Liyan (filsafat)
Filsafat |
---|
Cabang |
Tradisi |
Zaman |
Kepustakaan |
Filsuf |
Daftar |
Portal Filsafat |
Sejarah
Filsafat
Dalam sejarah peradaban manusia, perempuan berada dalam pengalaman eksistensial subjek sekaligus objek dalam masyarakat; di mana perempuan dalam kesehariannya dipuja dan ditindas. Menurut Simone De Beauvior liyan adalah jenis kelamin kedia. Perempuan adalah Liyan[a] . Perempuan disebut demikian karena jenis kelamin. The second sex bukan kategori psikologis, juga bukan kategori sosiologis, bukan pula antropologis, tetapi masuk kategori ontologis keseharian dan transendental. Liyanadalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai keluhuran manusia. Menurut Simone De Beauvior perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat demikian”, perempuan telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir melainkan “dicetak”, artinya perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah.[1] Bagi Simone De Beauvior menjadi manusia bebas adalah menjadi subjek. Beauvoir menempatkan perempuan sebagai liyan, menurutnya hal ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan melalui penciptaan mitos tentang perempuan yang irasional, kompleks dan sulit dimengerti, dan perempuan tercipta untuk menjadi pelengkap laki-laki.[2] Beauvoir menyatakan bahwa peran sosial sejalan dengan mekanisme utama yang digunakan oleh diri, subjek, untuk menguasai liyan; objek. Menurut Beauvoir perempuan menerima ke-liyan-an mereka sebagai misteri feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi perempuan. Perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah insidental semata, tidak esensial. Laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah orang lain atau liyan.[3] Gagasan liyan Simone De Beauvior ini sebenarnya pararel dengan gagasan Sartre yang memberikan penjelasan mengenai sikap orang terhadap liyan, yakni ketidakpedulian, kebencian, dan bertindak sadis. Beauvior mendeskripsikan sikap kepada perempuan sebagai liyan dengan bentuk penindasan, pengucilan, pengasingan, dan tindakan kekerasan kepada perempuan.[4] Dengan mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, Beauvoir mengemukakan bahwa laki laki dinamai “laki laki” sang diri, sedangkan “perempuan” sang liyan. Jika liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki laki. Karena itu, jika laki laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Jelas, opresi gender bukanlah sekadar bentuk opresi. Jauh dari itu. Orang kulit hitam mengetahui bagaimana rasanya diopresi oleh orang kulit putih, dan orang miskin tahu bagaimana rasanya diopresi oleh orang kaya. Tetapi, menurut Dorothy Kauffman McCall, opresi perempuan oleh laki laki unik karena dua alasan: “Pertama, tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis dan saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulangkali dipertanyakan dan diputarbalikkan. Perempuan selalu tersubordinasi laki laki. Kedua, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki laki adalah esensial dan perempuan tidak esensial.[5]
Psikologi
Beauvoir membuat kritik tajam terhadap konsep psikologi Freud mengenai penis envy. Menurut Beuvoir, pandangan Freud tentang penis envy pada dasarnya menceritakan hal yang sama tentang perempuan, bahwa perempuan adalah makluk yang harus mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan kecenderungan feminimnya, yang pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua melalui erotisme vaginal. Untuk menjadi normal perempuan harus mengatasi kecenderungan nafsu seksualnya dan memindahkan hasratnya dari perempuan ke laki laki. Lebih rincinya, Beauvoir melihat penjelasan Freud atas keliyanan perempuan adalah tidak lengkap. Ia menyalahkan para pemikir Freudian karena mengajarkan bahwa status sosial perempuan yang rendah dibandingkan dengan laki laki adalah semata mata karena perempuan tidak memiliki penis. Beauvoir menolak pendapat yang mengatakan adalah anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Perempuan “mencemburui” mereka yang memiliki penis, bukan karena mereka ingin penis itu sebagai penis, tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Status sosial laki laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki laki; tetapi, prestis penis harus dijelaskan melalui kekuasaan sang ayah. Perempuan adalah liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.[6] Beauvoir pun menganggap penjelasan mengenai Marxis mengenai alasan mengapa perempuan adalah Liyan hampir sama tidak memuaskannya seperti penjelasan Freud. Engels beragumentasi bahwa sejak awal perempuan melakukan pekerjaan yang tampak sebagai jenis pekerjaan ada dalam dirinya sendiri, seperti memasak, membersihkan, dan mengasuh anak, sementara laki-laki melakukan pekerjaan yang tampak sebagai bagian dari kategori ada untuk dirinya sendiri, seperti berburu dan berkelahi, yang sebagian besar dari pekerjaan itu membutuhkan alat untuk menaklukan dunia. Sebagai akibat dari pembagian kerja yang spesifik seperti itu, laki-laki menguasai alat produksi; lak-laki menjadi “borjuis”, perempuan menjadi “proletar”.Templat:Nurvita Dengan demikian jelaslah pandangan Beauvoir tentang penis envy yang sesungguhnya hanyalah sebuah konsep dengan ranah psikologis yang sebetulnya makin memperlemah eksistensi perempuan. Bahkan dikatakan bahwa perempuan menjadi semakin lemah karena ia tidak memiliki penis.
