Serangan banzai

Revisi sejak 28 Februari 2018 09.47 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Mengganti kategori yang dialihkan Teater Pasifik Perang Dunia II menjadi Palagan Pasifik dalam Perang Dunia II)

Serangan banzai (berasal dari seruan perang Jepang "banzai") adalah istilah yang diterapkan saat Perang Dunia II oleh pasukan Sekutu pada serangan gelombang manusia yang dipimpin oleh pasukan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Istilah banzai berasal dari seruan "Tennō Heika Banzai" (天皇陛下萬歲, "Hiduplah Kaisar!"). Di Jepang, istilah gyokusai (玉砕, mati terhormat; secara literal "permata yang pecah") lebih sering digunakan oleh Naikaku Johōkyoku (Kabinet Biro Informasi) dan media massa rezim Kekaisaran Jepang. Serangan ini biasanya dilakukan sebagai serangan bunuh diri untuk menghindari kekalahan dan ketidakhormatan atau sebagai usaha terakhir untuk meningkatkan probabilitas kemenangan melawan pasukan Sekutu yang jumlahnya lebih besar.

Tentara Jepang yang gugur setelah melakukan serangan banzai terakhir melawan pasukan Amerika saat Pertempuran Attu, 29 Mei 1943. Serangan banzai di Pertempuran Attu merupakan serangan banzai terbesar dalam sejarah Perang Pasifik.[1]

Etimologi

Gyokusai (玉砕), secara literal "shattered jade", adalah eufemisme rakyat Jepang untuk serangan bunuh diri, atau bunuh diri untuk menghindari rasa malu (seppuku).Hal ini berdasarkan kutipan buku teks Bahasa Tionghoa Klasik Buku Qi Utara, 大丈夫寧可玉砕何能瓦全 "orang besar harus mati sebagai permata hancur daripada hidup sebagai ubin yang utuh." Hal ini diaplikasikan pada konsep mati terhormat atas kekalahan oleh Saigō Takamori (1827–1877), dan digunakan sebagai slogan ichioku gyokusai (一億玉砕) "seratus juta perhiasan yang rusak" oleh pemerintah Jepang saat bulan-bulan terakhir Perang Pasifik, saat Jepang menghadapi serangan oleh Sekutu, beberapa persepsi dari keyakinan ini juga berasal dari Hagakurenya Tsunetomo Yamamoto, yang terkenal pada abad ke-18 atas risalahnya mengenai bushido.

Pasukan sekutu saat Perang Dunia II menyebut serangan massal oleh prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, sebagai "serangan banzai" karena infantri Jepang yang menyerang meneriakkan "Banzai!" saat mereka berlari ke arah pasukan Sekutu. "Banzai" adalah seruan perang (battle cry) pada unit yang bertempur untuk maju, adalah sikap esprit de corps/meningkatkan semangat juang dan keberanian pasukan yang lain untuk mengikuti mereka yang sudah maju. Dalam bahasa Jepang "Banzai" (万歳), secara literal "sepuluh ribu tahun", adalah nasihat umum untuk umur panjang atau perayaan di Jepang, pada dasarnya berharap untuk sesuatu atau seseorang untuk umur panjang/selama-lamanya. Saat Perang Dunia II, Tennō Heika banzai! (天皇陛下万歳!), secara literal "Sepuluh ribu tahun untuk kaisar", menjadi seruan perang pasukan Jepang saat maju menyerang pasukan Sekutu.[2] Istilah ini jarang digunakan oleh rakyat Jepang.[3]

Sejarah

Saat awal Perang Dunia II, Pasukan Jepang masih sering bergantung pada strategi mobilisasi infantri massal yang masih digunakan dalam Perang Dunia I. Banyak tentara Sekutu dipersenjatai oleh senjata semi atau otomatis, mampu memberikan daya tembak lebih tinggi dibandingkan infantri Perang Dunia I, dan daya tembak ini mampu menghentikan serang massal dalam sekejap. Metode Serangan massal yang dilakukan terbukti sangat mahal dilakukan oleh Jepang dan taktik ini kemudian ditinggalkan oleh Jepang. Pada akhir PD II, saat kekalahan sudah ada di depan mata Kekaisaran Jepang, serangan massal ini menjadi usaha terakhir Jepang ketika menyerah atau kematian adalah opsi terakhir, seperti saat Pertempuran Attu.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ "Battle of Attu". History Channel. Diakses tanggal 2013-07-29. 
  2. ^ Tennōheika banzai! p.3, The Cambridge history of Japan, by John Whitney Hall, 1988 Cambridge University Press, ISBN 0521223520
  3. ^ John Toland, The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire 1936-1945, Random House, 1970, p. 513

Referensi

  • Bergerud, Eric M. (1997). Touched with Fire : The Land War in the South Pacific. Penguin. ISBN 0-14-024696-7. 
  • Harries, Meirion (1994). Soldiers of the Sun : The Rise and Fall of the Imperial Japanese Army. New York: Random House. ISBN 0-679-75303-6. 

Pranala luar