Panembahan Rama
Raden Kajoran, juga dikenal sebagai Panembahan Rama (wafat 14 September 1679) adalah seorang ningrat Jawa Muslim dan pemimpin utama Pemberontakan Trunajaya melawan Kesulatanan Mataram. Dia mempimpin pasukan pemberontak yang menyerbu dan menjarah Plered, ibu kota Mataram pada bulan Juni 1677.[1] Pada bulan September 1679, pasukannya dikalahkan oleh gabungan pasukan Belanda, Jawa, dan Bugis di bawah Sindu Reja dan Jan Albert Sloot dalam pertempuran di Mlambang, dekat Pajang.[2][3] Kajoran menyerah namun dieksekusi atas perintah Sloot.[3]
Leluhur dan keluarga
Kajoran adalah sebuah permukiman di selatan Klaten sekarang, Jawa Tengah.[4] Raden adalah gelar golongan ningrat Jawa, dan gelar "Raden Kajoran" menunjukkan statusnya sebagai kepala dari keluarga yang berkuasa di sana.[5] Menurut tradisi Jawa, Sayyid Kalkum, buyut laki-laki Raden Kajoran adalah orang pertama dari kelurganya yang bermukim di Kajoran.[4] Dia adalah adik dari seorang suci yang dikenal sebagai Sunan Tembayat, yang merupakan salah satu orang yang pertama memperkenalkan Islam di pedalaman Jawa Tengah.[6] Kalkum memperoleh penguasaan atas wilayah yang luas di Kajoran pada awal abad ke-16.[4] Keluarga ini menikah dengan keluarga kerajaan dari Pajang dan Mataram.[4] Pada masa Raden Kajoran, keluarga ini telah menjadi keluarga yang kuat dan berpengaruh di Mataram, karena wewenang Islam mereka dan ikatan pernikahan kerajaan.[5][7]
Biografi
Sebelum Pemberontakan Trunajaya
Pada masa rezim Raja Amangkurat I dijumpai eksekusi banyak bangsawan karena kecurigaan atas pengkhianatan, termasuk seluruh keluarga Pangeran Pekik (mantan dinasti yang berkuasa dari Surabaya) pada tahun 1659 dan banyak anggota keluarga kerajaan di keraton selam tahun 1660-an.[8] Kebrutalan ini menimbulkan kekhawatiran bagi Kajoran, yang mulai bersimpati dengan para rival raja.[6] Ketika Trunajaya—seorang ningrat Madura yang terpaksa tinggal di keraton setelah pencaplokan negerinya—melarikan diri dari keraton, Raden Kajoran menerima Trunajaya di Kajoran sebagai pengikutnya dan mengizinkan dia menikah dengan salah satu putrinya.[6][7] Dia juga mendorong persahabatan antara Trunajaya dan Putra Mahkota Mataram (Pangeran Adipati Anom, kelak Amangkurat II) yang juga memiliki dendam terhadap ayahnya sang raja.[6]
Peran dalam Pemberontakan Trunajaya
Pemberontakan Trunajaya mulai pada tahun 1674 ketika pasukan Trunajaya melakukan penyerangan terhadap kota-kota di bawah kekuasaan Mataram.[9] Kajoran bergabung dalam pemberontakan sejak setidaknya tahun 1676 setelah kemenangan Trunajaya di Gegodog bulan Oktober.[5] Pengetahuannya mengenai urusan internal Mataram serta reputasinya sebagai seorang pemimpin agama, memberikan dukungan bagi Trunajaya dan panglima perang Madura-nya yang asing terhadap Jawa tengah.[4][10]
Dia bergabung dengan pasukan pemberontak bergerak menuju ibu kota Mataram—dipimpin oleh para kapten Trunajaya—di Taji, sebelah timur ibu kota.[5] Pasukan ini menyerang ibu kota kabupaten (kabupaten di Mataram) pada bulan Januari atau Februari 1677 namun dipukul mundur oleh pasukan loyalis yang dipimpin oleh para pangeran kerajaan.[4] Pasukan yang dikalahkan mundur ke Surabaya, di mana Raden Kajoran bergabung dengan manantunya, Trunajaya.[4][11] Kemudian pasukan Mataram membakar kabupaten Kajoran.[4][11]
Bulan April 1677, Kajoran mulai serangan yang lain terhadap Mataram.[1][12] Pasukannya menyerbu dan menjarah ibu kota Plered sekitar 28 Juni 1677, menandai titik puncak pemberontakan ini.[12] Ada rumor bahwa bagian barat wilayah Trunajaya (kira-kira Jawa Tengah kini), harus dinyatakan sebagai kerajaan yang diperintah oleh Kajoran, namun dia lebih suka mengambil posisi sebagai seorang pemimpin spiritual daripada raja.[13] Juga, terlepas dari usulan mengenai kekuasaan ganda, Trunajaya mengambil semua harta kekayaan yang direbut dari Plered untuk dirinya sendiri dan menyangkalnya dari Kajoran.[14]
Para pemberontak kemudian menarik diri dari ibu kota yang telah hancur saat itu dan Raden Kajoran pindah ke Totombo, daerah perbukitan di selatan ibu kota Trunajaya di Kediri, Jawa Timur, atas permintaan Trunajaya.[13][14] Langkah ini menyebabkan Jawa tengah lebih dekat kepada Trunajaya dan kurangnya penerus berkontribusi terhadap penurunan wibawa dan loyalitas para pengikutnya.[14] Namun, para pengikutnya masih aktif di Jawa tengah, termasuk kabupaten-kabupaten pesisir (misalnya Jepara) dan pedalaman (di Pajang, yang berbatasan dengan ibu kota kabupaten).[15] Mereka menyusun serangan besar di pantai utara (juga dikenal sebagai Pasisir) pada bulan November 1677 dan Juni—Juli 1678.[1] These activities frustated both Mataram and its ally the Dutch East India Company (known by its Dutch acronym VOC), who also tried to establish a monopoly in the Pasisir.[13]
Referensi
Kutipan
- ^ a b c Kemper 2014, hlm. 144.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 94.
- ^ a b Pigeaud 1976, hlm. 89.
- ^ a b c d e f g h Pigeaud 1976, hlm. 86.
- ^ a b c d Pigeaud 1976, hlm. 71.
- ^ a b c d Pigeaud 1976, hlm. 67.
- ^ a b Ricklefs 1993, hlm. 31.
- ^ Pigeaud 1976, hlm. 66.
- ^ Pigeaud 1976, hlm. 69.
- ^ Kemper 2014, p. 69, note 287.
- ^ a b Kemper 2014, hlm. 143.
- ^ a b Ricklefs 1993, hlm. 40.
- ^ a b c Pigeaud 1976, hlm. 87.
- ^ a b c Kemper 2014, hlm. 70.
- ^ Pigeaud 1976, hlm. 88.
Bibliografi
- Kemper, Simon (2014-05-08). War-bands on Java (Tesis). Leiden University. http://hdl.handle.net/1887/25549.
- Ricklefs, M.C. (1993). War, Culture and Economy in Java, 1677–1726: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura Period. Sydney: Asian Studies Association of Australia. ISBN 978-1-86373-380-9.
- Ricklefs, M.C. (2008-09-11). A History of Modern Indonesia Since C.1200. Palgrave Macmillan. ISBN 978-1-137-05201-8.
- Pigeaud, Theodore Gauthier Thomas (1976). Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-1876-7.