Jenis kelamin dan gender
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentuTemplat:Fakih. Misalnya, manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan manusia jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki rahim, mempunyai payudara, mempunyai vagina, mempunyai indung telur. Alat alat tersebut secara biologis melekat pada manusia laki laki dan perempuan secara permanent dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan kodrat.[7] Sedangkan, gender adalah suatu bentuk kebudayaan dari ciri-ciri kelompok yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan tingkah laku yang diberikan pada perempuan atau laki laki.[8] Kaum perempuan melakukan seperangkat peran perempuan dan anak laki laki pun menyadari peran laki laki yang mesti dilakukan batasan batasan.[9] Anak anak mulai merasakan batasan batasan sebagai perempuan dan laki laki, dengan sanksi dari orangtua dan lingkungannya jika keluar dari peran tersebut. Perlakuan ini terus berlanjut hingga dewasa, turun temurun, terstruktur dan rapi.[10] Dari uraian tersebut jelas dikemukakan bahwa sesungguhnya gender merupakan suatu konstruksi sosial yang dibangun dari usia dini. Sebagai contoh, saat anak laki laki menangis, maka orangtuanya akan berkata “laki laki gak boleh cengeng, gitu aja nangis” ataupun anak permpuan yang menangis, dan orangtuanya berkata “aduh kamu jangan nangis, kenapa kamu nangis?”. Dari hal seperti itu sudah menunjukkan bagaimana seseorang dibentuk menjadi laki laki dan perempuan sedari kecil. Mereka diarahkan bahwa laki laki tidak boleh menangis dan perempuan harus selalu diberi perhatian yang lebih lembut, dan mendalam daripada laki laki. Maka sebenarnya: perbedaan perbedaan gender bisa diubah lantaran yang menjadi akarnya adalah faktor faktor sosial dan sejarah. Kedua faktor itu membentuk dan menentukan perbedaan perbedaan gender yang diberlakukan di suatu masyarakat pada waktu tertentu. Sudut pandang (perspektif) gender dan kesadaran gender dilandasi oleh prinsip kesetaraan gender sebagai tujuan yang hendak dicapai.[11]
Catatan
- ^ Sang liyan merupakan istilah untuk menyatakan yang lain, eksternal dan di luar diri, makluk asing.
Catatan kaki
- ^ Riyanto 2011, hlm. 55.
- ^ Tong, hlm. 265-266.
- ^ Beauvior 2004, hlm. 568.
- ^ Riyanto 2011, hlm. 104.
- ^ Tong 2010, hlm. 262.
- ^ 2004, hlm. 264–265.
- ^ Tri Marheni, hlm. 3.
- ^ Humm 1955, hlm. 106-107.
- ^ Tong 1997, hlm. 299-300.
- ^ Sumiarni, hlm. 1-4.
- ^ Sumiarni 2004, hlm. 5.
Daftar pustaka
- Humm, Maggie. (1955). The Dictionary of Feminist Theory. Ohio, Columbus: Ohio State University Press.
- Sumiarni, Dr. Endang (2004). Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
- Sumiarni, Dr. Endang (2004). Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
- Tong, Rosemarie Putnam. (2010). Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
- Tri Marheni, Pudji Astuti. (2008). Konstruksi Gender. Semarang: UNNES Press.
- Riyanto, Armada. (2011). Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap. Malang: Widya Sasana Publication.
- Beauvior, De Simone. (2004). The Second sex dalam buku A Passion for wisdom. New Jersey: Upper Saddle River.
- Beauvior, De Simone. (2004). The Second sex dalam buku A Passion for wisdom. New Jersey: Upper Saddle River.
Pranala luar
Sumber pustaka mengenai Liyan (filsafat) |
- Kutipan tentang Liyan di Wikikutip
- Media tentang Liyan di Wikimedia Commons
- Karya yang berkaitan dengan Liyan di Wikisource