Pichangatti

 
Pisau belati (pichangatti) dengan sarungnya dari abad ke-19.

Pichangatti adalah pisau bermata lebar yang ditemukan di bangsa Kodava di Karnataka, India. Karakteristik pichangatti adalah gagang peraknya dengan pommel berbentuk bola berbentuk kepala burung nuri.[1] Pichangatti merupakan bagian dari pakaian tradisional pria orang Kodava.

Asal-usul

 
Orang kodava dengan pichangatti yang diselipkan didepan sabuk.

Nama pichangatti adalah bahasa Tamil untuk "pisau tangan". Pichangatti adalah pisau tradisional bangsa Kodava. Ayudha katti adalah pedang tradisional bangsa Kodava. Orang-orang Kodava (Kodava, Kannada) tinggal di wilayah Kodagu, di India barat daya yang sekarang terletak di Karnataka. Bangsa Kodava sudah tinggal di wilayah tersebut selama lebih dari dua ribu tahun. Perkembangan senjata ayudha katti dimulai disekitar abad ke-17. Ayudha katti pertama kali dikembangkan sebagai alat untuk memotong semak belukar.[2] Bentuk ayudha katti mirip dengan senjata yatagan di Turki dan sosun pattah di India Utara.[2]

Selama masa kolonial, Inggris menyebut wilayah tersebut Coorg, korupsi dari "Kodagu". Kata kodagu berarti "berbukit" atau "curam", nama yang mengacu pada kondisi geografis wilayah tersebut.[3]

Kodavas dikenal sebagai pejuang yang tidak kenal takut. Untuk melindungi kemerdekaan wilayah mereka, Kodavas melakukan beberapa peperangan dengan tetangga mereka, termasuk dengan Inggris pada tahun 1834. Sebagai tanggapan atas sebuah kerusuhan yang terjadi di dekat Malappuram pada tahun 1884, Inggris menghukum wilayah Kodagu dengan menyita sebagian besar senjata mereka, termasuk ayudha katti. Tercatat 17.295 senjata, 7503 senjata diantaranya adalah senapan, disita oleh pemerintah kolonial. Sebagian besar senjata ini dibuang ke laut, sementara beberapa senjata yang berkualitas tinggi masih bisa dilihat di Madras Museum.[3]

Bentuk

Pichangatti memiliki bentuk yang lebar, berat, dan bermata tunggal. Panjang pichangatti sekitar 7 inch[convert: unit tak dikenal], dengan gagang yang polos dan berakhir dengan pangkal yang bulat. sarung pichangatti dihiasi dengan lempengan kuningan, perak, atau emas. Sebuah rantai melekat pada sarung tersebut, rantai ini membawa bermacam perangkat seperti pinset, pembersih kuku, pembersih telinga, dan sebagainya. Pisau pichangarri selalu dibawa di sisi depan sabuk yang mengusung ayudha katti. Ciri khas pichangatti lain adalah pangkal gagangnya yang dibentuk seperti kepala burung nuri. Sering kali mata burung nuri tersebut dihiasi dengan rubi yang tidak dipotong. Gagang pichangatti bertatahkan perak. Terkadang gagang pichangatti terbuat dari gading.[4]

Sarung pichangatti terbuat dari kayu (atau gading) dan dihiasi dengan logam mulia seperti perak atau kuningan. Sebuah rantai yang terbuat dari perak atau kuningan menghubungkan sarung pichangatti dengan berbagai implement yang digunakan sebagai: tusuk gigi, pinset, pembersih telinga, penusuk, dan artikel untuk membersihkan kuku. Pichangatti hampir sama seperti pisau kantong zaman modern.[5]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Gahir & Spencer 2006, hlm. 193.
  2. ^ a b Gahir & Spencer 2006, hlm. 129.
  3. ^ a b Atkinson 2016.
  4. ^ Egerton 2002, hlm. 82.
  5. ^ Stone 2013, hlm. 497.

Bibliografi

Toradar

 
Toradar ini mungkin digunakan untuk berburu. Dekorasi di gagang matchlock ini menunjukkan figur-figur hewan di hutan seperti kerbau, macan tutul, dan sebagainya.

Toradar adalah sebuah matchlock yang diciptakan di India pada abad ke-16. Toradar adalah senjata api yang dipilih oleh India, bahkan hingga abad ke-19, dikarenakan desainnya yang mudah dibuat.

