Kaisar Jepang (Kanji: 天皇; Romaji: Tennō) adalah pemimpin keluarga kekaisaran dan kepala seremonial negara dari sistem monarki konstitusional Jepang. Kaisar Jepang adalah "lambang Negara dan kesatuan bangsa." Menurut sejarah, kaisar juga merupakan pemegang kewenangan tertinggi agama Shinto karena dia dan keluarganya dipandang sebagai keturunan dari dewi matahari Amaterasu,[1] dan kepentingannya juga menangani urusan keagamaan, termasuk ritual Shinto dan ritual seluruh bangsa.

Kaisar Jepang
天皇
Kekaisaran
Flag of the Japanese Emperor
Sedang berkuasa
Naruhito
sejak 1 Mei 2019
Perincian
Sapaan resmiYang Mulia Agung
Pewaris sementaraFumihito
Penguasa pertamaKaisar Jimmu (mitos)
Kaisar Kinmei (historis)
Pembentukan11 Februari 660 SM (mitos)
11 Februari 539 M (historis)
KediamanIstana Kekaisaran Tokyo
(sebagai kediaman resmi)
PenunjukHerediter
Situs webBadan Rumah Tangga Kekaisaran

Saat ini, pemimpin Jepang adalah satu-satunya penguasa monarki di dunia yang gelarnya diterjemahkan setingkat dengan "Kaisar". Istana Kekaisaran Jepang adalah kediaman tertua yang terus berlanjut sebagai monarki turun-temurun di dunia.[2] Di Kojiki atau Nihon Shoki, sebuah buku tentang sejarah Jepang selesai pada abad kedelapan, dikatakan bahwa Jepang didirikan pada tahun 660 SM oleh Kaisar Jimmu. Kaisar saat ini adalah Naruhito, yang telah berada di Takhta Krisantemum sejak dirinya dinobatkan sebagai kaisar setelah ayahnya, Akihito, turun takhta pada tanggal 30 April 2019.

Dilihat dari sejarahnya, peran Kaisar Jepang berganti-ganti antara peran simbolis seremonial dan peran seorang penguasa kekaisaran sebenarnya. Sejak berdirinya keshogunan pada tahun 1192, Kaisar Jepang sudah jarang sekali mengambil peran sebagai panglima tertinggi dalam medan pertempuran, tidak seperti kekaisaran di Barat. Kaisar Jepang telah hampir selalu dikendalikan oleh kekuatan politik eksternal, hingga berbagai tingkatan. Faktanya, dari tahun 1192 sampai 1867, shogun, atau bupati shikken di Kamakura (1203–1333), merupakan penguasa de facto Jepang, meskipun status jabatan mereka ditunjuk oleh Kaisar. Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1867, Kaisar adalah perwujudan dari semua kekuasaan yang berdaulat di dunia, sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Meiji tahun 1889. Status Kaisar Jepang saat ini hanya sebatas simbol negara sejak Konstitusi tahun 1947, tanpa memiliki kewenangan politik.

Sejak abad pertengahan kesembilan belas, Istana Kekaisaran disebut Kyūjō (宮城), yang kemudian dinamai sebagai Kōkyo (皇居), dan berlokasi di situs bekas Istana Edo di pusat Tokyo. Sebelumnya, Kaisar tinggal di Kyoto selama hampir sebelas abad.

Hari Ulang Tahun Kaisar (saat ini dirayakan pada 23 Februari) dijadikan sebagai hari libur nasional.

Gelar dan sapaan sunting

Gelar sunting

Gelar resmi Kaisar Jepang dalam bahasa aslinya adalah tennō (天皇), yang secara harfiah bermakna "penguasa surgawi." Gelar ini hanya dikhususkan untuk menyebut Kaisar Jepang. Walaupun menurut catatan resmi terdapat 126 orang yang menyandang gelar ini sejak tahun 660 SM hingga masa Kaisar Naruhito (berkuasa sejak tahun 2019), para sejarawan percaya bahwa gelar ini baru pertama kali digunakan pada masa Kaisar Tenmu (berkuasa pada 672–686 M) dan Maharani Jitō (berkuasa pada 686–697 M). Gelar tennō tidak memandang jenis kelamin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "maharani" untuk perempuan. Sepanjang sejarah, terdapat delapan wanita yang menyandang gelar ini, dua di antaranya berkuasa dua kali. Lihat Maharani Jepang.

