Saracen (Indonesia)

Penyebar Hoax

Latar Belakang

Saracen
Didirikan2014
Aktivitas kriminalBisnis ujaran kebencian, kebohongan, peretasan

Saracen merupakan sindikat penyedia jasa konten kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan memiliki keahlian untuk mencaplok akun media sosial hingga membaca situasi pemberitaan yang beroperasi di Indonesia.[butuh rujukan] Nama Saracen sendiri terinspirasi dari istilah saracen yang digunakan oleh orang Kristen Eropa terutama pada Abad Pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk Islam tanpa memandang ras atau sukunya.[1] Saracen menggunakan lebih dari 2000 akun media untuk menyebarkan konten kebencian. Rilis resmi dari kepolisian menyebutkan bahwa akun yang tergabung dalam jaringan kelompok Saracen berjumlah lebih dari 800.000 akun.[2] Konten sebaran semata bertujuan ekonomi. Media-media yang mereka miliki menyajikan berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenaran sesuai selera pemesan, salah satunya kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo. Saracen menetapkan tarif puluhan juta dalam proposal yang ditawarkan ke sejumlah pihak. Sejauh ini, para petinggi Saracen telah ditangkap pihak kepolisian yaitu dua orang laki-laki, Jasriadi (32) ditangkap di Pekanbaru, Riau pada 7 Agustus 2017, Muhammad Faizal Tanong (43) ditangkap di Koja, Jakarta Utara pada 21 Juli 2017, dan satu orang perempuan, Sri Rahayu Ningsih (32) ditangkap di Cianjur, Jawa Barat pada 5 Agustus 2017.[3]

Tidak Terbukti Lakukan Ujaran Kebencian

Penangkapan kelompok Saracen ini juga menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Saat itu beredar pula nama dan struktur pengurus Saracen. Sejumlah pihak yang dicatut namanya dalam kelompok itu pun membantah, salah satunya pengacara Eggi Sudjana. Namun nyatanya, sampai bos Saracen Jasriadi dilimpahkan ke Kejari Pekanbaru, Polri belum bisa mengungkap pemesan hoax ke kelompok tersebut. Belum ada klien Saracen yang ditangkap.Hingga berkas dilimpahkan ke persidangan, kasus yang tadinya didasari ujaran kebencian, ternyata berubah di meja hakim, Hakim menilai terdakwa Jasriadi dinyatakan melanggar pasal 46 ayat (2) jo pasal 30 ayat (2) UU ITE. Dalam persidangan ini, Jasriadi hanya terbukti melakukan ilegal akses akun FB milik Sri Rahayu. Ada tiga kali terdakwa mengubah tampilan akun FB Sri Rahayu. Pada saat itu, akun FB Sri Rahayu lagi disita pihak Mabes Polri.[4]

Jasriadi dinyatakan bebas dari tuntutan jaksa atas perkara manipulasi, peciptaan informasi elektronik yang dianggap mengubah data otentik. Dakwaan jaksa Jasriadi menggunakan identitas KTP saksi Suarni yang telah diubah menjadi identitas atas nama Saracen untuk memverifikasi akun Facebook Saracen. Namun semua dakwaan itu tidak terbukti di persidangan. Hakim juga menyatakan Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah karena membuat akun anonim sebanyak Rp 800 ribu. Dengan demikian, Jasriadi terbebas dari sangkaan hate speech.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa opini yang telah terbentuk di masyarakat yang menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras antargolongan (SARA) tidak terbukti. Hal itu disampaikan oleh hakim Riska, satu dari tiga hakim majelis saat membacakan amar putusan vonis terhadap Jasriadi yang disebut sebagai bos Saracen, di Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat (6/4). Hakim Riska mengatakan, sejak kasus Saracen bergulir, banyak media menyebut bahwa Saracen merupakan kelompok penyebar kebencian dan SARA. Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi bangsa.[5]

Abdullah Alkatiri, salah seorang penasihat hukum Jasriadi, mengatakan selama proses persidangan, tidak ada satu pun bukti yang mendukung tuduhan polisi dan dakwaan jaksa kepada kliennya. Bahkan tuduhan bahwa Jasriadi menerima uang ratusan juta untuk menjalankan proyek Saracen dibantah majelis hakim. Jasriadi bukan satu-satunya orang yang namanya kadung dicemarkan oleh tuduhan yang gagal dibuktikan di persidangan. Sebelumnya ada nama Asma Dewi, perempuan yang disebut-sebut sebagai bendahara Saracen ini disebut polisi telah melakukan ujaran kebencian sebagaimana dilarang dalam Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016.

