Konflik di Negara Bagian Rakhine (2016–sekarang)
PBB mendefinisikan Rohingya sebagai minoritas agama dan bahasa dari Myanmar barat dan bahwa Rohingya adalah salah satu dari minoritas yang paling dipersekusi atau paling mendapat perlakuan buruk di dunia. Namun asal kata Rohingya, dan bagaimana mereka muncul di Myanmar, menjadi isu kontroversial. Sebagian sejarawan mengatakan kelompok ini sudah berasal dari ratusan tahun lalu dan lainnya mengatakan mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir. Pemerintah Myanmar berkeras bahwa mereka adalah pendatang baru dari subkontinen India, sehingga konstitusi negara itu tidak memasukkan mereka dalam kelompok masyarakat adat yang berhak mendapat kewarganegaraan. Mereka tinggal di salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dan gerakan dan akses mereka terhadap pekerjaan sangat dibatasi. Secara historis, mayoritas penduduk Rakhine membenci kehadiran Rohingya yang mereka pandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain dan ada kebencian meluas terhadap Rohingya di Myanmar. [13]Selasa, 12 September 2017
Bentrok Negara Bagian Rakhine Utara 2016–17 | |||
---|---|---|---|
Tanggal | 9 October 2016 – sekarang (8 tahun, 4 minggu dan 2 hari) | ||
Lokasi | Utara Negara Bagian Rakhine, Perbatasan Myanmar-Bangladesh | ||
Status | Sedang berlangsung | ||
Pihak terlibat | |||
Jumlah korban | |||
| |||
520 kombatan tewas secara keseluruhan[1][2] 1,000+ warga sipil tewas[5][6] |
Serangkaian bentrok di negara bagian Rakhine, Myanmar antara para pemberontak Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (bahasa Inggris: Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) dan pasukan keamanan Myanmar dimulai pada Oktober 2016 dan berlanjut sampai sekarang Minoritas Muslim Rohingya di kawasan tersebut sepanjang masa mengalami penindasan dari mayoritas Buddhis di negara tersebut. Kekerasan terkini dipicu oleh sebuah pertikaian antara keamanan perbatasan Myanmar dan para pemberontak ARSA pada 9 Oktober 2016. Pertikaian antara para pemberontak dan militer berlanjut sampai tahun 2017. 520 kombatan dan lebih dari 1000 warga sipil diperkirakan tewas dalam kekerasan tersebut pada pertengahan 2017.[1][2][5] Antara 75,000[8] dan 90,000[12] pengungsi lari dari negara tersebut, sementara 23,000 orang lainnya masih menjadi orang terusir secara internal.[7] Tak terkecuali, orang non-Rohingya juga tersingkir akibat konflik. [14] PBB memperkirakan sekitar 140.000 warga Rohingya sudah mengungsi ke Bangladesh sejak aksi kekerasan terbaru ini, 2017.[15]Selasa, 12 September 2017. Sumberlain menyebut: Menurut PBB sejak 25 Agustus, lebih dari 370 ribu etnis Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh. Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi keamanan baru di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak. Mereka juga menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Menurut Bangladesh, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dalam tindakan kekerasan tersebut. Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012 lalu. [16]Kamis, 14 September 2017
Aparat Bangladesh menemukan 20 jenazah dari komunitas Rohingya yang tenggelam saat berupaya kabur dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar. Dari 20 jenazah tersebut, sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak. Ke-20 jasad itu adalah korban terkini yang muncul dalam upaya pelarian komunitas Rohingya sejak 25 Agustus lalu hingga kini. Secara keseluruhan, lebih dari 100 orang yang meninggal dalam periode tersebut. Aparat Bangladesh mengatakan banyak orang melakukan segala cara untuk kabur dari Myanmar, termasuk dengan kapal. Pejabat PBB di Bangladesh memperkirakan sebanyak 27.400 orang telah melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh per Kamis (31/08). Jumlah itu meningkat signifikan dari 18.000 orang sehari sebelumnya.[17]Selasa, 12 September 2017
Di dunia ini, hampir tidak ada negara yang tidak pernah mengalami pemberontakan ataupun bentrokan kecil atau "bentrokan kecil" karena sebab tertentu. Saya membagi penyebab utama terjadinya pemberontakan menjadi empat faktor. Pertama, Ketertindasan fisik. Kedua, Ketimpangan sosial ekonomi, Ketiga, Ideologi. Keempat, Klaim wilayah. Contoh dari faktor penyebab yang pertama adalah pemberontakan terhadap penerapan pemerintahan apartheid di Afrika selatan hingga sekitar tahun 1990 dan sekarang peristiwa pemberontakan di negara bagian Rakhine Myanmar. Contoh dari faktor penyebab yang kedua adalah, contoh dari faktor penyebab yang kedua seringkali terkait dengan ketertindasan. Ada juga yang murni masalah ketimpangan sosial, misalnya munculnya kelompok bersenjata di Papua. Contoh dari faktor penyebab yang ketiga adalah, peristiwa PKI Madiun dan G30S_PKI, serta DII/TII SM Kartosoewirjo dan Kahar Muzakar di Sulawesi. Contoh dari faktor penyebab yang keempat adalah, Pemberontakan Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Memang ada spesifikasi khusus untuk Timor-Timur dibandingkan wilayah Papua maupun Aceh. Wilayah Timor-Timur sebelum dikuasai Indonesia, adalah sebagai wilayah "tak bertuan" serta bukan bekas wilayah Hindia Belanda.
