Festival Film Indonesia

penghargaan tahunan bagi insan perfilman Indonesia
Revisi sejak 8 November 2016 09.52 oleh Dimma21 (bicara | kontrib)

Festival Film Indonesia (FFI) merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman di Indonesia. FFI pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 dan berlanjut pada tahun 1960 dan 1967 (dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional), sebelum akhirnya mulai diselenggarakan secara teratur pada tahun 1973.

Festival Film Indonesia
Penghargaan terkini: Festival Film Indonesia 2016
Piala Citra, penghargaan bagi insan perfilman Indonesia
DeskripsiPrestasi dalam perfilman Indonesia
NegaraIndonesia
Dipersembahkan olehBadan Perfilman Indonesia (1955-sekarang)
MNC Group (2009-2012)
Surya Citra Media (2012-2014)
Samsung Indonesia (2014-2016)
Philips Indonesia (2016-sekarang)
Diberikan perdana1955 (Piala Citra)
1986 (Piala Vidia)[1]
Situs webhttp://www.kkffi.or.id/, https://festivalfilm.id/ Sunting ini di Wikidata

Mulai penyelenggaraan tahun 1979, sistem Unggulan (Nominasi) mulai dipergunakan. FFI sempat terhenti pada tahun 1992, dan baru diselenggarakan kembali tahun 2004. Pada perkembangannya, diberikan juga penghargaan Piala Vidia untuk film televisi.

Sejarah

Awal Pembentukan

 
Bioskop Metropole, Jakarta memperingati Festival Film Indonesia pertama tahun 1955.

Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, mempelopori Festival Film Indonesia (FFI).

Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dibuatnya festival film untuk upaya menarik perhatian masyarakat bahwa film Indonesia tidak kalah baiknya dengan film asing. Tentu hal ini niat yang gagah untuk menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia. Momentum yang tepat, yaitu tahun 1955 yang baru sepuluh tahun Indonesia merdeka. Niat lain yang digulirkan Djamaluddin Malik ialah festival film itu sebagai peristiwa budaya. Artinya untuk evaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun. Tetapi yang lebih penting festival film tahun 1955 adalah dijadikan forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus forum penilaian mengenai kualitas teknis penggarapan serta penyajian atas karya film.

 
A. Hadi, Fifi Young, A.N. Alcaff dan Dhalia pada Pekan Apresiasi Film Nasional 1955.

Usai menyelenggarakan festival film 1955, tahun berikutnya Djamaluddin Malik tidak mengadakan festival. Selama tiga tahun, tepatnya tahun 1956 hingga tahun 1959 tidak ada lagi festival film. Tahun 1960 baru diadakan kembali festival film, diselenggarakan di Jakarta, 21-25 Februari, film terbaiknya adalah Turang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Selesai festival film 1960, tahun berikutnya tak ada lagi festival. Barulah pada bulan Agustus 1967 diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960. Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Jusa Biran (Dibalik Tjahaya Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria ialah Soekarno M. Noor dan pemeran utama wanita yaitu Mieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).

Beberapa kali penyelenggaraan FFI vakum. Hal ini diakibatkan kondisi politik yang tidak menentu pada saat itu. Penyelenggaraan FFI baik pada tahun 1955, 1960 hingga tahun 1967 yang dinamakan Pekan Apresiasi Film Nasional, kerap disebut pemerhati film sebagai Pra-FFI. Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Nasional Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional.

YFI mengadakan festival film tahun 1973, yang seterusnya disebut Festival Film Indonesia, dengan menobatkan Perkawinan karya Wim Umboh, meraih pula piala untuk sutradara terbaik. Di satu sisi, pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi wartawan dihentikan pada tahun 1975 alias terintegrasi dengan YFI. Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Maka melalui lembaga ini pelaksana FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur. Maka pada tahun 1982 penyelenggaraan FFI sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.[2]

Sejak saat itu pula penyelenggaraan FFI berpindah–pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan di Medan tahun 1983. Tahun berikutnya di Yogyakarta, di Bandung dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara di Denpasar. Patut dicatat penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penontonnya.

Mati Suri-nya Perfilman Indonesia

Berkas:FFI - Piala Citra Pemenang.jpg
Piagam pemenang Piala Citra kategori Penata Fotografi (Sinematografi) Terbaik, W.A. Cokrowardoyo pada Festival Film Indonesia 1989.

