Penyesalan
Dalam teologi Kristen, penyesalan atau sesal adalah perasaan sedih atau kesusahan dalam hati seseorang karena dosa-dosa yang dilakukannya, dengan disertai keinginan untuk tidak melakukannya lagi.[1] Kata Inggris contrition atau contriteness berasal dari kata Latin contritus 'dilumatkan hingga berkeping-keping', yang bermakna diremukkan oleh rasa bersalah.[2] Dalam bahasa Inggris, kata contrition atau remorse sering diidentikkan dengan repentance yang umumnya diterjemahkan menjadi pertobatan dalam bahasa Indonesia.
Sebagai suatu konsep sentral dalam sebagian besar Kekristenan, penyesalan dipandang sebagai langkah pertama, melalui Kristus, menuju rekonsiliasi dengan Allah. Konsep ini mencakup rasa sesal seseorang atas semua dosanya, suatu hasrat akan Allah daripada dosa, serta iman dalam penebusan Kristus di kayu salib dan kecukupannya untuk keselamatan (lih. regenerasi dan ordo salutis). Penyesalan banyak didapati pada berbagai bagian Alkitab, misalnya Yehezkiel 33:11, Mazmur 6:7dst., Mazmur 51:1-12, Lukas 13:5, Lukas 18:9-13, dan perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32).
Dalam Gereja Katolik
Bagian dari seri Gereja Katolik tentang |
Tobat dan Rekonsiliasi |
---|
Portal Katolik |
Hakikat
Konsili Trente mendefinisikan penyesalan sebagai "kepedihan jiwa, dan suatu kebencian atas dosa yang dilakukan, dengan suatu niat tegas untuk tidak berbuat dosa di kemudian hari". Kebencian akan dosa ini dapat timbul karena beragam motif, oleh beragam sebab.[3] Penyesalan dalam batin disertai dengan suatu kepiluan dan rasa sakit yang bermanfaat, yang para Bapa Gereja namakan animi cruciatus (kesusahan roh) dan compunctio cordis (penyesalan hati).[4]
Kata penyesalan mengimplikasikan pemecahan atau penghancuran sesuatu yang telah mengeras. St. Thomas Aquinas dalam Komentar tentang Sententiarum karenanya menjelaskan penggunaan khususnya: "Karena disyaratkan untuk remisi dosa, bahwa seseorang mencampakkan seluruhnya kesukaan berdosa yang mengimplikasikan semacam kesinambungan dan kekukuhan dalam budinya, tindakan yang memperoleh pengampunan ini diistilahkan dengan kiasan 'penyesalan'".[5] Kesedihan jiwa ini bukan sekadar kesedihan spekulatif atas kesalahan yang dilakukan, sesalan hati nurani, ataupun suatu tekad untuk melakukan perubahan, namun merupakan suatu rasa sakit yang nyata dan kegetiran jiwa yang disertai dengan suatu rasa benci dan kengerian atas dosa yang dilakukan. Perasaan benci akan dosa tersebut menyebabkan seseorang bertekad untuk tidak berbuat dosa lagi. Para penulis Kristen awal, ketika berbicara mengenai hakikat penyesalan terkadang menegaskan pada perasaan kesedihan, terkadang kejijikan akan kesalahan yang dilakukan. St. Agustinus menyertakan keduanya ketika menulis: "Compunctus corde non solet dici nisi stimulus peccatorum in dolore pœnitendi".[5]
Hampir semua teolog abad pertengahan berpandangan bahwa penyesalan utamanya didasarkan pada kejijikan atau kebencian akan dosa. Kebencian tersebut mengandaikan seseorang memiliki suatu pengetahuan mengenai kengerian dosa, dan pengetahuan ini menghasilkan kesedihan dan rasa sakit pada jiwa. "Suatu dosa dilakukan oleh persetujuan [kehendak], sehingga tertutupi oleh argumen kehendak rasional; maka penyesalan pada dasarnya adalah kesedihan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kesedihan memiliki makna ganda--argumen kehendak dan perasaan yang timbul; yang pertama disebutkan merupakan esensi dari penyesalan, yang terakhir disebutkan merupakan dampaknya".[5]
Kebutuhan mendasar