Setelah serangan Oktober 2016, laporan menyebut beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil dalam pertikaian mereka terhadap para terduga pemberontak Rohingya.[18]
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Februari 2017, mengatakan, pasukan keamanan Myanmar melakukan pembunuhan massal, penculikan, dan pemerkosaan terhadap warga Rohingya selama operasi militer berjalan. Human Right Watch bahkan mengkategorikannya kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, militer Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan militer terlibat dalam gerakan sah melawan pemberontakan. [19]Selasa, 12 September 2017
Tetapi, Apa yang dilihat di mata internasional sebagai isu HAM dipandang di Myanmar sebagai suatu kedaulatan nasional, dan muncul dukungan luas untuk operasi militer di utara Rakhine. Koran-koran membawa kepentingan pemerintah, yaitu membawa sikap bahwa Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan atau Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang lebih dari 20 pos pasukan keamanan Myanmar pada 25 Agustus 2017. Sebagai respons, pasukan yang juga dikenal sebagai Tatmadaw, meluncurkan operasi militer di Maungdaw, wilayah yang tercabik oleh konflik di Rakhine. [20]Selasa, 12 September 2017
Kebanyakan orang Myanmar memandang peliputan media internasional berpihak, terlalu condong ke Rohingya, dan tidak cukup meliput penderitaan orang non-Rohingya di Rakhine yang melarikan diri dari kekerasan di desa mereka. Akses media di daerah yang terdampak di Rakhine sangat terbatas, jurnalis asing tak bisa datang ke sana dengan bebas dan karenanya tak bisa memverifikasi kisah-kisah mereka. [21] Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun, menyampaikan pernyataan sebagai berikut: "Saya amat kecewa dan sedih dengan kampanye informasi yang berlangsung di seluruh dunia mengenai situasi di Rakhine. Sejumlah berita yang dibuat-buat itu ditulis dan diterbitkan untuk menyesatkan khalayak umum". [22]
Media pemerintah Myanmar, Kamis (22/6/2017), melaporkan, petugas menyita banyak senjata, amunisi, dan mesiu di kamp-kamp militan yang terletak di Pegunungan Mayu, sebuah daerah terpencil di perbatasan barat laut, yang menjadi pusat minoritas Muslim Rohingya. Lebih dari 70.000 warga Rohingya telah melarikan dari ke daerah di dekat perbatasan Banglades sejak Oktober 2016, dan bahkan ada yang telah menyeberang ke wilayah negara tetangga itu, demikian kantor berita Perancis, AFP. Mereka mengungsi ketika pasukan keamanan Myanmar meluncurkan operasi besar untuk merespons serangan militan yang menewaskan sembilan polisi di sebuah pos perbatasan. [23]Selasa, 12 September 2017
Krisis Rohingya menjadi perhatian sejumlah media dunia. Salah satu situs berita utama di Inggris, The Guardian, pada edisi tengah hari, Kamis 07/09) waktu setempat, misalnya, menurunkan laporan ekskulif berjudul 'Pembunuhan masal di Tula Toli: penduduk Rohingya mengenang horor serangan militer Myanmar'. Ditulis oleh wartawan Oliver Holmes dari kamp pengungsi Cox's Bazar di Bangladesh, antara lain mengutip Zahir Ahmed yang mengatakan kalangan remaja dan dewasa ditembak dengan senapan, sementara bayi dan anak kecil -termasuk adik bungsu perempuanya- dilempar ke dalam air. Holmes melaporkan dari wawancara dengan belasan warga Rohingya dari Tula Toli, didapat gambaran tentang 'pembantaian besar-besaran' ketika tentara Myanmar mendatangi kampung itu pada tanggal 30 Agustus 2017. The Guardian -yang beraliran politik kiri- juga masih menempatkan di situsnya ulasan pengamat sosial politik Inggris, George Monbiot, yang berpendapat Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi seharusnya dicabut karena dia tidak lagi layak mendapatkannya. "Dia pernah menjadi inspirasi. Kini, berdiam dalam nasib pengungsi Rohingya di Myanmar, dia terlibat dalam kejahatan atas kemanusiaan," tulis Monbiot.[24]Selasa, 12 September 2017