Sejarah

Ketika bangsa Portugis tiba di India pada tahun 1498, mereka membawa dengan mereka senjata api, di antaranya adalah senapan matchlock. Pada saat itu, sudah banyak ahli pembuat senjata di India, dan langsung dimulai dari kedatangan bangsa Portugus ini, pengrajin-pengrajin lokal mulai meniru bentuk matchlock portugis dan mengadopsinya untuk penggunaan lokal. Sebagian besar pengrajin ini mulai menerapkan langgam hiasan yang biasa diaplikasikan pada senjata tradisional India. Dalam kurun waktu yang cepat, sebuah gaya lokal yang khas berevolusi pada matchlock Portugis sampai akhirnya sebuah senjata bernama toradar diproduksi di India.[1]

Toradar tetap menjadi pilihan senjata api yang disukai orang India bahkan hingga sekitar tahun 1830. Alasan mengapa matchlock toradar tetap lebih populer di India dibandingkan dengan senjata-senjata api lebih modern seperti wheellock dan flintlock adalah karena lebih mudahnya produksi toradar dan juga lebih murahnya bahan baku yang digunakan untuk produksi toradar.[2]

Deskripsi

bagian yang sangat tipis, dari 3 kaki (91 cm) sampai 6 kaki (180 cm) panjang, lurus dengan bagian berbentuk pentagonal, dan laras ringan; Jenis lainnya selalu antara 5 kaki (150 cm) sampai 6 kaki (180 cm) panjang, memiliki stok melengkung dengan bagian berbentuk berlian dan laras yang sangat berat, banyak membesar di sungsang. Keduanya memiliki tipe kunci khas India, yang ditutup dengan penutup pan yang biasanya ayunan pada pin. Pelat samping besi yang memperkuat setiap sisi stok meluas sampai jarak tertentu di setiap sisi kuncinya. [3]

Sebuah toradar pada dasarnya adalah sebuah matchlock India. Toradar kebanyakan ditemukan di India Utara dan India Tengah yang lebih banyak dipengaruhi oleh Kesultanan Mughal. Ada dua tipe toradar di India: jenis pertama memiliki bentuk yang sangat tipis dan memiliki panjang dari 3 kaki (91 cm) sampai 6 kaki (180 cm). Toradar jenis ini memiliki gagang yang potongannya berbentuk seperti segi lima, dan memilikilaras yang ringan. Jenis kedua memiliki panjang antara 5 kaki (150 cm) hingga 6 kaki (180 cm), memiliki gagang yang sedikit melengkung dan potongannya berbentuk seperti intan, dan memiliki laras yang sangat berat, dan membesar di ujungnya. Kedua tipe toradar tersebut memiliki tipe kunci dengan bentuk khas India, yang ditutup dengan pan penutup yang biasanya berayun pada pinnya. Plat besi disamping badan toradar ini memperkuat setiap sisi gagang toradar, dan plat besi ini meluas sampai jarak tertentu di setiap sisi kuncinya.[3]

Laras toradar biasanya diikatkan pada gagang toradar dengan menggunakan gelang kawat atau tali yang terbuat dari kulit, yang sering kali melewati sadel perak di atas laras. Tempat mengamati target di sisi belakang toradar pada tipe pertama memiliki bentuk seperti huruf V, sementara itu pada tipe kedua, tempat mengamati target di sisi belakang toradar memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tipe pertama. Kedua tipe toradar ini memiliki moncong senapan yang diikat dengan cincin cetakan. Tempat mengamati target di sisi depan toradar ini dibuat tinggi sekali. Tempat mengamati target sisi depan ini sering kali dibentuk menjadi bentuk-bentuk figuratif, misalnya hidung manusia atau kepala harimau.[4] Beberapa toradar memiliki laras berbentuk persegi, bahkan dengan lubang senapan berbentuk persegi. Kedua jenis umumnya memiliki clevis untuk tali pengikat dan beberapa memiliki dua tali pengikat.[3]

Dibandingkan dengan matchlock Eropa, pegangan toradar India memiliki bentuk yang jauh lebih sederhana, tidak seperti matchlock Eropa yang memiliki gagang berbentuk seperti ekor ikan. Pegangan ini juga terlalu kecil untuk bisa ditempatkan di bahu. Toradar India biasanya dipegang dibawah lengan.[3]

Sebuah toradar yang digunakan untuk senapan olahraga memiliki lukisan tokoh berburu, misalnya burung, binatang lain, dan lanskap.[3]

Dekorasi artistik

 
A Rajasthani Toradar with paintings of flowers.

Dekorasi toradar mencerminkan budaya lokal tempat torador dibuat. Untuk matchlock toradar, perajin menghasilkan beberapa seni hiasan yang sangat rumit dari tulang gading atau tatahan logam mulia pada laras dan pada gagang senapan. Sebuah lukisan Kaisar Mughal abad ke-17 Shah Jahan menggambarkan dirinya memegang sebuah toradar dengan hiasan bunga."Matchlock Gun". The Metropolitan Museum of Art. The Metropolitan Museum of Art. 2017. Diakses tanggal November 15, 2017.  Sebuah toradar dari Mysore abad ke-18, di negara bagian Karnataka di India selatan dihiasi dengan bunga dan dedaunan yang ditorehkan pada seluruh permukaan toradar. Dekorasi ini sepenuhnya disepuh dengan emas. Plat sisi samping yang dipahat dengan ukiran-ukiran komples ini terbuat dari besi. Figur-figur binatang terus dimunculkan didalam torador; sementara itu pemegang gagang toradar memiliki bentuk seperti ular naga. Figur kepala harimau juga dimunculkan di pemicu toradar tersebut. Toradar lain dari Narwar abad ke-19 memiliki kepala harimau di ujung larasnya.[5]