Ajaran atau doktrin resmi Gereja, yang disampaikan dalam Konsili Trente, menyatakan bahwa penyesalan senantiasa diperlukan seseorang untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya. Penyesalan merupakan kondisi pertama dan keharusan untuk beroleh pengampunan. Seseorang dimungkinkan untuk menerima pengampunan ketika pengakuan dosa sakramental tidak memungkinkan, namun tidak mungkin seseorang dapat beroleh pengampunan atas dosanya tanpa adanya penyesalan.[6]
Menurut Catholic Encyclopedia, para penulis Katolik selalu menekankan bahwa kebutuhan atau keharusan tersebut timbul: (a) dari hakikat penyesalan itu sendiri serta (b) dari perintah positif Allah. Dari segi hakikat penyesalan tersebut, mereka menekankan bahwa perkataan Kristus dalam Lukas 13:5 adalah mutlak: "... jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa ...", dan dari para Bapa Gereja mereka mengutip kalimat seperti berikut ini dari St. Siprianus, De Lapsis no.32: "Lakukan pertobatan sepenuhnya, berikan bukti kesedihan yang berasal dari suatu jiwa yang berduka dan meratap ... mereka yang menyingkirkan penyesalan atas dosa, menutup pintu menuju pendamaian." Para doktor Skolastik meletakkan dasar dari prinsip pendamaian atau pemulihan, "Tidak ada seorang pun dapat memulai suatu kehidupan baru tanpa bertobat dari kehidupannya yang lama" (St. Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, dist. xvi, Pt. II, art. 1, Q. ii, juga ex professo, ibid., Pt. I, art. I, Q. iii), dan ketika ditanya apa alasannya, mereka menunjukkan ketidaksesuaian absolut berpaling kepada Allah dengan sekaligus melekat kepada dosa, yang berarti memusuhi hukum Allah. Konsili Trente, sadar akan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad, mendefinisikan (Sesi XlV. ch. iv de Contritione) bahwa "penyesalan senantiasa diperlukan untuk memperoleh pengampunan dosa". Perintah positif Allah juga memperlihatkan kejelasan dasar-dasar pemikiran ini. St. Yohanes Pembaptis menyerukan agar bersiap-siap untuk kedatangan Mesias: "Luruskanlah jalan bagi-Nya"; dan, akibatnya "maka datanglah [mereka] kepadanya ... sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan". Pewartaan pertama Yesus dideskripsikan dalam perkataan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!"; dan para Rasul, saat berkhotbah kepada orang-orang, memperingatkan mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis ... untuk pengampunan dosamu" (Kisah 2:38). Para Bapa Gereja menindaklanjuti dengan nasihat-nasihat serupa (Klemens dalam P.G., I, 341; Hermas iii P.G., II, 894; Tertulianus dalam P.L., II).[7]
Penyesalan sempurna dan tidak sempurna
Apabila kebencian atau kejijikan akan dosa timbul dari kasih akan Allah, yang telah disakiti secara menyedihkan, maka penyesalan sedemikian disebut "sempurna". Sementara jika timbul dari motif lainnya, seperti kehilangan surga, takut akan neraka, ataupun kengerian dari rasa bersalah, maka disebut "penyesalan tidak sempurna" atau 'atrisi' (bahasa Inggris: attrition, bahasa Latin: attritio).[3][8]
Penyesalan sempurna
Penyesalan sempurna (dari kata Latin contero "menggiling, menghancurkan, menumbuk menjadi potongan-potongan"; juga disebut penyesalan kasih) adalah suatu penyesalan atas dosa yang digerakkan oleh iman dan kasih akan Allah.[9] Penyesalan semacam ini dikontraskan dengan penyesalan tidak sempurna, yang timbul dari suatu motif yang kurang murni seperti norma moral umum ataupun takut akan Neraka.[9] Kedua macam penyesalan tersebut dibedakan oleh motif atau alasan seseorang untuk bertobat, bukan kekuatan emosi atau perasaan seseorang. Dapat saja terjadi bahwa penyesalan sempurna maupun tidak sempurna dialami secara bersamaan.
