Arsyad Thawil al-Bantani
Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani al-Jawi atau Syekh Arsyad Thawil[1] (lahir di Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten, Januari 1851 – meninggal di Manado, Sulawesi Utara, 19 Maret 1934 pada umur 82–83) adalah ulama sekaligus pejuang dalam pertempuran Geger Cilegon 1888 di Banten. Syekh Arsyad adalah murid dari Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama dari Banten yang menjadi Imam Masjidil Haram, Mekkah.[2][3]
Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani al-Jawi | |
---|---|
Gelar | Syekh |
Nama | Mas Mohammad Arsyad Thawil |
Nasab | bin As’ad bin Mustafa |
Nisbah | al-Bantani al-Jawi |
Lahir | Mas Muhammad Arsyad Thawil Januari 1851 Masehi Zulkaidah 1261 Hijriyah Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten |
Meninggal | 19 Maret 1934 (umur 82–83) 14 Zulhijah 1353 Hijriyah Manado, Sulawesi Utara |
Dimakamkan di | Lanwangirung, Pemakaman Muslim Kota Manado |
Kebangsaan | Indonesia |
Etnis | Banten |
Firkah | Sunni |
Mazhab Fikih | Syafi'i |
Murid dari | Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Syekh Nawawi al-Bantani Dan lainnya |
Dipengaruhi oleh | |
Istri | Tarhimah Magdalena Runtu |
Orang tua | Syekh As'ad bin Mustafa (Ayah) Ayu Nazham (Ibu) |
Pendidikan
Syekh Arsyad memperoleh pendidikan dasar khatam al-Quran dari ayahnya sendiri, Syekh As’ad. Selain itu, ia juga mempelajari kitab-kitab lain seperti Nahwu-Sharaf, Fikah, dan Tauhid dari ayahnya. Setelah memiliki cukup pengatahuan agama, pada usia 16 (atau 8) tahun ia berguru kepada Syekh Abdul Ghani yang juga teman ayahnya. Saat gurunya berangkat ke Mekkah ia pun turut serta mendampingi sang guru dan menuntut ilmu kepada para pengajar di sana. Di Masjidil Haram, Arsyad Thawil senantiasa mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mufti Mekah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, terutama mengenai nahwu, fikah, dan sirah. Syekh Arsyad juga belajar kepada beberapa ulama, di antaranya kepada Syekh Nawawi al-Bantani yang juga berasal dari Banten, Sayyid Abu Bakri Syatha, Sayyid Umar Syatha, dan Sayyid Utsman Syatha.
Syekh Arsyad mendalami ilmu hadits kepada Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi al-Makki di bawah bimbingan putranya, Mufti al-Muhaddits al-Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi al-Makki. Selain itu, Arsyad Thawil juga memperoleh pembelajaran ilmu hadits dari ulama Madinah, Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa’id al-Mujaddidi di bawah bimbingan beberapa muridnya, yaitu Sayyid Ali bin Zhahir al-Watri, Syekh Shalih bin Muhammad az-Zhahiri, dan Syekh Abdul Jalil Barradah. Dari semua ulama-ulama tersebut lah kemudian Syekh Arsyad menerima ijazah dalam ilmu hadits. Sedangkan untuk ilmu fikah, Syekh Arsyad juga memperdalamnya kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki.[4]
Guru-guru Syekh Arsyad Thawil
Syekh Arsyad Thawil tercatat pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya[5][4]:
- Syekh As'ad bin Syekh Mustafa (Ayahnya) - dalam bidang al-Quran, Nahwu-Sharaf, Fikah, dan Tauhid
- Syekh Abdul Ghani
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan - dalam bidang Nahwu, Fikah, dan Sirah
- Syekh Nawawi al-Bantani
- Sayyid Abu Bakri Syatha (di bawah bimbingan putranya, Sayyid Umar Syatha dan Sayyid Utsman Syatha)
- Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi al-Makki (di bawah bimbingan putranya, Mufti al-Muhaddits al-Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi al-Makki) - dalam bidang Hadits
- Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa’id al-Mujaddidi (di bawah bimbingan beberapa muridnya, yaitu Sayyid Ali bin Zhahir al-Watri, Syekh Shalih bin Muhammad az-Zhahiri, dan Syekh Abdul Jalil Barradah) - dalam bidang Hadits
- Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki - dalam bidang Fikah
- Syekh Ibrahim al-Saqa asy-Syabrabakhumi
- Sayyid Ja’afar bin Idris al-Kattani
- al-‘Allamah Abi Jaiyidah bin Abdul Kabir al-Fasi
- al-‘Allamah Abdullah bin Darwisy asy-Syakri
- Sayyid Muhammad ibnu Muhammad Murtadha az-Zabidi al-Hanafi
- Sayyid Muhammad bin Ali as-Sanusi
Hubungan dekat Syekh Arsyad dengan Syekh Nawawi
Suatu hari, Syekh Nawawi al-Bantani mengirimkan karyanya berupa naskah buku (kitab) kepada ulama Mesir, namun karya tersebut ditolak dan dikembalikan dalam bentuk kode. Setelah kode tersebut diterima, Syekh Nawawi kemudian menjawabnya kembali dalam bentuk kode yang sama. Menerima kiriman kode dari Syekh Nawawi ulama Mesir pun sangat terkejut, sebab hanya ulama ulama tertentu berpengetahuan tinggi yang dapat memahami kode tersebut. Untuk mengobati rasa penasaran, para ulama Mesir sepakat mengundang Syekh Nawawi untuk ditanyai. Syekh Nawawi pun memenuhi undangan ulama Mesir dan mengajak serta muridnya, Syekh Arsyad Thawil untuk bersandiwara dan bertukar tempat (Syekh Nawawi menjadi Syekh Arsyad, begitupun sebaliknya).[5]