Istilah lain yang juga digunakan untuk merujuk Kaisar Jepang adalah kōtei (皇帝) untuk kaisar pria dan jotei atau nyotei (女帝) untuk kaisar wanita (maharani) dan keduanya dapat digunakan oleh orang-orang Jepang untuk merujuk pada kaisar non-Jepang. Istilah sumeramikoto juga digunakan dalam bahasa Jepang kuno. Istilah tennō digunakan sampai pada masa Abad Pertengahan, sampai pada masa tidak digunakannya gelar ini, dan kemudian digunakan kembali pada abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah mikado (御門 atau 帝 atau みかど), secara harfiah bermakna "gerbang kehormatan," juga digunakan untuk merujuk Kaisar Jepang, walau penggunaannya sekarang sudah dipandang ketinggalan zaman.[3]

Penerjemahan gelar sunting

Walaupun sering diterjemahkan sebagai "kaisar", nyatanya sepanjang sejarah, kekuasaan tennō hanya melingkupi sekitaran Pulau Kyushu, Honshu, Hokkaido, dan Okinawa. Hal ini berbeda dengan kaisar pada umumnya yang wilayah kekuasaannya melingkupi suatu wilayah luas, menjadikannya kedudukannya dipandang di atas raja.

Pada masa Restorasi Meiji (1868), Persekutuan Satsuma-Chōshū menjadikan gelar Inggris emperor (Kaisar atau Maharaja dalam bahasa Indonesia, Kaiser dalam bahasa Jerman, dan l'Empereur dalam bahasa Prancis) sebagai padanan kata tennō, alih-alih king (raja dalam bahasa Indonesia). Hal ini untuk menyatakan tingginya kedudukan pemimpin Jepang atas raja-raja pada umumnya dan menyatakan kesetaraannya dengan para penguasa besar dunia saat itu, seperti Kaisar Rusia, Kaisar Prancis (1857-1871), Kaisar Austria, Kaisar Jerman (dari 1871), dan Ratu-Maharani India (dari 1877) – dan juga Kaisar Tiongkok, Meksiko, dan Brazil.

Sapaan sunting

Sesuai adat, adalah sebuah bentuk ketidakhormatan di Jepang bila menyapa orang asing dengan nama pribadinya saja, terlebih lagi bila diterapkan pada kalangan bangsawan. Walaupun kebiasaan ini sudah mulai melonggar pada masa belakangan, utamanya di lingkup pertemanan yang memandang saling menyapa dengan nama pribadi sebagai bentuk keakraban, tetapi penyebutan dengan menggunakan nama keluarga masih lazim digunakan. Bila merujuk pada keluarga kekaisaran, menyapa dengan nama pribadi lebih tidak pantas untuk dilakukan.

Sejak masa Kaisar Meiji, setiap kaisar memberikan satu nama pada masa pemerintahannya. Kaisar yang telah mangkat akan disebut secara anumerta sesuai nama era yang telah ditetapkan semasa pemerintahannya. Akan tetapi, pihak luar Jepang lebih sering menyebut Kaisar Jepang hanya dengan nama pribadinya saja, baik semasa kaisar masih hidup atau setelah mangkatnya. Sebagai contoh, masa pemerintahan Kaisar Hirohito disebut sebagai periode Shōwa. Nama era ini kemudian digunakan sebagai nama anumerta Kaisar Hirohito setelah mangkatnya, sehingga orang-orang Jepang menyebutnya dengan sebutan "Kaisar Showa" (昭和天皇, Shōwa-tennō). Walaupun begitu, pihak luar Jepang lebih sering menyebut dengan nama pribadinya, yakni "Kaisar Hirohito," baik semasa hidup maupun setelah mangkatnya.

Sapaan resmi dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk penguasa monarki adalah heika (陛下) dan ini juga digunakan untuk Kaisar Jepang. Heika sendiri dapat disejajarkan dengan "Baginda" pada budaya Melayu. Kaisar Jepang yang sedang berkuasa biasanya disapa dengan sebutan Tennō Heika (天皇陛下) yang dapat dimaknai sebagai "Baginda Kaisar" dalam bahasa Indonesia, Kinjō Heika (今上陛下), atau cukup Tennō atau kaisar.