BBC Indonesia Edisi 6 September, memuat berita Aung San Suu Kyi tuduh adanya kampanye berita palsu soal Rohingya. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menyebut foto-foto palsu tentang krisis Rohingya merupakan "puncak gunung es misinformasi yang dibuat untuk menciptakan banyak masalah antara komunitas berbeda dan untuk tujuan mengedepankan kepentingan teroris". Meski demikian, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut eksodus besar-besaran komunitas Rohingya dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke Bangladesh. Lebih lanjut, Suu Kyi mengklaim pihaknya melindungi semua pihak di negara bagian Rakhine. Dalam pernyataan resminya sejak krisis pengungsi Rohingya merebak pada 25 Agustus, Suu Kyi berkata: "Kami sangat paham, lebih dari sebagian besar orang, apa maknanya kekurangan perlindungan hak asasi dan demokrasi". "Karena itu kami memastikan bahwa semua orang di negara kami mendapat perlindungan hak mereka, dan juga hak serta perlindungan politik, sosial, dan kemanusiaan," papar Suu Kyi. Saat berbincang dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, Suu Kyi juga mengklaim pemerintah Myanmar telah "memulai melindungi semua orang di Rakhine sebaik mungkin." Aung San Suu Kyi sebelumnya dikritik oleh pelapor khusus PBB untuk hak asasi di Myanmar karena dianggap tidak melindungi minoritas Muslim Rohingya. [25]Selasa, 12 September 2017
Aung San Suu Kyi juga dikecam lima peraih Nobel Perdamaian. Lima perempuan peraih Nobel Perdamaian mendesak pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, 'tak berdiam diri' melihat 'pembersihan eknik' yang terjadi pada komunitas Muslim Rohingya di negara tersebut. Kelima peraih Nobel Perdamaian yang mendesak Suu Kyi untuk angkat bicara dan membela hak-hak warga Rohingya adalah Mairead Maguire (perain Nobel Perdamaian 1976 dari Irlandia Utara), Joy Williams (1997, Amerika Serikat), Shirin Ebadi (2003, Iran), Leymah Gbowee (2011, Liberia) dan Tawakkol Karman (2011, Yaman). "Kami sangat terpukul, sedih dan khawatir menyaksikan sikap diam Anda atas kekejaman terhadap minoritas Rohingya ... mereka dieksekusi, dihilangkan secara paksa, ditahan, diperkosa dan mengalami serangan seksual lainnya. Desa-desa mereka dibakar, warga sipil diserang yang membuat PBB menyatakannya sebagai pembersihan etnik," kata lima peraih Nobel Perdamaian melalui surat terbuka kepada Aung San Suu Kyi. Mereka menambahkan bahwa apa yang menimpa minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine adalah 'serangan terhadap kemanusiaan'. [26]Selasa, 12 September 2017
Atas peristiwa di negara bagian Rakhine ini, Tekanan terhadap Myanmar untuk mengakhiri aksi kekerasan yang menyebabkan lebih dari 300.000 muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh memuncak setelah PBB meminta agar rakyat sipil dilindungi. Pada saat yang sama, Bangladesh juga meminta bantuan internasional untuk menangani krisis kemanusiaan akibat kebanjiran pengungsi. Pemerintah Myanmar yang penduduknya beragama Budha menyatakan, bahwa militer berhadapan dengan para teroris yang melakukan serangan. Militer Myanmar berdalih melakukan serangan balik pada 25 Agustus untuk melindungi rakyat sipil, meski banyak kalangan menilai tindakan itu sangat berlebihan. Seorang pejabat tinggi HAM PBB menyatakan, bahwa Myanmar telah melakukan pembersihan etnis melalui serangan militer yang dahsyat atas kelompok muslim Rohingya. PBB menyatakan pengusiran etnis Rohingya menunjukkan pemerintah dan militer Myanmar tidak melindungi warga sipil. Sementara itu, Amerika Serikat terus mendukung transisi pemerintahan Myanmar yang didominasi oleh militer ke pemerintahan sipil. Dalam beberapa dekade terakhir militer mendominasi pemerintahan meski akhirnya pemerintahan dikuasai oleh Partai NLD pimpinan peraih