Dalam penyesalan sempurna, motifnya didasarkan pada kebaikan Allah sendiri dan bukan sekadar kebaikan-Nya pada orang berdosa atau pada perikemanusiaan. Tidak ada cara untuk mengetahui dengan kepastian mutlak apakah seseorang telah melakukan suatu laku tobat yang sempurna, tetapi yang dibutuhkan adalah patokan atau standar dari semua tindakan manusia, yakni kepastian moral. Apabila seseorang mendaraskan suatu doa tobat dengan niat yang tulus, maka sangat mungkin bahwa ia memiliki kepastian moral.[10]
Penyesalan sempurna menghapus kebersalahan dan hukuman kekal yang disebabkan oleh dosa berat, bahkan sebelum peniten menerima absolusi dalam Sakramen Tobat, asalkan orang tersebut memiliki suatu ketetapan hati yang kuat untuk melakukan pengakuan dosa sakramental sesegera mungkin.[11] Salah satu contoh dari ajaran teologis tersebut diperlihatkan pada Kitab Hukum Kanonik dalam Kanon 916: "Seseorang yang sadar berdosa berat jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, kecuali terdapat suatu alasan berat serta tidak ada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat kewajibannya untuk melakukan suatu laku tobat yang sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin."[12]
Dalam kasus orang yang terancam bahaya kematian, sementara pengakuan dosa sakramental tidak memungkinkan untuk dilakukan, keinginan yang kuat untuk melakukan pengakuan sakramental, dengan sesegera mungkin seandainya ia bertahan hidup, juga menghapuskan kebersalahan dan hukuman kekal yang diakibatkan oleh dosa berat.[11]
Penyesalan tidak sempurna
Menurut Mazmur 111:10, "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN." Dalam Filipi 2:12, Rasul Paulus mendesak umat Kristen untuk mengerjakan "keselamatan [kita] dengan takut dan gentar". Berbeda dengan penyesalan sempurna, penyesalan tidak sempurna (juga dikenal sebagai attritio) adalah suatu keinginan untuk tidak berbuat dosa lagi karena suatu alasan selain kasih akan Allah.[9] Attritio tidak menghasilkan pembenaran, namun menggerakkan jiwa untuk menerima rahmat ilahi di dalam Sakramen Rekonsiliasi yang tersedia dalam Gereja Katolik.[9]
Konsili Trente (1545-1563) menyatakan bahwa, kendati dimotivasi oleh alasan-alasan seperti "pertimbangan kebobrokan dosa ataupun dari rasa takut akan Neraka dan hukuman", penyesalan tidak sempurna adalah juga suatu anugerah dari Allah. "Barang siapa menyatakan bahwa [penyesalan tidak sempurna] ... adalah bukan suatu kepedihan yang benar dan menguntungkan; bahwa penyesalan tersebut tidak mempersiapkan jiwa untuk menerima rahmat, tetapi menjadikannya seorang munafik, bahkan seorang pendosa yang lebih besar, biarlah ia menjadi Anatema."[3]
Hal yang juga menjadi bahan pertanyaan terkait penyesalan tidak sempurna adalah ketika seseorang yang melakukan suatu pengakuan sakramental atas dosa berat yang ia lakukan, apakah penyesalan tidak sempurna bersamaan dengan sakramen tersebut cukup untuk memperoleh pembenaran kendati ia masih memiliki dosa yang belum ia sadari? Jawabannya secara umum adalah ya.[3]
Ayat-ayat dalam Kitab Suci yang digunakan untuk mendukung penyesalan tidak sempurna misalnya Amsal 13:13, Amsal 14:26-27, Amsal 19:23, Matius 10:28, dan Filipi 2:12.