Sejarah sunting

Walaupun kaisar merupakan perlambang kesinambungan antara masa lalu, kewenangan kaisar berbeda-beda dalam sepanjang sejarahnya. Pada abad ketujuh masehi, kaisar mulai dipanggil dengan sebutan "Putra Langit" (天子 tenshi atau 天子様 tenshi-sama).[4]

Asal muasal sunting

Kaisar paling awal yang tercatat pada Kojiki dan Nihon Shoki adalah Kaisar Jimmu, yang dikatakan merupakan keturunan dari Ninigi, cucu dari Dewi Amaterasu. Berdasarkan Nihon Shiki, kaisar memiliki silsilah dari jalur laki-laki yang tak terpatahkan hingga 2.600 tahun. Gelar tennō diambil dari Tiongkok, diturunkan dari huruf Tiongkok.[5]

Kendali faksi sunting

Terdapat enam keluarga besar yang mengendalikan para kaisar, yakni: Soga (sekitar 530-645), Fujiwara (sekitar 850-1070), Taira (1159-sekitar 1180), Minamoto (dan Kamakura bakufu) (1192–1333), Ashikaga (1336–1565), dan Tokugawa (1603–1867). Walaupun begitu, tiap shogun dari keluarga Minamoto, Ashikafa, dan Tokugawa diakui secara resmi oleh kaisar yang masih merupakan sumber kewenangan.

Perselisihan sunting

Tumbuhnya kelas samurai pada abad kesepuluh masehi secara bertahap mengurangi kekuatan keluarga kekaisaran, menimbulkan masa kekacauan. Para kaisar juga diketahui berselisih dengan beberapa shogun penguasa dari masa ke masa.

Shogun sunting

Dari tahun 1192 sampai 1867, shogun bertindak sebagai de facto penguasa Jepang, walaupun mereka dinobatkan oleh kaisar dalam upacara formalitas.[6] Shogun sendiri adalah jenderal kemiliteran yang kedudukannya diwariskan turun temurun. Wilayah kewenangan shogun disebut keshogunan yang dalam bahasa Jepangnya disebut bakufu (幕府) yang awalnya digunakan untuk merujuk rumah jenderal.[7]

Restorasi Meiji sunting

Pada tahun 1868, kekuasaan kembali ke tangan kaisar dan keshogunan dibubarkan. Salah satu penyebab restorasi ini adalah kenyataan bahwa Jepang sudah tertinggal jauh dengan negara-negara Barat, terlihat saat kedatangan Komodor Amerika Serikat, Matthew C. Perry, yang memaksa Jepang membuka perdagangan dengan dunia Barat. Pada masa ini pula, wanita dilarang secara resmi naik takhta sebagai maharani.

Perang Dunia II sunting

Peran kaisar sebagai negara Shinto digunakan pada masa Perang Dunia II, menciptakan pengkultusan kaisar, yang mendorong tindakan kamikaze pada pasukan Jepang. Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, pasukan sekutu menekan pemisahan agama dan negara di Jepang. Selanjutnya, dibentuk undang-undang baru yang menjabarkan peran baru kaisar dan pemerintahan.

Masa kini sunting

Undang-undang baru menyatakan pemerintahan yang baru dengan sistem parlementer. Kaisar Jepang dimaknai sebagai "lambang Negara dan pemersatu masyarakat" tanpa kewenangan politik yang nyata.

Keluarga sunting

Istri kaisar sunting

  • Kōgō (皇后) adalah gelar bagi permaisuri atau istri utama kaisar pria. Sebelum Restorasi Meiji, kaisar pria diperkenankan melakukan praktik poligami. Anak-anak kaisar dengan permaisuri biasanya selalu didahulukan sebagai pewaris takhta. Keberadaan putra-putri dari istri selir juga diakui dan mereka dapat pula menjadi calon pewaris takhta bila permaisuri tidak memiliki keturunan. Sampai pada masa pertengahan Heian, kaisar pria hanya memiliki satu permaisuri. Pada masa setelahnya, kaisar kerap memiliki dua permaisuri, dengan permaisuri yang satu bergelar kōgō, sedangkan yang lain bergelar chūgū (中宮). Pada masa Restorasi Meiji, mulai diperkenalkan larangan poligami di Jepang, menjadikan Kaisar Meiji sebagai kaisar terakhir yang memiliki istri selir.
    • Jōkōgō (上皇后) adalah gelar bagi purna permaisuri. Gelar ini disandang oleh istri dari kaisar yang sudah turun takhta.
    • Kōtaigō (皇太后) adalah gelar bagi ibu suri. Permaisuri yang sudah menjanda akan menerima gelar ini.
    • Tai-kōtaigō (太皇太后) adalah gelar bagi ibu suri tua atau ibu suri senior.