Pada tahun 1980-an acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 1990-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru. Hal inilah yang membuat Festival Film Indonesia 1992 menjadi Festival Film Indonesia terakhir sebelum mengalami masa vakum.[3]

Sementara, sejak tahun 1992, Piala Vidia diberikan terpisah dengan FFI, dan diadakan dalam FSI atau Festival Sinetron Indonesia. Kelesuan industri film tanah air menyebabkan industri sinetron yang berkembang pesat. FSI menjadi ajang pengganti FFI yang prestisius, dan diadakan setiap tahun dengan meriah. Penyelenggaraan FSI terhenti pada tahun 1999.

Kembalinya Festival Film Indonesia

Berkas:Kru Film Bioskop Terbaik FFI 2008.jpg
Kru Fiksi, Film Bioskop Terbaik FFI 2008

Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Hal inilah yang kemudian membuat Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun, Namun penyelenggaraannya sempat diwarnai keluhan beberapa penerima penghargaan mengenai acara penghargaan yang tak ditayangkan di televisi.[4]Piala Vidia kembali diadakan pada tahun 2004, berbarengan dengan FFI. Kembali terhenti tahun 2007 hingga 2010, dan kembali diadakan pada tahun 2011 hingga 2014.[5]

Festival Film Indonesia 2006 mengundang kontroversinya sendiri, ketika film Ekskul dinyatakan sebagai Film Terbaik. Penobatan Ekskul sebagai Film Terbaik menuai kontroversi dari Masyarakat Film Indonesia (MFI). MFI yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya Sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2005 untuk film Gie dan sebanyak 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 memprotes penyelenggaraan FFI 2006 ini karena telah memberikan penghargaan Film terbaik pada film Ekskul dan Sutradara Terbaik pada sutradaranya, Nayato Fio Nuala, yang menurut mereka sarat dengan unsur plagiat. Akibatnya kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu ditanda-tangani oleh ketua BP2N, Deddy Mizwar.[6]

Perbaikan Festival Film Indonesia terus dilakukan pasca kontroversi Ekskul tersebut, termasuk dalam bidang penjurian dan pelaksanaan FFI. Hal tersebut dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian sehingga hasilnya bisa lebih dipertanggungjawabkan. Penyelenggara pun silih berganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009 hingga berdirinya Badan Perfilman Indonesia (BPI) tahun 2014.[7]

Sistem Penjurian

Mulai tahun 2014, FFI dilaksanakan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Dan sejak 2014 itu, sistem penjurian FFI diubah. Kemala Atmojo, yang membawahi bidang Festival Film Dalam negeri (Sekarang Ketua BPI), mengubah total sistem penjurian FFI. Sejak 1955, FFI selalu dinilai oleh panel Dewan Juri antara 7 sampai 9 orang. Namun, mulai 2014 diubah menjadi 100 orang. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap dan melibatkan akuntan publik.[8][9]

Pada tahap awal (pertama), dibentuk kelompok dewan juri sesuai dengan keahlian masing-masing bidang. Dewan Juri Tahap I ini hanya menilai bidang tertentu saja, misalnya, editing atau musik. Hasil penilaian juri tahap awal ini dikirim langsung ke akuntan publik, yang kemudian melakukan rekapitulasi. Hasil rekapitulasi dari tiap-tiap kelompok dewan juri ini menghasilkan nominasi.[10]

Lalu, nominasi masing-masing kategori dikirim ke semua dewan juri lagi. Pada tahap ini seluruh dewan juri menilai semua kategori (namun yang sudah masuk dalam nominasi). Hasil penilaian Tahap II ini juga dikirim langsung ke akuntan publik. Kemudian akuntan publik merekapitulasi kembali dan hasilnya diserahkan kepada pembaca pemenang pada saat Malam Puncak. Sistem penilaian model baru ini kemudian diteruskan dalam FFI 2015 yang juga dilaksanakan oleh BPI.[11]

Piala

Berkas:Piala Citra 2008.png
Piala Citra FFI sejak 2008 hingga 2013

Pada tahun 1966, mulai diberikan Piala Citra kepada pemenang penghargaan. Piala Citra yang dipergunakan hingga FFI 2007 ini merupakan hasil rancangan dari seniman patung (Alm) Sidharta. Ketika FFI yang semula diselenggarakan Yayasan Film Indonesia (YFI) diambil alih oleh pemerintah, tahun 1979, Piala Citra pun disahkan oleh Menteri Penerangan masa itu, yaitu Ali Murtopo.

