/RV=2/RE=1477514195/RO=10/RU=http%3a%2f%2fumkeprints.umk.edu.my%2f1022%2f1%2fPaper.pdf/RK=0/RS=7muWV57KZr707u0Hd0gTKbq773U-