Ratu (gelar)

kelas dari pemimpin monarki perempuan

Ratu adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan dapat merujuk kepada dua hal, yaitu wanita yang memimpin kerajaan atau istri dari raja. Gelar yang sepadan dengan ratu untuk pria adalah raja. Dalam konteksnya sebagai penguasa monarki, wilayah kekuasaan ratu disebut dengan kerajaan.

Gelar selain ratu yang dapat merujuk kepada penguasa monarki wanita adalah maharani (dalam kemaharajaan), kaisarina (dalam kekaisaran), atau sultanah (dalam kesultanan).

Makna

Istilah ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (latuhalat = ratu barat). Istilah ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli Nusantara, khususnya bahasa Jawa Kuno. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. Prasasti Canggal misalnya, menyebut raja pertama Mataram Hindu sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah Kerajaan Singhasari terdapat nama Mahisa Campaka yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Baik Sanjaya maupun Mahisa Campaka adalah nama laki-laki. Namun keduanya masing-masing bergelar "ratu". Hal itu menunjukkan kalau "ratu"tidak harus identik dengan perempuan.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan Hindu semakin berkembang di bumi Indonesia. Istilah "raja" yang berasal dari bahasa Sanskerta mulai menggantikan penggunaan gelar ratu. Istilah ratu bergeser menjadi terkesan feminin dan bersinonim dengan rani.

Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah ratu mulai dipakai kaum perempuan. Naskah Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 mulai membedakan penggunaan gelar jabatan, yaitu untuk perempuan digunakan istilah ratu, misalnya Ratu Kalinyamat atau Ratu Pembayun, sedangkan untuk laki-laki digunakan istilah "sultan", "prabu", "pangeran", "panembahan", atau "sunan".

Akan tetapi tidak sepenuhnya istilah ratu tergeser oleh raja. Meskipun raja-raja Jawa zaman sekarang menggunakan gelar sultan atau sunan, namun bahasa Jawa untuk istilah istana tetap menggunakan kata keraton yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal ratu.

Penguasa monarki

Dalam konteksnya sebagai penguasa monarki, ratu adalah padanan dari gelar raja, dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Dalam beberapa kebudayaan, baik pria maupun wanita yang menjadi penguasa monarki menyandang gelar yang sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Firaun, gelar yang disandang oleh para penguasa Mesir kuno, pernah disandang baik oleh pria dan wanita. Beberapa wanita yang menjadi firaun di antaranya Hatshepsut dan Kleopatra. Penguasa Tiongkok antara tahun 221 SM sampai 1912 M menyandang gelar huángdì (皇帝) dan gelar ini pernah disandang pria dan wanita. Dalam bahasa Indonesia, gelar ini diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "kaisarina" untuk perempuan. Penguasa negeri Jepang menyandang gelar tennō (天皇) dan diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "kaisarina" untuk perempuan, sebagaimana penerjemahan gelar huángdì.

Berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya, di Eropa, gelar kebangsawanan memiliki bentuk pria dan wanita, seperti gelar bahasa Inggris "princeprincess", "kingqueen", dan "emperor–empress". Dalam konteks penguasa monarki, biasanya seorang pemimpin monarki wanita menyandang gelar yang sama sebagaimana istri pemimpin monarki pria. Di Inggris Raya, gelar queen dapat digunakan untuk penguasa monarki wanita (contoh: Elizabeth II) dan istri dari king atau raja (contoh: Elizabeth Boweys-Lyon). Penggunaan ini dapat menimbulkan keambiguan dari kedudukan orang yang menyandang gelar tersebut. Lantaran permasalahan ini, beberapa wanita yang menjadi penguasa monarki di Eropa mengambil gelar yang biasanya disandang penguasa monarki pria. Jadgiwa, wanita yang memerintah Polandia dari 1384 sampai 1399, dimahkotai sebagai rex (gelar yang biasa disandang Raja Polandia lain) dan bukan regina (gelar yang biasa disandang permaisuri Raja Polandia).

Dalam kesultanan, gelar bagi penguasa monarki wanita dapat berbeda-beda antara satu kesultanan dengan kesultanan yang lain. Berbeda dengan gelar yang telah disebutkan sebelumnya yang hanya digunakan di daerah tertentu, gelar sultan dan turunannya digunakan secara meluas dari Afrika sampai Asia Tenggara, membuat penggunaannya juga menyesuaikan adat istiadat setempat. Shajar al-Durr, pemimpin Mesir pada tahun 1250 dan menjadi wanita pertama yang menjadi penguasa monarki dalam sejarah Islam, menyandang gelar sultan saat naik tahta sebagaimana laki-laki. Sedangkan di Aceh Darussalam, Safiatuddin Syah menyandang bentuk wanita dari gelar sultan, yakni sultanah, saat naik tahta pada tahun 1641. Di beberapa negara bagian di Malaysia, sultanah adalah gelar resmi bagi istri sultan.

Daftar ratu sekarang

Saat ini, hanya ada dua wanita yang berkedudukan sebagai ratu dalam konteksnya sebagai penguasa monarki.

Ratu Negara Sejak Tanggal
Elizabeth II
 
  Inggris Raya 6 Februari 1952
  Kanada
  Australia
  Selandia Baru
  Jamaika 6 Agustus 1962
  Barbados 30 November 1966
  Bahama 10 Juli 1973
  Grenada 7 Februari 1974
  Papua Nugini 16 September 1975
  Kepulauan Solomon 7 Juli 1978
  Tuvalu 1 Oktober 1978
  Saint Lucia 22 Februari 1979
  Saint Vincent dan Grenadine 27 Oktober 1979
  Belize 21 September 1981
  Antigua dan Barbuda 1 November 1981
  Saint Kitts dan Nevis 19 September 1983
Margrethe II
 
  Denmark 14 Januari 1972

Permaisuri

Ratu juga dapat bermakna istri dari raja. Dalam konteks ini, pengertian ratu sejajar dengan permaisuri.

Gelar kebangsawanan

Di Banten, keturunan bangsawan perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari Kesultanan Banten menggunakan gelar ratu. Di daerah Banjar, anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya Ratu Intan, Ratu Zaleha dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, Ratu Anum, tetapi belakangan lebih populer dipakai Sultan atau Panembahan. Di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.

Lihat pula