Islam Nusantara
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.[1]
Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya.[2] Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.[3]
Sejarah
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah.[4] Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kyai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tadisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.
Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh keolmpok jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran semaking diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam. Di dalam negeri, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional khususnya Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai dapat melemahkan Pancasila.
Akibatnya, munculah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan mendefinisikan Islam Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini berkat pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang mendorong Indonesia — sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi.[5] Maka selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan digalakkan.
Karakteristik
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan toleran.[3] Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal. Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah memepertimbangkan unusr budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.[2]
Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan penghormatan kepada kyai dal ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal. Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain.[6]
Kritik
Segera setelah diumumkan, Islam Nusantara menghadapi tentangan dan kritik dari aliran Islam yang lain. Tentangan datang khususnya dari para penganut aliran wahhabi dan salafi, atau aliran serupa yang hendak "membersihkan" Islam dari unsur-unsur lokal yang dianggap tidak Islami, yang sering dihujat sebagai praktik syirik atau bidah. Hizbut Tahrir Indonesia telah secara terang-terangan menentang konsep Islam Nusantara.[3] Islam Nusantara dikritik sebagai suatu bentuk Islam sinkretisme yang merusak "kesempurnaan" dan ketunggalan Islam, serta dianggap merusak persatuan umat.[7]
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam berpengaruh di Indonesia — walaupun tidak menentang secara langsung konsep ini, menekankan bahwa istilah Islam Nusantara harus digunakan secara berhati-hati dan proporsional, agar tidak menindas aliran Islam lain yang memiliki pemahaman berbeda tentang Islam. Jika Islam Nusantara didukung dan diangkat sebagai aliran Islam utama oleh negara, maka ditakutkan aliran Islam lain akan mengalami penindasan dan diskriminasi.[8]
Lihat juga
Referensi
- ^ "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Nahdlatul Ulama (dalam bahasa Indonesian). 22 April 2015.
- ^ a b Azis Anwar Fachrudin (24 July 2015). "The face of Islam Nusantara". The Jakarta Post.
- ^ a b c Heyder Affan (15 June 2015). "Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara'". BBC Indonesia (dalam bahasa Indonesian).
- ^ Nina Nurmila. Jajat Burhanudin, Kees van Dijk, ed. Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam University Press. hlm. 109.
- ^ "Indonesia. un altro Islam?". Cultura & Culture (dalam bahasa Italian).
- ^ "Ini Sejumlah Ciri Islam Nusantara". Nahdlatul Ulama (dalam bahasa Indonesian). 16 July 2016.
- ^ "Islam Itu Sudah Sempurna, Tidak Butuh Embel-Embel "Nusantara"". Era Muslim (dalam bahasa Indonesian). 15 June 2015.
- ^ Marniati (8 July 2015). "Muhammadiyah: Istilah Islam Nusantara Harus Digunakan Proporsional". Republika (dalam bahasa Indonesian).