Referensi

  1. ^ Gahir & Spencer, hlm. 156.
  2. ^ Gahir & Spencer, hlm. 260.
  3. ^ a b c d Stone 2013, hlm. 623-4.
  4. ^ Blair 1979.
  5. ^ Gahir & Spencer, hlm. 157.

Bibliografi

Piha kaetta

 
The Sinhalese piha kaetta, a royal silver dagger.

Piha kaetta is knife native to the island of Sri Lanka. Piha kaetta has a straight-backed blade and a curved cutting edge. They are associated with the royalty. Many piha kaetta knifes were produced in royal workshops, inlaid with silver filigree band or ivory sheath.

'Piha kaetta' adalah pisau asli pulau Sri Lanka. Piha kaetta memiliki straight-backed blade dan cutting edge melengkung. Mereka terkait dengan royalti. Banyak piha kaetta knifes diproduksi di bengkel kerajaan, bertatahkan pita filigri perak atau selubung gading.

Daggers in South Asia

Selama masa keemasan Kekaisaran Mughal di India antara abad 16 sampai awal abad ke 18, belati diproduksi secara meluas. Belati ini terkenal dengan logam berkualitas tinggi, hiasan halus dan bentuk elegan yang khas. Bentuk anggun elegan yang ditemukan pada banyak belati, pisau, dan pisau selama periode tersebut menunjukkan pengaruh dari dunia Islam. Belati belati ini sering bersifat royal dan dipakai oleh para pangeran dan bangsawan untuk membela diri, untuk berburu, atau untuk dipamerkan. Dalam pertempuran, mereka adalah senjata penting di dekat jarak, mampu menusuk baju besi surat pejuang India. [1]

During the golden age of the Mughal Empire in India between the 16th to the early 18th-century, daggers were produced in widespread. These daggers were notable for their high quality metalwork, fine ornamentation and distinctive elegant form. The elegant graceful form found in many daggers, blades, and knives during the period indicates influence from the Islamic world. These daggers were often royal in nature and was worn by princes and nobles for self-defense, for hunting, or for display. In combat, they were essential close-quarters weapons, capable of piercing the mail armor of Indian warriors.[1]

Antara akhir abad ke-17 sampai abad ke-18, Sri Lanka mulai memproduksi piha kaetta secara lokal, semacam pisau dengan tepi anggun yang ditata serupa dengan desain pisau lainnya yang ditemukan di anak benua India. Berbeda dengan belati subkontinental yang dipengaruhi Mughal yang banyak digunakan dalam pertempuran, piha kaetta Sri Lanka sebagian besar digunakan sehari-hari untuk pekerjaan pertanian atau di padang gurun. Kaih terbaik piha kaetta dibuat di "empat bengkel" ('pattal-hatara' '), sejenis pengrajin di mana sekelompok pengrajin terpilih bekerja khusus untuk raja dan istana kerajaannya, atau untuk orang lain hanya dengan izin raja . Nama "empat lokakarya" mengacu pada lokakarya "permata", "mahkota", "pedang emas", dan "tahta" masing-masing. Di Sri Lanka, seni bangunan, lukisan, ukiran gading, perhiasan, dan lain-lain berada di tangan sebuah persekutuan turun-temurun atau kasta pengrajin yang menempati posisi terhormat. [2]

Between late 17th-century to 18th-century, Sri Lanka began to locally produce the piha kaetta, a kind of knife with a graceful edge styled similarly with the design of other blades found in the Indian subcontinent. Unlike the Mughal-influenced subcontinental daggers which were mostly used in battles, the piha kaetta of Sri Lanka were mostly for everyday use for farm work or in the wilderness. Finest piha kaetta were made at the "four workshops" (pattal-hatara), a kind of craftsmen guild where a selected group of craftsmen worked exclusively for the king and his royal court, or for others only by the king's permission. The name "four workshops" refer to respectively the "jewel", "crown", "golden sword," and "throne" workshops. In Sri Lanka, the arts of building, painting, ivory-carving, jewelry, etc. were in the hands of a hereditary guild or caste of craftsmen which occupied an honorable position.[2]

Form

 
This piha kaetta has a stylus carried in the sheath with the knife.