Kualitas-kualitas
Sesuai dengan tradisi Katolik, baik penyesalan sempurna maupun tidak sempurna harus bersifat batiniah, adikodrati, universal, dan absolut. [3]
Batiniah
Penyesalan harus merupakan kesedihan yang nyata dan tulus dari dalam hati.[5]
Adikodrati
Selaras dengan ajaran Katolik, penyesalan semestinya digerakkan oleh rahmat Allah dan dibangkitkan oleh alasan-alasan yang timbul dari iman, bukan sekadar alasan-alasan kodrati seperti hilangnya kehormatan, keberuntungan, dan sebagainya (Chemnitz, Exam. Concil. ., Pt. II, De Poenit.). Dalam Perjanjian Lama, adalah Allah yang memberikan "hati yang baru" dan yang menaruh "roh yang baru" pada anak-anak Israel (Yehezkiel 36:25-29); dan dengan hati yang baru Pemazmur dalam Mazmur 51 berdoa Miserere ("Kasihanilah"). Petrus mengatakan kepada orang-orang yang mendengarkan khotbahnya pada hari-hari pertama setelah Pentakosta bahwa Allah Bapa telah membangkitkan Yesus "supaya Israel dapat bertobat" (Kisah 5:30 dst.). Ketika menasihati Timotius, Paulus menekankan pada penanganan yang lembut dan ramah untuk menghadapi orang-orang yang menolak kebenaran, "sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran" (2 Timotius 2:24-25).
Pada zaman heresi Pelagianisme, Agustinus dari Hippo menekankan pada aspek adikodrati dari penyesalan ketika ia menulis: "Bahwa kita berpaling dari Allah adalah perbuatan kita, dan hal ini adalah kehendak yang buruk; tetapi kita tidak mampu berpaling kembali kepada Allah kecuali Dia membangkitkan dan menolong kita, dan hal ini adalah kehendak yang baik." Beberapa doktor Skolastik, khususnya Scotus, Kayetanus, dan kemudian Suárez (De Poenit., Disp. iii, sect. vi), mengajukan pertanyaan spekulatif apakah upaya manusia semata dapat menimbulkan suatu laku tobat yang sejati, tetapi tidak ada teolog pernah mengajarkan bahwa menuju pengampunan dosa dalam ekonomi Allah saat ini dapat diilhami oleh alasan-alasan kodrati semata. Sebaliknya, kesemua doktor tersebut menekankan pada kebutuhan mutlak rahmat bagi penyesalan yang mengarah menuju pengampunan (Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, dist. xiv, Part I, art. II, Q. iii; juga dist. xvii, Part I, art. I, Q. iii; cf. Thomas, In Lib. Sent. IV). Sejalan dengan ajaran dari Kitab Suci dan para doktor tersebut, Konsili Trente menetapkan: "Barang siapa mengatakan bahwa tanpa inspirasi dari Roh Kudus dan tanpa bantuan-Nya seseorang dapat bertobat dengan cara yang semestinya untuk memperoleh rahmat pembenaran, biarlah ia menjadi anatema."
Universal
Penyesalan sejati harus mencakup semua dosa berat yang dilakukan, dan bukan sekadar beberapa dosa yang dipilih demi kenyamanan.[6] Doktrin ini terikat erat dengan ajaran Katolik mengenai rahmat dan pertobatan. Tidak ada pengampunan tanpa kesedihan jiwa, dan pengampunan selalu disertai oleh rahmat Allah; rahmat tidak dapat berdampingan dalam koeksistensi dengan dosa; dan, sebagai akibatnya, satu dosa tidak dapat diampuni sementara dosa-dosa lainnya masih ada tanpa adanya penyesalan.
Nabi Yoel mendesak orang-orang untuk berbalik kepada Allah dengan segenap hati mereka (Yoel 2:12-19), dan Kristus mengatakan kepada sang ahli hukum bahwa orang perlu mengasihi Allah dengan segenap budinya, segenap kekuatannya (Lukas 10:27). Yehezkiel menegaskan bahwa orang harus berbalik dari cara hidupnya yang jahat apabila ia ingin hidup (Yehezkiel 33:11).
Para Skolastik melakukan penelaahan ketika mereka ditanya apakah harus ada suatu laku tobat khusus untuk setiap dosa serius, dan apakah, agar dapat diampuni, orang harus ingat saat-saat terjadinya semua pelanggaran yang memilukan tersebut. Kedua pertanyaan itu dijawab negatif oleh mereka, menilai bahwa suatu tindakan kesedihan yang secara implisit mencakup semua dosa seseorang seharusnya sudah memadai.
