Cheng Ho
Cheng Ho atau Zheng He (Hanzi tradisional:鄭和, Hanzi sederhana: 郑和 , Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli: 马三宝 Hanyu Pinyin: Ma Sanbao; (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.
Biografi
Zheng He (di Indonesia lebih dikenal dengan nama Cheng Ho) adalah orang Suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam. Nama Persianya adalah Haji Mahmud Shamsuddin. Jika merunut leluhurnya enam generasi yang lalu adalah Sayyid Ajjal Shamsud-Din Omar al-Bukhari, seorang aristokrat dari Asia Tengah yang datang pada awal Dinasti Yuan. Adapun leluhur ketiga puluh enam Sayyid Ajjal adalah Muhammad, nabi pendiri Islam. Sebagai keturunan raja Bukhara, ia pernah menjabat sebagai xingfu pingzhang (pejabat setingkat gubernur) Propinsi Yunnan, dan setelah meninggal Sayyid Ajjal kemudian diberi gelar Raja Xianyang oleh Khubilai Khan. Sejak itu, klannya menyebut keluarga mereka Keluarga Xianyang.
Kakek dari pihak ayah Zheng He, Bayan, pada tahun ke 11 Dade Dinasti Yuan (1307 M) menjabat sebagai zhongshu pingzhang, nenek buyutnya aslinya bermarga Ma. Kakek dari pihak ayah Zheng He, Bayan, adalah seorang haji, sedangkan nenek dari pihak ayah berasal dari Keluarga Wen. Nama asli ayah Zheng He adalah Milijin, nama Hannya adalah Haji Ma (Marga Ma adalah transliterasi nama Arab Muhammad dalam Bahasa China). ia mewarisi gelar Dianyang Hou, ibunya aslinya bermarga Wen.
Zheng He dilahirkan di tahun keempat Hongwu Dinasti Ming (1371 M) sebagai anak kedua Haji Ma. Ia berasal dari Kunyang, provinsi Yunnan. Nama aslinya adalah Ma He. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan dari Dinasti Yuan, Cheng Ho ditangkap saat masih berusia 10 tahun, dibawa ke Yanjing (sekarang dikenal sebagai Beijing) dan secara paksa dijadikan tentara. Karena kepandaian dalam ilmu perang dan diplomasi, ia dijadikan perwira dan ditempatkan di bawah Pangeran Yan, dimana selama pengabdiannya pada Pangeran Yan, ia dikenal dengan sebutan "Sanbao" (三寶).[1] Nama "Sanbao" mengacu pada Tiga Mustika dalam agama Buddha[2]. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Sam Po Bo[3]
Setelah Kaisar Jianwen dikalahkan Pangeran Yan pada tahun 1400, Pangeran Yan mengangkat dirinya menjadi Kaisar Yongle (1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Dia meneruskan untuk menyatukan sisa wilayahnya di China, bersama dengan pengembangan ke lautan dan membuka perdagangan dengan bangsa Asia lain. Zheng He yang menjadi seorang kasim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dipilih menjadi komandan ke wilayah Lautan Barat.[4]
Penjelajahan
Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:[butuh rujukan]
- Vietnam
- Taiwan
- Malaka / bagian dari Malaysia
- Aceh dan Palembang, Sumatra/ bagian dari Indonesia
- Jawa / bagian dari Indonesia
- Sri Lanka
- India bagian Selatan
- Persia
- Teluk Persia
- Arab
- Laut Merah, ke utara hingga Mesir
- Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik
Ma He adalah seorang Hui beragama Islam. Ahli Sejarah Ming (Ming Shi) Tuan Wu Han menjelaskan bahwa karena di banyak negara di Asia Tenggara, agama Islam dan Buddha merupakan kepercayaan utama, maka pemerintah Ming memilih seorang Muslim supaya dapat ‘mengurangi kesalahpahaman dan melakukan tugas dengan baik’. Sebagai diplomat, Cheng Ho mengambil kebijaksanaan untuk bersikap toleran dan hormat pada agama-agama lain.
Selain itu dalam rombongan yang pergi ke Lautan Hindia terdapat para penganut Islam yaitu Ma Huan (penulis buku Yingya Shenglan tentang perjalanan Zheng He), Guo Chongli (ulama Masjid Agung Xian), Hasan dari Quanzhou (keturunan Pu Shougeng, seorang pedagang Arab yang menetap di Quanzhou pada akhir Dinasti Song), Pu Rihe (imam masjid Quanzhou), Xia Wennan (cucu Xia Bulu Han), dan lain-lain.
Karena beragama Islam, para temannya tersebut juga mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan armadanya. Setelah kematian kaisar Yongle pada tahun 1424, Kaisar Hongxi (1424-1425), memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Selanjutnya, Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (1426-1435).