Piha kaetta memiliki pisau yang berat sekitar 05 inch[convert: unit tak dikenal] sampai 2 inci (5,1 cm) tebal dan 5 inch[convert: unit tak dikenal] menjadi 8 inci (20 cm) panjang. Ini memiliki panel bertatah di bagian belakang pisau dan ujung lurus lurus yang mengarah ke ujungnya. Kaetta berarti "paruh" atau "bingkisan", mungkin mengacu pada ujung melengkungnya. [3]

The piha kaetta have a heavy blade about 05 inch[convert: unit tak dikenal] to 2 inch[convert: unit tak dikenal] thick and 5 inch[convert: unit tak dikenal] to 8 inch[convert: unit tak dikenal] long. It has an inlaid panel on the back of the blade and a straight cutting edge that curves towards the tip. Kaetta means a "beak" or "billhook", probably refers to its curving tip.[3]

Piha kaetta sederhana terbuat dari baja dan gagang kayu atau tanduk. Kualitas tinggi piha kaetta dihias dengan halus, biasanya di bagian belakang pisau di mana mereka bisa diukir dengan campuran panel hias perak dan kuningan; atau diukir dengan sangat dalam dan ditutupi dengan daun perak tipis yang tertempel di cekungan ukiran. Hilang piha kaetta berkualitas tinggi terbuat dari kombinasi bahan yang berbeda misalnya. logam mulia (emas, perak, kuningan, tembaga, batu kristal, gading, tanduk, baja atau kayu). Saluran ini dibuat dalam bentuk yang sangat khas, kadang-kadang berbentuk seperti kepala makhluk mitos atau dalam bentuk serpentin. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>[3]

Seringkali stylus bertatahkan perak dibawa dalam sarungnya dengan pisau. [3]

Frequently a silver-inlaid stylus is carried in the scabbard with the knife.[3]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b Gahir & Spencer 2006, hlm. 134.
  2. ^ a b Wright 1907, hlm. 181-2.
  3. ^ a b c d e Stone 2013, hlm. 498.

Bibliografi

Topi baja turban

 
Late 15th-century turban helmet in the style of Turkmen armor.

Topi baja turban adalah sebuah tipe topi baja dari Turki yang berukuran besar dan dikenal dengan bentuknya yang seperti bawang dan lekukan nya. Nama topi baha turban diambil dari cara pemakaiannya yang biasa dipakai di atas turban. Topi baja turban biasa ditemukan di daerah dimana Kekaisaran Ottoman pernah berkuasa.[1]

Form and evolution

Topi baja Turki paling awal berbentuk kerucut dengan pelat, surat atau pelindung leher empuk. Dari pertengahan 14 sampai setidaknya awal abad ke-16 helm tumbuh dalam ukuran, menjadi sangat besar dan sering dihias secara rumit dan dihiasi. [2] Helm Utsmaniyah besar ini dipakai oleh pejuang di atas serban kain, dan oleh karenanya mereka disebut "helm turban". Helm Turban dikenal dengan bentuk bulat besar. Beberapa contoh helm turban dibentuk dengan spiral spiral, yang diduga meniru lipatan turban. Bentuk khas ini ditempa dari sepiring besi atau baja tunggal yang meruncing ke finial yang diaplikasikan secara terpisah. Tepi helm dibentuk di atas mata, dan kemudian dipasang di sekitar tepi dengan tindik atau peluru yang ditusuk di mana pertahanan aventail atau email dijamin dengan kabel. [2] Aventail, sebuah surat logam yang fleksibel, meluas ke bawah untuk melindungi wajah dan leher. Aventail biasanya dipasang dengan segel timbal yang diberi cap dengan bekas yang digunakan di gudang persenjataan Ottoman. [3] Batang hidung yang bisa diatur diikat dengan braket ke sisi depan helm, di antara bukaan mata. Desainnya digunakan untuk melindungi hidung prajurit. [4]

The earliest of the Turkish helmets were conical with plate, mail or padded neck guards. From the mid-14th to at least the early 16th century the helmets grew in size, becoming very large and were often elaborately fluted and decorated.[2] These large Ottoman helmets were worn by warriors over a cloth turbans, and so they were called "turban helmets". Turban helmets are known for its large bulbous shape. Some examples of turban helmets were shaped with spiraling flutings, supposedly imitating the folds of a turban. This distinctive shape was forged from a single plate of iron or steel that tapers to a separately applied finial. The rim of the helmet is shaped over the eyes, and then fitted around the edge with pierced lugs or vervelles where the aventail or mail defense is secured by a cord.[2] The aventail, a flexible metal mail, extends downward to protect the face and the neck. The aventail is usually fixed with a lead seal which is stamped with the mark used in the Ottoman arsenals.[3] An adjustable nasal bar is fastened with a bracket to the front side of the helmet, between the eyes-openings. The design is used to protect the warrior's nose.[4]

Decoration

 
Late 15th-century turban helmet inlaid with silver and gold.

