Konstitusi Jepang atau Undang-Undang Dasar Negara Jepang ([Shinjitai: 日本国憲法 Kyūjitai: 日本國憲法] Error: {{nihongo}}: text has italic markup (help), Nihon-Koku Kenpō) adalah dokumen legal pendirian negara Jepang sejak tahun 1947. Konstitusi ini menetapkan pemerintahan berdasarkan sistem parlementer dan menjamin kepastian akan hak-hak dasar warga negara. Berdasarkan ketetapannya, Kaisar Jepang berperan sebagai "simbol Negara dan persatuan rakyat" dan menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan yang sesungguhnya. Dengan demikian, berbeda dengan raja atau ratu lainnya, Kaisar Jepang secara formal bukanlah kepala negara[1] meskipun ia ditampilkan dan diperlakukan sebaimana layaknya seorang kepala negara. Konstitusi ini, yang disebut juga "Konstitusi Damai (平和憲法, Heiwa-Kenpō)," memiliki karakteristik utama dan terkenal karena tidak memberikan hak untuk memulai perang; yang terdapat pada Pasal 9, dan dalam penjelasan yang lebih ringkas pada ketetapan de jure kedaulatan rakyat yang berhubungan dengan peranan kekaisaran.

Konstitusi ini ditulis ketika Jepang berada di bawah pendudukan Sekutu seusai Perang Dunia II dan direncanakan untuk menggantikan sistem monarki absolut yang militeristik dengan suatu bentuk demokrasi liberal. Saat ini, dokumen konstitusi ini bersifat kaku dan belum ada amendemen yang ditambahkan sejak penetapannya.

Struktur

Konstitusi ini terdiri dari sekitar 5.000 kata. Ia mempunyai sebuah pembukaan serta 103 pasal-pasal, yang dikelompokkan ke dalam sebelas bab. Pembagian bab-bab tersebut ialah sebagai berikut:

  • I. Kaisar (1-8)
  • II. Penolakan Perang (9)
  • III. Hak dan Tugas Rakyat (10-40)
  • IV. Diet (41-64)
  • V. Kabinet (65-75)
  • VI. Peradilan (76-82)
  • VII. Keuangan (83-91)
  • VIII. Pemerintah Mandiri Daerah (92-95)
  • IX. Amendemen (96)
  • X. Hukum Tertinggi (97-99)
  • XI. Ketentuan Tambahan (100-103)

Referensi

  1. ^ Constitution of Japan“...do proclaim that sovereign power resides with the people...” (Preamble); “The Emperor shall be the symbol of the State and of the unity of the people, deriving his position from the will of the people with whom resides sovereign power” (Article One)

Lihat pula

Pranala luar