Pelayaran
Pelayaran | Waktu | Daerah yang dilewati[5] |
---|---|---|
Pelayaran ke-1 | 1405-1407 | Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Aru, Sumatra, Lambri, Sri Lanka, Kollam, Cochin, Calicut |
Pelayaran ke-2 | 1407-1408 | Champa, Jawa, Siam, Sumatra, Lambri, Calicut, Cochin, Sri Lanka |
Pelayaran ke-3 | 1409-1411 | Champa, Jawa, Malaka, Sumatra, Sri Lanka, Quilon, Cochin, Kalkuta, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, Puttanpur |
Pelayaran ke-4 | 1413-1415 | Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Sumatra, Sri Lanka, Cochin, Kalkuta, Kayal, Pahang, Kelantan, Aru, Lambri, Hormuz, Maladewa, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden, Muscat, Dhufar |
Pelayaran ke-5 | 1416-1419 | Champa, Pahang, Jawa, Malaka, Sumatra, Lambri, Sri Lanka, Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden |
Pelayaran ke-6 | 1421-1422 | Hormuz, Afrika Timur, negara-negara di Jazirah Arab |
Pelayaran ke-7 | 1430-1433 | Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Sumatra, Sri Lanka, Calicut, Hormuz... (17 politics in total) |
Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke tempat yang disebut oleh orang Tionghoa Samudera Barat (Samudera Indonesia). Ia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke Tiongkok - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada Kaisar.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, sayangnya dihancurkan oleh Kaisar dari Dinasti Ching
Armada
Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.
Kepulangan
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrika termasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.
Rekor
Majalah Life menempatkan laksamana Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat hingga saat ini. Ia juga memiliki kapal kayu terbesar yang dinamakan 'Kapal Harta' yang berukuran panjang 420 kaki berdasarkan catatan sejarah yang akurat. Sebagai perbandingan, kapal Columbus dalam penjelajahannya ke Amerika adalah sepanjang 62 kaki. Pada ekspedisi pertamanya, ia membawa crew sebanyak 27.800 orang, 62 kapal harta dan 190 kapal besar lainnya uantuk mendukung Kapal Harta milik Cheng Ho. Selain itu dia adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armadanya yang begitu banyak, dia dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat armadanya merapat.[6]
Semasa di India, termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal bernama Kallary Payatt, yang kemudian dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Cheng Ho (Sam Po Kong) juga mengunjungi Lamuri dari ketujuh kali perjalanannya. Cheng Ho menyebutkan bila bertolak dari Kerajaan Samudera Pasai menuju ke arah barat, kapal akan sampai di Kerajaan Lambri (Lamuri), dengan lama perjalanan 3 hari 3 malam jika keadaan angin baik. Di pantai Lambri terdapat lebih dari seribu kepala keluarga, dimana baik sang raja maupun rakyatnya muslim.
Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Karena itu, Cheng Ho memerintahkan untuk membuang sauh dengan menyusuri sebuah sungai yang sekarang dikenal dengan sungai Kaligarang. Wang akhirnya turun di pantai sebuah desa bernama Simongan, Semarang, dan memutuskan untuk menetap sementara waktu ditempat tersebut; sedangkan awak kapalnya yang sakit, dirawat dan diberi obat dari ramuan dedaunan yang ada disekitar tempat itu.
Setelah sampai didaratan, ia menemukan sebuah gua batu dan dipergunakan sebagai tempat untuk bersemedi dan bersembahyang. Lambat laun, akhirnya dia memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid di tepi pantai tersebut, yang sekarang telah berubah fungsi menjadi sebuah kelenteng. Kelenteng tersebut bernama Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta terdapat sebuah patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Tanda yang menunjukan bahwa kelenteng tersebut bekas petilasan yang berciri keislamanan adalah dengan ditemukannya tulisan berbunyi “marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur’an”. Disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu. Orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng, mengingat bentuknya yang berarsitektur China.Templat:Http://www.tionghoa.info/laksamana-zheng-he-cheng-ho/
Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati
Syekh Quro dan Syekh Datuk Kahfi adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Referensi
Sumber
- ^ Levathes 1996, 63.
- ^ Dreyer 2007, 12.
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
- ^ https://prezi.com/tmjeja_nfidi/zheng-he-who-was-also-known-as-ma-sanbao-ma-he-and-cheng-h/, diakses 23 Mei 2017
- ^ Maritime Silk Road 五洲传播出版社. ISBN 7-5085-0932-3
- ^ https://prezi.com/tmjeja_nfidi/zheng-he-who-was-also-known-as-ma-sanbao-ma-he-and-cheng-h/, diakses 23 Mei 2017
Bacaan lanjutan
- Prof. Kong Yuanzhi. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Penyunting: Prof. HM. Hembing Wijayakusuma. Pustaka Populer Obor, Oktober 2000, xliv + 299 halaman
- AM Adhy Trisnanto. Dampak Pengakuan Keislaman Cheng Ho. Suara Merdeka, 2 Agustus 2005
- Biografi Syekh Nurjati Situs resmi IAIN Nurijati Cirebon
- Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon : Zulfana Cierbon
- Lamuri Dalam Catatan Laksamana Cheng Ho
Pranala luar
- (Indonesia)Situs resmi Perayaan 600 tahun sejak tibanya Cheng Ho di Indonesia
- (Indonesia)Laksamana Cheng Ho dalam Kanvas. Liputan 6
- (Indonesia)Peringatan 600 Tahun Pelayaran Cheng Ho. Ke Semarang, Mengenang Sang Raja Laut. Sinar Harapan, 2003