Di Turki Utsmani, kelompok darwis tertentu mengenakan turban yang dilumuri dengan jumlah lipatan yang ditentukan untuk mewakili bilangan mistis yang penting. Kemungkinan helm turban dianggap tidak hanya sebagai baju besi tapi juga sebagai semacam lencana religius. Simbolisme agama dari helm turban menunjukkan bahwa pemakainya adalah pejuang dalam Perang Suci. Helm serbaguna berukuran besar, bersama dengan korek api surat dan pelat yang sesuai, dimaksudkan untuk dikenakan oleh kavaleri berat. [5]

Karena sifat religius dari helm turban, mereka sering bertuliskan kaligrafi Arab untuk melambangkan kata-kata Tuhan yang diambil dari Quran. Lebih sering lagi prasasti tersebut memuliakan penguasa yang dipuja oleh prajurit tersebut. Kata-kata tertulis Allah dari Quran diduga meminta kekuatan pelindung Tuhan kepada pemakainya. Prasasti itu terkadang bertatahkan emas dan perak, dan dihiasi motif arabesque di sekelilingnya. Sebagian besar hias logam mulia dilakukan di kemudian hari saat helm tidak lagi digunakan dan diperdagangkan. Helm turban lainnya berisi saran bagaimana mencapai kebajikan. [5]

In Ottoman Turkey, certain dervish groups wore turbans wound with a prescribed number of folds to represent an important mystical number. It is likely that turban helmets were regarded not only as an armor but also as a kind of religious insignia. Religious symbolism of the turban helmets indicates that the wearer is a fighter in a Holy War. Large-sized turban helmets, together with the mail and plate armour of matching decoration, were intended to be worn by heavy cavalries.[5]

Because of the religious nature of the turban helmets, they are often inscribed with Arabic calligraphy to symbolizes the words of God as taken from the Quran. More often is that the inscription glorifies the ruler whom the warrior is loyal to. Inscribed words of God from the Quran supposedly invoke the protective power of the God to the wearer. The inscriptions were sometimes inlaid with gold and silver, and decorated with arabesque motifs around the edges. Most inlaid of precious metals were done in later period when the helmet was no longer in use and was traded. Other turban helmets contain advises on how to attain virtue.[5]

See also

References

  1. ^ Gahir & Spencer 2006, hlm. 23.
  2. ^ a b Alexander 2015, hlm. 70.
  3. ^ "Helmet with Aventail". Heilbrunn Timeline of Art History. The Metropolitan Museum of Art. 2017. Diakses tanggal November 13, 2017. 
  4. ^ Alexander 2015, hlm. 69.
  5. ^ a b "Turban Helmet". The Metropolitan Museum of Art. The Metropolitan Museum of Art. 2017. Diakses tanggal November 13, 2017. 

Cited works

Templat:Helmets

Rudus

Rudus
 
A rudus with a style distinctive to the region of northern Sumatra inhabited by the Aceh and Pakpak people.
Jenis Sword
Negara asal Malay of Sumatra
Sejarah pemakaian
Digunakan oleh Malay people
Spesifikasi
Tipe gagang Wood
Jenis sarung Wood

A Rudus is a sword or cutlass associated with the Malay culture of Sumatra. Together with the pemandap, the rudus is among the largest swords of Malay people. Rudus is also a symbol of certain Malay state in the Island, e.g. the Province of Bengkulu in Sumatra, Indonesia.[1]

Rudus adalah senjata pedang atau golok yang diasosiasikan dengan kebudayaan Melayu di Sumatera. Bersama dengan pemandap, rudus termasuk kedalam senjata berukuran terbesar bangsa melayu.

Description

The rudus is associated with the Islamic Malay culture. It is found to be more common in Sumatra than in the Malay peninsula. Together with the pemandap, the rudus is considered to be a symbol of the Sumatran Malay culture. The Acehnese people and the Malay of Bengkulu are recorded to have the rudus as their cultural identity. Rudus is also found in the Malay Banjar people of South Kalimantan, where it was an official traditional weapon of the province of South Kalimantan, together with the kuduk.[1]

Rudus diasosiasikan dengan kebudayaan melayu. Rudus lebih umum ditemukan di Sumatera daripada di tanjung melayu. Bersama dengan pemandap, rudus adalah simbol bangsa Melayu di Sumatera. Orang Aceh dan orang Melayu di Propinsi Bengkulu memasukkan rudus sebagai bagian dari identitas kebudayaannya. Rudus juga merupakan senjata tradisional orang-orang Banjar di Kalimantan Selatan, bersama dengan senjata kuduk.