Berkas:Piala Baru FFI.jpg
3 nominasi piala baru FFI pada 2008

Citra sendiri yang berarti 'bayangan' atau 'image' awalnya adalah sebuah sajak karya Usmar Ismail. Sajak ini kemudian dijadikan sebagai karya lagu oleh Cornel Simanjuntak. Berikutnya Usmar Ismail menjadikannya sebagai sebuah film. Dalam tradisi FFI, Citra kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.[12] Sebelumnya ada beberapa nama yang diusulkan untuk Piala ini yaitu:

  1. Citra (Bayangan Wajah)
  2. Mayarupa (Bayangan yang Terwujudkan)
  3. Kumara (Cahaya Badan)
  4. Wijayandaru (Cahaya Kemenangan)
  5. Wijacipta (Kreasi Besar)
  6. Prabangkara (Nama Ahli Sungging Majapahit)
  7. Mpu Kanwa (Nama Sastrawan Majapahit)

Pada FFI 2008 mulai digunakan Piala Citra bentuk baru. Sejumlah seniman seni rupa dan seni patung bekerja membuat rancangan Piala Citra dengan mengubah desain Piala Citra yang terwujud selama ini yaitu yaitu Heru Sudjarwo, S.Sn., M.A., (Koordinator), Prof. Drs. Yusuf Affendi MA, Drs. H. Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo, S.Sn.[13] Rancangan menjadi simbol bagi semangat baru penyelenggaraan FFI.[14]

Namun pada penyelenggaraan FFI 2014, piala citra kembali diubah kembali ke bentuk awalnya yakni rancangan Gregorius Sidharta dengan sedikit modifikasi ulang oleh Dolorosa Sinaga. Hal ini sebagai simbol kembalinya penyelenggaraan FFI kepada semangat awal.

Penghargaan

Pada setiap penyelenggaraan FFI, dibagikan Piala Citra untuk 16 kategori, yaitu:

Kategori lain yang pernah ada:

Selain itu diberikan juga penghargaan untuk Film Dokumenter Terbaik dan Film Pendek Terbaik. FFI juga sering memberikan penghargaan khusus untuk kategori yang berbeda-beda dalam setiap penyelenggaraannya.

Sejauh ini, belum ada satupun film yang memenangkan keenam piala utama dipenghargaan ini (Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik). Rekor terjauh masih dipegang oleh 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta pada tahun 2010 yang memenangkan 5 piala dari 6 piala utama yaitu Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik disusul dengan Ibunda pada tahun 1986 dan Arisan! pada tahun 2004, masing-masing memenangkan 4 piala dari 6 piala utama. Ibunda menang dikategori Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Arisan! menang Film Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.

Perayaan Penghargaan

Berikut ini adalah daftar perayaan penghargaan Festival Film Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir hingga saat ini.

Piala Citra FFI

Penghargaan Tanggal Film Bioskop Terbaik Pemeran Utama Pria Terbaik Pemeran Utama Wanita Terbaik Penyutradaraan Terbaik Pembawa Acara Tempat Penyelenggaraan
Festival Film Indonesia 2011 10 Desember 2011 Sang Penari Emir Mahira Prisia Nasution Ifa Isfansyah Vincent Rompies, Jessica Iskandar Studio RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta
Festival Film Indonesia 2012 8 Desember 2012 Tanah Surga... Katanya Donny Damara Acha Septriasa Herwin Novianto Ringgo Agus Rahman, Mike Lucock Pelataran Benteng Vredeburg, Yogyakarta
Festival Film Indonesia 2013 7 Desember 2013 Sang Kiai Reza Rahadian Adinia Wirasti Rako Prijanto Andhika Pratama, Gading Marten, Nirina Zubir Marina Convention Center, Semarang, Jawa Tengah
Festival Film Indonesia 2014 6 Desember 2014 Cahaya Dari Timur: Beta Maluku Chicco Jerikho Dewi Irawan Adriyanto Dewo Steny Agustaf, Indy Barends Palembang Sports and Convention Center, Palembang, Sumatera Selatan
Festival Film Indonesia 2015 21 Oktober 2015 Siti Deddy Sutomo Tara Basro Joko Anwar Sarah Sechan Indonesian Convention Exhibition (ICE), Tangerang Selatan, Banten
Festival Film Indonesia 2016 6 November 2016 Athirah Reza Rahadian Cut Mini Riri Riza Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat

