Teungku Hasan Krueng Kale

Ulama dan Tokoh Aceh


Hasan Krueng Kale atau terkenal dengan sebutan Teungku Haji Hasan Krueng Kale (lahir 18 April 1886 di Meunasah Ketembu, Sangeue, Kabupaten Pidie - meninggal 19 Januari 1973 pada umur 86 tahun) adalah ulama besar asal Aceh yang hidup pada pertengahan abad ke-20.[1][2] Ia seangkatan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, dan Teuku Nya' Arif yang banyak berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di wilayah Aceh.[1][3]

Teungku Haji Hasan Krueng Kale

Kehidupan awal dan pendidikan

Teungku Hasan lahir di pengungsian di Meunasah Ketembu, kemukiman Sangeue, kabupaten Pidie ketika terjadi peperangan di Aceh antara prajurit kerajaan beserta rakyat Aceh dengan para tentara Belanda.[4][5] Ia adalah putera dari ulama besar aceh, Teungku Haji Muhammad Hanafiah, yang juga merupakan sahabat karib dari pahlawan nasional Teungku Syekh Muhammad Saman Tiro (Teungku Cik di Tiro).[2]

Sejak kecil Teungku Hasan belajar pendidikan keislaman dari ayahnya sendiri, di samping ia juga belajar di beberapa meunasah (sekolah Islam) yang ada di desanya.[1] Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa dayah (pesantren) yang ada di sekitar Pidie.[1] Dayah pertama yang ia singgahi untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya yaitu Dayah Teungku Chik di Keubok asuhan Teungku Musannif.[5]

Pada tahun 1906, Teungku Hasan pergi ke Yan, Keudah, Malaysia untuk memperdalam berbagai ilmu yang telah ia dapatkan sebelumnya.[4] Ia dikirim ayahnya untuk belajar ke Dayah Yan dan berguru kepada Teungku H. Muhammad Arsyad, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam.[4] Dayah Yan merupakan pusat pendidikan Islam di Semenanjung Melayu.[4]

Setelah menamatkan belajarnya di Dayah Yan, pada tahun 1910, Teungku Hasan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk melanjutkan pendididikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram, Mekah.[4] Di sana ia belajar kepada ulama-ulama besar dan masayikh (guru besar) di Masjidil Haram.[4] Di antara guru-gurunya tersebut ialah:[4][6]

  • Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil
  • Syaikh Khalifah
  • Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty
  • Syaikh Yusuf An-Nabhany
  • Syaikh Abdullah Isma’il
  • Syaikh Hasan Zamzami
  • Syaikh Abdul Maniem

Mengajar dan mendirikan pesantren

Sepulang belajar dari Mekah, Teungku Hasan tidak langsung pulang ke kampung halamannya, melainkan singgah terlebih dahulu di Dayah (Pesantren) gurunya Teungku M. Irsyad Ie Leubeu di Yan, Kedah, Malaysia.[5] Di pesantren tersebut ia sempat mengajar selama beberapa tahun dan kemudian ia dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.[5]

Atas panggilan pamannya, Teungku Muhamad Said, Teungku Hasan pulang dan mengabdi di Dayah Meunasah Baro pimpinan pamannya.[5] Tidak lama kemudian, ia mendirikan lembaga pendidikannya sendiri di Gampong Krueng Kale, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.[1][5] Dari situlah kemudian ia dikenal dengan nama Teungku Hasan Krueng Kale yang maksudnya adalah Kiai Hasan dari Krueng Kale.[1]

Dayah asuhan Teungku Hasan tersebut kemudian berkembang pesat dan memiliki ribuan santri dan menjadi salah satu dayah besar di wilayah Aceh pada abad ke-20.[1] Banyak dari para santrinya yang kemudian menjadi ulama besar dan mendirikan dayah di daerah mereka masing-masing.[1] Salah satu murid Teungku Hasan yang terkenal adalah Teungku Muhammad Muda Wali yang mendirikan Dayah Darussalam Manbail 'Ilmi Hikam di Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan.[1]

Peran pada masa pergerakan nasional

Teungku Hasan adalah ulama serta tokoh pergerakan nasional asal Aceh yang seangkatan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh.[1] Namun, ia tidak memasuki organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), tetapi ia lebih memilih masuk ke organisasi Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli di Bukittinggi.[1] Selain itu, Teungku Hasan juga tidak ikut dalam pemberontakan Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh Teungku Daud Beureueh pada tahun 1953-1962.[1]

Walaupun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat, tetapi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan selama perang kemerdekaan (1945-1950), mereka sepakat melakukan jihad untuk membela agama dan kemerdekaan bangsa Indonesia.[1] Hal itu terbukti pada tanggal 15 Oktober 1945 ketika empat ulama besar Aceh menandatangani deklarasi perjuangan, Pernyataan Jihad yang mewajibkan seluruh rakyat Aceh untuk berjihad membela kemerdekaan Indonesia dan mengusir NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang hendak menjajah kembali.[1][3] Keempat ulama Aceh tersebut adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Hasan Kreung Kale, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Ja'far Shadiq.[1][3]

Referensi