In the Islamic period of Indonesia, the island of Sumatra was divided into multiple small sultanates that were at war with each other. The province of Bengkulu in South Sumatra alone had many sultanates, among the sultanates were the Sultanate of Sungai Serut, Selebar, Pat Petulai, Balai Buntar, Sungai Lemau, Sekiris, Gedung Agung and Marau Riang. These warring sultanate states would equip their warriors with weapons e.g. the badik, rambai ayam and rudus. Rudus was also used in the ceremony of the election of the datuk, the chief of the adat.[2]

Selama masa periode Islam di Indonesia, pulau Sumatera terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil yang saling berpernag satu sama lain. Masing-masong kerajaan ini memiliki prajuritnya masing-masing dan mengembangkan berbagai macam senjata perang seperti badik, rambai ayam, dan rudus. Selain sebagai senjata perang, rudus juga digunakan dalam upacara pengangkatan datuk.

During the colonial period, rudus was used by the natives as a form of resistance toward the colonial government. Because of this romanticized patriotic notion of using the rudus to rise against the oppressor, the rudus is featured in the seal of the Bengkulu province to symbolize heroism.[2]

Selama masa kolonial, rudus digunakan oleh penduduk asli sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Karena gagasan patriotik yang romantis ini dengan menggunakan rudus untuk bangkit melawan penindas, rudus ditampilkan di meterai provinsi Bengkulu untuk melambangkan kepahlawanan.

Form

 
The seal of the province of Bengkulu features two rudus.

Rudus terdiri dari mata (secara harfiah "mata", mata pisau), ulu ("gagang"), dan sarung ("sarung"). [2]

Rudus sering ditulis dengan tulisan Jawi di bagian pedang, mis. pada pisau atau di gagangnya Skrip Jawi adalah sejenis alfabet Perso-Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu, terutama oleh orang Aceh, orang Banjar, dan Minangkabau. Pembuat pedang rudus akan mengukir tanggal selesainya pedang, serta namanya dan desa asalnya. Namun, dalam beberapa kasus, prasasti itu menunjukkan tanggal hiasan ulang pisau itu. Sebuah rudus yang disimpan di Metropolitan Museum of Art di New York City memiliki prasasti yang mengidentifikasi bahwa seniman tersebut berasal dari sebuah desa di Semenanjung Malaysia, namun bentuk hiasannya tidak endemik di Semenanjung Malaysia, namun lebih ke wilayah Sumatera utara yang dihuni oleh orang Aceh dan Batak Pakpak. Ini menunjukkan bahwa rudus dibuat di Sumatera dan kemudian didekorasi di negara tetangga Malaysia. [3]

Prasasti bisa ditulis di atas pisau atau di gagangnya. Contoh Museum Metropolitan Art memiliki prasasti bertatahkan emas. Beberapa memilih untuk mengukirnya di gagang kayu. [3]

Rudus dibawa tersandang di samping.

The rudus consists of the mata (literally "eyes", the blade), the ulu ("hilt"), and the sarung ("sheath").[2]

The rudus is often inscribed with Jawi script at parts of the sword, e.g. at the blade or at the hilt. The Jawi script is a kind of Perso-Arabic alphabet that was used for writing the Malay language, especially by the Acehnese, Banjarese, and Minangkabau. The maker of the rudus sword would carve the date of the completion of the sword, as well as his name and his village of origin. In some cases however, the inscription indicated the date of the re-decoration of the blade. A rudus kept in the Metropolitan Museum of Art in New York City has inscription which identifies that the artist came from a village in Peninsular Malaysia, however the shape of the decoration is not endemic to the Peninsular Malaysia, but more to the northern Sumatran region which is inhabited by the Aceh and the Batak Pakpak people. This indicates that the rudus was made in Sumatra and then decorated in neighboring Malaysia.[3]

Inscriptions can be written on the blade or on the hilt. The Metropolitan Museum of Art example has the inscriptions inlaid with gold. Some chose to carve it on its wooden hilt.[3]

The rudus is carried slung at the side.

References

  1. ^ a b Newbold 1839, hlm. 212.
  2. ^ a b c "5 Senjata Tradisional Bengkulu" [Five Traditional Weapon of Bengkulu]. Kamera Budaya (dalam bahasa Indonesian). Kamera Budaya. 2017. 
  3. ^ a b "Sword (Rudus) and Scabbard". The Metropolitan Museum of Art (dalam bahasa Indonesian). The Metropolitan Museum of Art. 2017. 

Cited works

Templat:Indonesian Weapons

Kulah khud

 
A style of helmet known as top in India. This top came from the Deccan region.

A kulah khud (known in India as top) is a type of helmet worn by warriors across much of Indo-Persian world from late medieval times onward. Characteristic features are the mail aventail veil, the spike holder on top, and two to three plume holders.[1]

Kulah khud (dikenal di India dengan nama top) adalah sebuah tipe topi baja yang digunakan oleh prajurit-prajurit di daerah Indo-Persia dimulai dRi Abad Pertengahan. Ciri-ciri kulah khud adalah pelindung rantai yang terpasang di bagian bawah helm, duri di atas, dan dua tempat bulu di sisi kiri dan kanan.