Piala Vidia FFI

Penghargaan Tanggal Film Televisi Terbaik Pemeran Utama Pria Terbaik Pemeran Utama Wanita Terbaik Penyutradaraan Terbaik Pembawa Acara Tempat Penyelenggaraan
Festival Film Indonesia 2006 2 Desember 2006 Sebatas Aku Mampu1
Tante Tuti2
Ringgo Agus Rahman Dina Olivia Rudi Soedjarwo Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat
Piala Vidia FFI Tidak Diselenggarakan Pada Tahun 2007-2010
Festival Film Indonesia 2011 12 Desember 2011 Bakpao Ping Ping Ringgo Agus Rahman Maudy Koesnaedi Viva Westi Vincent Ryan Rompies, Jessica Iskandar Studio RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Festival Film Indonesia 2012 29 November 2012 Pahala Terindah Slamet Rahardjo Ratna Riantiarno Herwin Novianto Ronal Surapradja, Tike Priatnakusumah Balai Sarbini, Jakarta Pusat
Festival Film Indonesia 2013 27 November 2013 Pahlawan Terlupakan Epy Kusnandar Nova Eliza Guntur Soehardjanto Andhika Pratama, Gading Marten, Narji, Sharena Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur
Festival Film Indonesia 2014 5 Desember 2014 Garis Finish Surya Saputra Yuki Kato Hestu Saputra Ibnu Jamil, Kenes Andari Grand Ballroom Aryaduta Hotel, Palembang, Sumatera Selatan
Piala Vidia FFI Tidak Diselenggarakan Pada Tahun 2015 Hingga Sekarang[15][16]

Catatan

1. 1Piala Vidia untuk Film Cerita Lepas Televisi FFI
2. 2Piala Vidia untuk Film Cerita Berseri Televisi FFI

Kontroversi

Pada tahun 2006 FFI menyatakan Ekskul sebagai film terbaik dengan menyabet tiga piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia 2006. Hal ini menimbulkan protes dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra sebelumnya. Sebagai bentuk protes mereka mengembalikan seluruh penghargaan mereka, karena menganggap bahwa film Ekskul tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya karena adanya unsur plagiat, dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari film-film luar negeri yakni Taegukgi, Gladiator, dan Munich. Mereka secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006. [17]

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik yang ditandatangani oleh ketua BP2N, Deddy Mizwar, Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu secara resmi dibatalkan. [18]

Referensi

  1. ^ Piala Vidia 1992, rolfilmblog.blogspot.com. Diterima 4 November 2013.
  2. ^ Apa Siapa Orang Film Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Indonesian Ministry of Information. 1999. hlm. 60. OCLC 44427179. 
  3. ^ "History of FFI". KFFI. 2010. Diakses tanggal 7 Desember 2010. 
  4. ^ "FFI 2005 Pisah Piala Vidya dan Piala Citra". Detik.com. Diakses tanggal 21 Maret 2008. 
  5. ^ Ajang Penghargaan Film di Indonesia
  6. ^ "Puluhan Insan Film Mengembalikan Piala Citra". 4 Januari 2007. 
  7. ^ "FFI 2009". Kompas. 2009. Diakses tanggal 12 Juli 2010. 
  8. ^ Nurul Hanna (9 September 2016). "Ada 100 Juri FFI 2016, Ini Sistem Penjuriannya". Tribunnews.com. 
  9. ^ Rima Wahyuningrum (17 Oktober 2016). "Olga Lidya: FFI Perketat Kualitas Juri Tahun Ini". 
  10. ^ Luhur Tri Pambudi (20 Oktober 2015). "FFI 2015 Terapkan Penjurian Lifetime Membership". Tempo.co. 
  11. ^ Rizky Sekar Afrisia (20 Oktober 2014). "Ajang FFI dengan Penjurian ala Oscar". CNN Indonesia. 
  12. ^ Piala Citra akan didesain baru
  13. ^ Dewan Juri FFI 2008 tersusun, acara puncak di Bandung
  14. ^ Hendro D Situmorang (18 Oktober 2014). "Festival Film Indonesia 2014 Lakukan Beberapa Terobosan Baru". Berita Satu. 
  15. ^ Ari Kurniawan (10 September 2015). "FFI 2015, Piala Vidia Ditiadakan". Tabloid Bintang. 
  16. ^ "Pembacaan Nominasi FFI 2016 Piala Vidia Tidak Dinominasikan". Three Venue. 15 Oktober 2016.  line feed character di |title= pada posisi 28 (bantuan)
  17. ^ "Kontroversi Ekskul, Titik Tolak Perbaikan Film Indonesia". Liputan6.com. 9 Januari 2007. 
  18. ^ Elang Riki Yanuar (17 Desember 2009). "Widyawati: FFI untuk Apa Dipermasalahkan". Okezone.com. 

Pranala luar