Putra mahkota sunting

  • Kōtaishi (皇太子) adalah gelar bagi putra kaisar yang menjadi putra mahkota. Istrinya bergelar kōtaishihi (皇太子妃).
  • Kōshi (皇嗣) adalah gelar bagi saudara kaisar yang menjadi putra mahkota. Istrinya bergelar kōshihi (皇嗣妃).

Dalam hukum pewarisan jepang setelah Restorasi Meiji, perempuan tidak diperkenankan naik takhta, sehingga tidak ada gelar untuk putri mahkota.

Pangeran sunting

Pangeran adalah laki-laki yang silsilahnya tersambung dengan kaisar dari garis ayah.

  • Shinnō (親王) adalah gelar bagi pangeran yang merupakan anak, cucu, dan cicit kaisar. Gelar ini juga digunakan untuk kepala dari empat keluarga (keluarga Fushimi, Arisugawa, Katsura, dan Kan'in) yang merupakan cabang dari keluarga utama kekaisaran. Istri dari shinnō bergelar shinnōhi (親王妃).
  • Ō (王) adalah gelar untuk pangeran yang merupakan kerabat jauh kaisar. Gelar ini secara resmi juga digunakan untuk merujuk pada raja non-Jepang. Istri dari ō bergelar ōhi (王妃) dan gelar ini juga bisa digunakan untuk merujuk pada permaisuri raja non-Jepang.

Putri sunting

Putri adalah perempuan yang silsilahnya tersambung dengan kaisar dari garis ayah.

  • Naishinnō (内親王) adalah gelar untuk putri yang merupakan anak, cucu, dan cicit kaisar.
  • Joō/Nyoō (女王) adalah gelar bagi putri yang merupakan kerabat jauh kaisar. Gelar ini secara resmi juga digunakan untuk merujuk pada ratu non-Jepang.

Seorang putri akan kehilangan gelarnya jika menikah menurut Undang-undang Rumah Tangga Istana tahun 1947, kecuali bila dia menikah dengan pangeran.

Catatan kaki sunting

  1. ^ 役員、総代としての基礎知識 全国神社総代会編集発行「改訂神社役員、総代必携」(Jepang)
  2. ^ "Japan desperate for male heir to oldest monarchy". London: independent.co.uk. 1 Maret 1996. Diakses tanggal 5 Juni 2010. 
  3. ^ Kanʼichi Asakawa. The early institutional life of Japan: a study in the reform of 645 A.D.. Tokyo: Shueisha (1903), p. 25. "We purposely avoid, in spite of its wide usage in foreign literature, the misleading term Mikado. If it be not for the natural curiosity of the races, which always seeks something novel and loves to call foreign things by foreign names, it is hard to understand why this obsolete and ambiguous word should so sedulously be retained. It originally meant not only the Sovereign, but also his house, the court, and even the State, and its use in historical writings causes many difficulties which it is unnecessary to discuss here in detail. The native Japanese employ the term neither in speech nor in writing. It might as well be dismissed with great advantage from sober literature as it has been for the official documents."
  4. ^ Boscaro, Adriana; Gatti, Franco; Raveri, Massimo, ed. (2003). Rethinking Japan: Social Sciences, Ideology and Thought. II. Japan Library Limited. hlm. 300. ISBN 0-904404-79-X. 
  5. ^ Charles Holcombe (January 2001). The Genesis of East Asia: 221 B.C. - A.D. 907. University of Hawaii Press. hlm. 198–. ISBN 978-0-8248-2465-5. 
  6. ^ "Shogun". Encyclopaedia Britannica. Diakses tanggal November 19, 2014. 
  7. ^ Totman, Conrad (1966). "Political Succession in The Tokugawa Bakufu: Abe Masahiro's Rise to Power, 1843–1845". Harvard Journal of Asiatic Studies. 26: 102–124. doi:10.2307/2718461. JSTOR 2718461. 

Daftar pustaka sunting

Pranala luar sunting

Lihat pula sunting