Form and origin

Kulah khud mungkin berasal dari Asia Tengah. [2] Mereka dicatat untuk dipakai sebagian besar orang Indo-Persia di wilayah ini, mis. orang Arab, Persia, Turki dan India. Mereka biasanya terbuat dari baja. Kulah khud berbentuk mangkuk, baik rendah maupun datar, atau tinggi dan runcing. Ini mungkin berisi soket spike di bagian atas helm, yang menyerupai ujung tombak dengan bagian seperti salib. Dua (atau tiga) pemegang plume dilekatkan pada kedua sisi tengkorak, digunakan untuk memasang bulu seperti egret. [3] [4]

Fitur kulah khud yang paling mencolok adalah aventail surat besi dan kuningan atau kuningan dan tembaga yang tergantung di dasar helm untuk melindungi leher, bahu, dan bait pada wajah. Terkadang, surat aventail meluas ke bawah untuk menutupi mata dan bahkan hidungnya. Ujung bawah aventail surat sering bekerja dalam bentuk lonjakan segitiga, sehingga bisa tetap terbungkus relatif di sisi depan dan belakang bahu pejuang. [4]

Batang hidung geser yang terbuat dari besi atau baja menempel pada bagian depan helm dengan braket dan dapat disesuaikan pada posisinya. Bila tidak digunakan, bar hidung bisa diikat dengan kaitan dan kait, atau kadang dengan sekrup set. Dua ujung bar hidung diperluas menjadi piring, membentuk semacam finial. Di beberapa helm India, ujung bawah batang hidung sangat membesar dalam bentuk bulan sabit sehingga menutupi sebagian besar wajah di bawah mata. Ada versi langka dari kulah khud dimana ada tiga besi hidung untuk melindungi hidung dan pipi. [4]

The kulah khud probably originated in Central Asia.[2] They were recorded to be worn by most Indo-Persians of the region, e.g. the Arabs, Persians, Turkish and Indian. They were usually made of steel. Kulah khud is bowl-shaped, either low and flat, or high and pointed. it may contain a spike socket at the top of the helmet, which resembles a spearhead with its cross-like section. Two (or three) plume holders are attached on either side of the skull, used to mount feathers such as the egret.[3][4]

The kulah khud's most striking feature is the iron-and-brass or brass-and-copper mail aventail that hung at the base of the helmet to protect the neck, shoulders, and the temple of the face. Sometimes, the mail aventail extends down to cover the eyes and even the nose. The low end of the mail aventail is often worked in a form of triangular spikes, so that they could stay relatively affixed on the front- and back-side of the warrior's shoulder.[4]

A sliding nasal bar made of iron or steel is attached to the front of the helmet with a bracket and can be adjusted in position. When not in use, the nasal bar could be fastened up by a link and hook, or sometimes by a set screw. The two ends of the nasal bar expanded into plates, forming a kind of finial. In some of the Indian helmets, the lower end of the nasal bar is enormously enlarged in a crescent form so that it cover most of face below the eyes. There is a rare version of the kulah khud where there are three nasal irons to protect the nose and the cheeks.[4]

Decoration

 
A highly ornate top from 18th-century Mughal warrior.

The kulah khud has a relatively similar identifiable form, but their decoration greatly varies. Parts of the kulah khud, especially the skull and the nasal bar, were heavily decorated with patterned motifs of inlaid brass, silver or gold; or decorated with figural images. A Mughal top helmet features calligraphic inscriptions from Quran, supposedly to protect the wearer from harm or to gain a speedy victory. A top discovered in Gwalior, India, features a skull-and-crossed-bones motif, a sign of European influence. The upper and lower finial of the nasal bar is also the focus of artistic decoration in the kulah khud. One example is an image of the elephant-headed Hindu god Ganesha carved on the upper finial of the nasal bar of a Sikh top.[3]

Kulah khud memiliki bentuk pengenal yang relatif sama, namun dekorasi mereka sangat beragam. Bagian dari kulah khud, terutama tengkorak dan nasal bar, dihiasi dengan motif bermotif kuningan, perak atau emas bertatah; atau dihiasi dengan gambar figural. Helm top Mughal menampilkan prasasti kaligrafi dari Quran, yang seharusnya melindungi pemakainya dari bahaya atau untuk mendapatkan kemenangan yang cepat. Bagian atas yang ditemukan di Gwalior, India, menampilkan motif tengkorak dan lintang tulang, tanda pengaruh Eropa. Bagian atas dan bawah nasal bar juga merupakan fokus hiasan artistik di kulah khud. Salah satu contohnya adalah gambar dewa Hindu berkepala gajah Ganesha yang diukir di ujung atas batang hidung bagian atas Sikh.