Absolut
Menurut Markus 8:35-37, Yesus menegur murid-murid-Nya: "Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" Penyesalan atas dosa harus didahulukan di atas kepentingan duniawi yang bersifat sementara. Ketika utusan-utusan dari Ratu Eudoxia mengancam Yohanes Krisostomus, ia menanggapi: "Pergilah beritahukan sang putri bahwa Krisostomus hanya takut akan satu hal, dan hal itu adalah dosa."[6]
Dalam teologi Kristen lainnya
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. (May 2016) |
Pengakuan Iman Augsburg, pengakuan iman utama Lutheran, membagi pertobatan menjadi dua bagian: "Salah satunya adalah penyesalan, yaitu rasa ngeri yang menyerang hati nurani melalui pengetahuan akan dosa; yang lainnya adalah iman, yang lahir dari Injil, atau dari absolusi, dan percaya bahwa di dalam Kristus, dosa-dosa diampuni, menghibur hati nurani, dan membebaskannya dari rasa ngeri."[13]
Pengkhotbah Puritan Thomas Hooker mendefinisikan penyesalan sebagai: "..., tiada yang lain, yaitu, apabila pendosa ketika seorang berdosa oleh pandangan akan dosa dan kekejian dosa, serta hukuman karena hal yang sama, dijadikan dapat merasakan dosa, dan dijadikan membencinya, serta membuat hatinya terlepas dari hal yang sama..."[14]
Rektor Anglo-Katolik dari Gereja Episkopal St. Markus di Philadelphia, Alfred Garnett Mortimer, mengemukakan bahwa "perasaan" bukan merupakan suatu tanda yang memadai untuk mengukur penyesalan. Tanda-tanda kondisi sejati penyesalan seseorang adalah kesiapannya untuk melakukan pengakuan dosa, kesiapannya untuk mengubah hidup dan menghindari godaan, serta kesiapannya untuk mengampuni kesalahan orang-orang lain.[15]
Lihat pula
Referensi
- ^ Kamus Teologi. Diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo, Pr. dari A Concise Dictionary of Theology karya Gerald O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. Penerbit Kanisius. 1996. hlm. 294. ISBN 9794975249.
- ^ (Inggris) "contriteness". The Free Dictionary. October 2016.
- ^ a b c d e (Inggris) Hanna, Edward Joseph (1913). "Attrition". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- ^ (Inggris) "Paragraph 1431", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012
- ^ a b c d (Inggris) Hanna, Edward Joseph (1913). "Contrition". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- ^ a b c (Inggris) Abbé Luche. The Catechism of Rodez: Explained in Form of Sermons, B. Herder, 1898
- ^ (Inggris) Hanna, Edward (1908), "Contrition", The Catholic Encyclopedia, 4, Retrieved from New Advent, New York: Robert Appleton Company
- ^ Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Attrition". Encyclopædia Britannica. 2 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 887.
- ^ a b c d (Inggris) Catholic Church (2012). Catechism of the Catholic Church (edisi ke-2). Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
- ^ (Inggris) Donovan, STL, Colin B. "Perfect Contrition". EWTN. Diakses tanggal 27 October 2014.
- ^ a b (Inggris) "Penance And Reconciliation". International Theological Commission. Diakses tanggal 27 October 2014.
- ^ (Inggris) Code of Canon Law (edisi ke-1984). Canon 916.
- ^ (Inggris) Augsburg Confession, Article XII: Of Repentance
- ^ (Inggris) Hooker, Thomas. The soules preparation for Christ: a treatise of contrition, 1638
- ^ (Inggris) Mortimer, Alfred Garnett. Catholic Faith and Practice, Vol. 1, Longmans, Green, and Company, 1897
Sumber
- Artikel ini memuat teks dari suatu penerbitan yang sekarang berada dalam ranah publik: Herbermann, Charles, ed. (1913). "Contrition". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton.
- Sylvester Joseph Hunter, Outlines of Dogmatic Theology (New York, 1896)
- Suarez, De Pænitentia, disp. iv, sect. iii, a,2
- Bellarmine, De Controversiis, Book II, De sacramento pænitentiæ
- Denifle, Luther und Luthertum in der ersten Entwicklung (Mainz, 1906), I, 229 sqq., II, 454, 517, 618 sq.
- Collet in Migne, Theologiæ Cursus Completus (Paris, 1840), XXII
- Palmieri, De Pænitentia (Rome, 1879; Prato, 1896)
- Petavius, Dogmata Theologica: de pænitentia (Paris, 1867).
Pranala luar
- (Inggris) Etymology online