Polisi juga menyebut Asma pernah mentransfer uang Rp75 juta untuk Saracen. Namun, seperti halnya Jasriadi, tuduhan polisi tidak bisa dibuktikan di pengadilan. Bahkan uang Rp75 juta yang diucapkan polisi berulang-ulang ke awak media juga tidak masuk dalam lembar dakwaan jaksa. Meski begitu Asma Dewi tetap dijatuhi hukuman 5 bulan 15 hari penjara oleh pengadilan. Bukan lantaran mengujarkan kebecian , seperti dikatakan aparat kepolisian tapi lantaran ia dianggap melakukan penghinaan kepada penguasa sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP. Sayangnya polisi enggan menanggapi serius putusan hakim yang tidak sejalan dengan klaim mereka. Polisi berdalil putusan persidangan sepenuhnya menjadi kewenangan majelis hakim.

"Mas, untuk maklum bahwa Polri melakukan penyidikan. Soal putusan hakim, adalah kewenangan hakim,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Martinus Sitompul saat dihubungi Tirto, Sabtu.

Kualitas Aparat dan Unsur Politis

Dosen dan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar mengatakan Jasriadi bisa saja menuntut balik aparat kepolisian yang telah menudingnya sebagai bagian dari kelompok penyebar kebencian Saracen. Namun hal ini bisa dilakukan apabila banding Jasriadi diterima dan ia mendapat putusan hukum yang bersifat final.

“Upaya hukum bisa dilakukan yaitu banding. Jika seluruh proses hukum sudah dilakukan termasuk kasasi dan putusannya dinyatakan bebas sebagai terdakwa Saracen, baru kemudian Mantan Terdakwa Saracen bisa menuntut ganti rugi bahkan terhadap kerugian kerugian lain yang timbul selama proses perkara,” kata Fickar saat dihubungi Tirto, Sabtu.

Fickar menjelaskan dakwaan bisa disusun dalam berbagai bentuk seperti dakwaan tunggal yang terdiri dari satu pasal, dakwaan alternatif terdiri dari sejumlah pasal namun hanya dipilih satu yang memenuhi unsur pembuktian, dakwaan kumulatif yakni penggabungan beberapa dakwaan, dakwaan primer subsider dan lebih subsidair ini yang mirip dengan dakwaan alternatif dari pasal dengan ancaman hukuman terberat sampai yang teringan, kemudian dakwaan gabungan dari dua dakwaan yang ada. Oleh sebab itu, meskipun Jasriadi tidak dipidana dalam dakwaan ujaran kebencian, namun ia bisa saja divonis bersalah lewat dakwaan lain.

"Jadi sangat mungkin dakwaannya kumulatif, tapi yang terbukti hanya satu saja yang kemudian menjadi dasar penghukuman, yaitu perbuatan mengakses akun orang lain. sedangkan perbuatan perbuatan menyebar hoax tidak terbukti," kata Fickar. Fickar menerangkan, kegagalan membuktikan Jasriadi mengujarkan kebencian membuktikan rendahnya kualitas aparat yang menangani perkara ini. Ia menilai kasus Jasriadi sarat muatan politik.

"Inilah contoh penanganan perkara hukum dengan pendekatan politik, yang pasti akan sangat merugikan korbannya. karena itu diharapkan penegak hukum untuk berhati hati dalam menangani perkara perkara yang bersentuhan dengan politik, ketidakberhasilan membuktikan bisa ditafsir politis yang macam-macam," kata Fickar[6]

Referensi

  1. ^ "Saracen." Encyclopædia Britannica. 2007. Britannica Concise Encyclopedia. 23 Sept. 2007.
  2. ^ "Ini Fakta Sindikat Saracen: Pelaku Punya Kecerdasan di Atas Rata-rata Sampai Miliki 800 Ribu Akun". Tribunnews. 27 Agustus 2017. Diakses tanggal 26 September 2017. 
  3. ^ "Fenomena Apakah Saracen Itu?". Detik. 29 Agustus 2017. Diakses tanggal 26 September 2017. 
  4. ^ Rizqo, Kanavino Ahmad. "Lika-liku Kasus Bos Saracen yang Hate Speech-nya Tak Terbukti". detiknews. Diakses tanggal 2018-04-08. 
  5. ^ "Hakim: Saracen tak Terbukti Sebarkan Ujaran Kebencian | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2018-04-08. 
  6. ^ Taher, Andrian Pratama. "Vonis Jasriadi: Dua Kali Polisi Gagal Buktikan Tuduhan Soal Saracen - Tirto.ID". tirto.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-04-08.