Revival

Despite modernization of Iran’s military in the nineteenth century, traditional armor continued to be manufactured. They are often served only for military parades, as costume for religious or historic plays, or as souvernirs. [5]

Meskipun modernisasi militer Iran di abad kesembilan belas, armor tradisional terus diproduksi. Mereka sering dilayani hanya untuk parade militer, sebagai kostum untuk drama religius atau sejarah, atau sebagai souvernir.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Gahir & Spencer 2006, hlm. 23.
  2. ^ Gahir & Spencer 2006, hlm. 170.
  3. ^ a b Gahir & Spencer 2006, hlm. 268.
  4. ^ a b c Stone 2013, hlm. 51.
  5. ^ "Helmet (Khula Khud)". 

Bibliografi

Dao

Dao
 
Assamese Dao with scabbard, 19th-century
Jenis Sword
Negara asal India, Assam and Nagaland
Sejarah pemakaian
Digunakan oleh Naga people
Spesifikasi
Berat 2.665 gram (94,0 oz)
Panjang 45 sentimeter ([convert: unit tak dikenal])-65 sentimeter ([convert: unit tak dikenal])
Lebar 51 sentimeter ([convert: unit tak dikenal])

Tipe pedang Single edge
Tipe gagang wood, cane
Jenis sarung wood, cane
Tipe kepala steel

Dao is the national sword of the Naga people of Assam and Nagaland, India. The sword, with its wooden hilt, and unique square form is used for digging as well as for killing.[1]

Dao adalah senjata nasional dari orang Naga di Assam dan Nagaland di India. Dao memiliki fungsi yang beragam, mulai dari untuk berburu atau untuk memggali.

Form

Golok dao ditemukan di Assam dan Nagaland di timur laut India dimana orang-orang Naga tinggal. Dao memliki bentuk yang tebal dan berat, dengan panjabg bervariasi atara 45 hingga 65 centimeter. Bentuk dao unik karena ujungnya pedangnya melebar diujung dan mengecil di pangkal, sehingga bentuknya seperti kotak. Bentuk ini juga ditemukandi pedang dha, yang kemungkinan merupakan evolusi dari bentuk dha melalui kebudayaan Kachin di Burma.

Pedang dao berbentuk hampir lurus dengan lengkungan yang sangat tipis yang hanya dapat terlihat jika diobservasi lebih teliti. Pedang dao memiliki pinggir seperti dipahat. Bentuk uniknya adalah pedangnya menipis di pangkal dan melebar di ujung.

Pegangan dari dao terbuat dari kayu dan memiliki bentuk yang sangat sederhana, tanpa pelindung atau pangkal yang membesar. Akar bambu dianggap sebagai bahan baku paling baik untuk sebuah dao. Pegangan dao dililit dengan semacam anyaman untuk meyediakan pegangan yang kuat. Terkadang tutup perunggu ditempatkan dipangkal pegangan dao. Beberapa pegangan dao terbuat dari gading.

The dao broadsword can be found in the northeastern region of Assam and Nagaland in India where the Naga people lives. The dao has a thick and heavy form, with length varies between 45 sentimeter ([convert: unit tak dikenal]) to 65 sentimeter ([convert: unit tak dikenal]). The unique design of this long backsword is that instead of a point, the tip of the sword is a bevel, creating an appearance of a squarish shape. This form is also found in the Burmese dha whose form is derived from the dao. The form of the dao was first adopted by the Kachin people who live along the Assam-Burma border and to the east, in the most mountainous regions of Upper Burma. From here the form would evolve to the more elongated dha.[2]

The blade of the Dao is almost straight, with a very minimal curve that can only be discerned upon close examination. The blade is heavy and chisel-edged. It has a unique form that it is narrowest at the hilt and the gradually broaden to the endpoint.[3]

The wooden hilt has a very simple shape, without a guard or without a distinguished pommel. Bamboo root is considered to be the best material for the hilt. The grip of the handle is sometimes wrapped with basketry. Sometimes the hilt is decorated with a bronze cap at the bottom.[2] The hilt may also be made of ivory, and occasionally can be well-carved.[3]

Dao is usually carried in an open-sided wooden scabbard which is fastened to a rattan belt hoop.[3] The scabbard is centrally hollowed out on one face.[2]

Multi-function

Dao mungkin merupakan satu-satu ya alat yang dipakai oleh orang Naga. Dao digunakan untuk bermacam-macam hal misalnya untuk membangun rumah, untuk menebang pohon, untuk menggali, untuk membuat anyaman, dwn untuk membuat perabot kayu. Dao juga digunakan sebagai senjata.

The dao is almost the only tool that was used by the Naga people. It is used for many purposes e.g. for building houses, to clear the forest, to dig the earth, to make the women's weaving tools, and to create any kind of wooden objects. The dao is also used as a weapon.[3]

References

Cited works

Templat:Swords by region