Kedatangan ulama Banten tersebut disambut baik oleh ulama Mesir meskipun tanpa upacara. Di hadapan ulama Mesir, Syekh Arsyad yang bersandiwara menjadi Syekh Nawawi pun duduk di atas kursi, sedangkan Syekh Nawawi duduk di bawah sebagai pengawal. Banyak pertanyaan diajukan oleh ulama Mesir yang tidak mudah untuk dijawab oleh sembarang ulama. Sebagai Syekh Nawawi, Syekh Arsyad pun mempersilakan pengawalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Semua masalah dan pertanyaan dijawab dengan memuaskan oleh pengawal yang tak lain adalah Syekh Nawawi sendiri. Para ulama pun kagum mendengar jawaban memuaskan tersebut, dalam benaknya mungkin terbesit pemikiran: pengawalnya saja sudah sedemikian hebatnya, apalagi yang dikawal.[6]
Usai undangan itu, ulama Jawa makin dihormati. Karya Syekh Nawawi yang sempat ditolak penerbit Mesir pun mulai diterbitkan. Ini juga berimbas pada penghormatan yang baik kepada ulama Jawa oleh ulama-ulama Mesir kala itu.[7]
Peranan dan Perjuangan
Geger Cilegon 1888
Pada tahun 1311 Hijriyah/1893 Masehi, Syekh Arsyad Thawil pulang ke tanah kelahirannya, Banten. Pada saat itu Banten sedang dihadapi bencana besar, setelah Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang merenggut setidaknya 36.417 korban jiwa, kemudian disusul dengan terjadinya wabah penyakit hewan pada tahun 1885, pada saat itu pula masyarakat percaya akan tahayul dan perdukunan. Tak hanya itu, penjajah Belanda kemudian membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukukam-hukuman yang diberikan kepada rakyat secara tidak adil. Kemudian para alim ulama dan petani sepakat untuk melakukan perang total dengan pihak kolonial Belanda yang kemudian disetujui oleh Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah dan beberapa ulama lainnya. Secara serentak kaum muslimin ikut mengangkat senjata dalam jihad tersebut, termasuk Syekh Arsyad Thawil. Syekh Arsyad termasuk tokoh utama dalam pertempuran Geger Cilegon 1888 Sehingga ia menjadi ulama paling dicari oleh pihak kolonial. Akibat pemberontakan itu Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten lalu mengasingkannya (semua pemimpin yang diasingkan berjumlah 94 orang). Beberapa yang diasingkan diantaranya: Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris ke Bukittinggi, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke Flores, Syekh Arsyad Thawil sendiri lalu dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Selainnya kemudian dibuang ke Tondano, Ternate, Ambon, Kupang, dan kota lainnya.
Mengajar
Di negeri pembuangannya, Syekh Arsyad aktif mengajar masyarakat di Manado. Ia mengajar dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, di antaranya adalah fikah, nahwu-sharaf, tasawuf, hadits dan lain-lain. Kiprah Syekh Arsyad Thawil di Manado memang tidak hanya berlaku sebagai tahanan saja, dengan keluhuran ilmu pengetahuan agama ia ditokohkan. Tak kurang ratusan ulama dari Manado, Gorontalo, Ambon, Poso, dan daerah lainnya belajar kepada Syekh Arsyad. Ia pun diakui sebagai salah satu pembawa Islam ke wilayah mayoritas pemeluk Nasrani tersebut. Bahkan ia menikahi anak pendeta yang telah diislamkannya, bernama Magdalena Runtu.[8]
Banyak alim-ulama Nusantara yang bersanad (muasal) ilmunya kepada Syekh Arsyad Thawil al-Bantani hingga ke atas. di antaranya seperti Habib Ahmad bin Husein bin Salim bin Djindan dan putranya, Habib Salim bin Djindan, dan Habib Alawi bin Abdurrahman bin Smith, Dari sanad ini lah juga akan menurunkan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani al-Makki.
Wafat
Syekh Arsyad Thawil al-Bantani wafat di Manado, Sulawesi Utara, pada malam Senin, 14 Zulhijah 1353 Hijriyah / 19 Maret 1935 Masehi pada usia 83 tahun. Yang menjadi imam salat jenazahnya yaitu al-Habib Hasan bin Abdur Rahman Maula Khailah al-‘Alawi.
Referensi
- ^ "Hargai Perjuangan Ulama Banten, Buku Riwayat Hidup KH Arsyad Thawil Diseminarkan - BANTEN DAILY". BANTEN DAILY (dalam bahasa Inggris). 2014-12-25. Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ Fuji Pratiwi. "Tokoh Lokal yang Mendunia". www.republika.co.id. Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ Sirait, Horas K. "Helldy: KH Arsyad Thawil Diidolakan Bung Karno, Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional". www.helldy.com. Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ a b "Syeikh Arsyad Thawil al-Bantani.(Syeikh Muhammad Arsyad bin As'ad bin Mustafa bin As'ad al-Bantani al-Jawi) | Majelis Albantani". Majelis Albantani. 2015-06-09. Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ a b "Banten pos edisi 25 november 2013". issuu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ "Syeikh Arsyad Thawil, Salah Satu Pejuang Geger Cilegon | Suara Banten Online". suarabanten.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ "Tokoh Lokal yang mendunia | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2017-05-02.
- ^ Sirait, Horas K. "Mencari Pejuang Geger Cilegon yang Terlupakan, KH Arsyad Thawil". www.helldy.com. Diakses tanggal 2017-05-02.
Pranala Luar
- Banten pos edisi 25 november 2013
- Yoesoef Effendi, Bung Karno, "Wahai putra-putra Banten--siapa dia?", (Jakarta: Penerbit Yayasan Pendidikan al-Chasanah 1983)