hadiah Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi. “Kami meminta militer Myanmar menghormati hukum, menghentikan tindak kekerasan dan menyetop tindakan pengusiran terhadap semua etnis yang bermukim di negara itu,” menurut pernyataan dari Gedung Putih sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (12/9/2017). Pemerintah Myanmar menganggap sekitar satu juta etnis Rohingya sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh. Akibatnya, pemerintah negara itu tidak mengeluarkan status kewarganegaraan mereka. Padahal, etnis Rohingya telah mendiami wilayah itu sejak beberapa generasi.[27]
Terusir dari tanah tempat tinggalnya selama ini, warga Rohingnya membuat dunia prihatin. Upaya besar Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) untuk mengirim bantuan darurat buat pengungsi Muslim Rohingya di Baghladesh dilakukan pada Selasa (12/9), dengan pesawat pertama mendarat di Ibu Kota Bangladesh, Dhaka.[28]
Rasa simpati juga datang dari Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyerukan kepada Myanmar untuk memulangkan kembali ratusan ribu pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Negara Bagian Rakhine. Ketika berbicara dalam kunjungan ke kamp pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, Sheikh Hasina meminta Myanmar memandang situasi ini penuh dengan rasa kemanusiaan dengan mengatakan orang-orang tak bersalah mengalami penderitaan. "Pesan pribadi saya sangat jelas bahwa mereka seharusnya mempertimbangkan situasi ini dari kacamata kemanusiaan," ujar Hasina sebagaimana dikutip BBC.com, Rabu (13/9/2017)[29] Rasa simpati bagi etnis Rohingya juga datang dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.[30] dan Pemerintah Indonesia.[31]
Referensi
- ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaReuters1
- ^ a b c "Nearly 400 die as Myanmar army steps up crackdown on Rohingya militants". Reuters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1 September 2017.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaReuters3
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaStar1
- ^ a b "Burmese government 'kills more than 1,000 Rohingya Muslims' in crackdown". The Independent. 8 February 2017. Diakses tanggal 27 June 2017.
- ^ "Village Official Stabbed to Death in Myanmar's Restive Rakhine State". Radio Free Asia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 June 2017.
- ^ a b "Myanmar: Humanitarian Bulletin, Issue 4". ReliefWeb (dalam bahasa English). 30 January 2017. Diakses tanggal 30 January 2017.
- ^ a b "U.N. rights expert urges Myanmar to protect detained Rohingya children". Reuters. 15 June 2017. Diakses tanggal 16 June 2017.
- ^ "UN appoints team to probe crackdown against Rohingyas". www.aljazeera.com. Diakses tanggal 13 August 2017.
- ^ "Burma's Aung San Suu Kyi rejects UN Rohingya investigation". The Telegraph. Diakses tanggal 13 August 2017.
- ^ "Burmese government accused of trying to 'expel' all Rohingya Muslims". The Independent. 14 March 2017. Diakses tanggal 13 August 2017.
- ^ a b "Will Myanmar heed advocacy for Rohingya rights?". www.aljazeera.com. Diakses tanggal 25 August 2017.
- ^ [1]
- ^ [2]
- ^ [3]
- ^ [4]
- ^ [5]
- ^ James Griffiths (25 November 2016). "Is The Lady listening? Aung San Suu Kyi accused of ignoring Myanmar's Muslims". CNN. Cable News Network.
- ^ [6]
- ^ [7]
- ^ [8]
- ^ [9]
- ^ http://internasional.kompas.com/read/2017/06/22/12071301/myanmar.bunuh.tiga.terduga.militan.rohingya.di.rakhine]
- ^ [10]
- ^ [11]
- ^ [12]
- ^ [ http://kabar24.bisnis.com/read/20170912/19/689140/pbb-perintahkan-myanmar-lindungi-warga-sipil]
- ^ [ http://kabar24.bisnis.com/read/20170913/19/689460/nasib-warga-rohingnya-unhcr-kirim-bantuan-untuk-pengungsi-di-bangladesh ]
- ^ [ http://kabar24.bisnis.com/read/20170913/19/689449/bangladesh-minta-myanmar-bawa-pulang-pengungsi-rohingnya]
- ^ [13]
- ^ [14]