Wayang Menak
Wayang Menak atau disebut juga Wayang Golek Menak merupakan wayang berbentuk boneka kayu yang diyakini muncul pertama kali di daerah Kudus pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II. Sumber cerita Wayang Menak berasal dari Kitab Menak, yang ditulis oleh Ki Carik Narawita atas kehendak Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1717 M.
Babon induk dari Kitab Menak berasal dari Persia, menceritakan Wong Agung Jayeng Rana atau Amir Ambyah (Amir Hamzah), paman Nabi Muhammad SAW. Isi pokok cerita adalah permusuhan antara Wong Agung Jayeng Rana yang beragama Islam dengan Prabu Nursewan yang belum memeluk agama Islam.
Wayang ini diciptakan oleh Ki Trunadipura, seorang dalang dari Baturetno, Surakarta, pada zaman pemerintahan Mangkunegara VII (1916 – 1944). Induk ceritanya bukan diambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata, melainkan dari Kitab Menak. Latar belakang cerita Menak adalah negeri Arab, pada masa perjuangan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.
Walaupun tokoh ceritanya sebenarnya orang Arab dan latar belakang ceritanya juga budaya Arab, peraga Wayang Golek Menak diberi pakaian mirip dengan Wayang Kulit Purwa, antara lain dengan memberinya kuluk, jamang, sumping, dsb. Namun, pemakaian jubah dan tutup kepala mirip orang Arab, juga dipakai untuk sebagian tokoh-tokohnya.
Cerita Menak disadur dari kepustakaan Persia, judulnya Qissai Emr Hamza. Kitab ini dibuat pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid (766 – 809). Sebelum sampai pada saduran bahasa Jawanya, kitab ini lebih dulu dikenal dalam kesusastraan Melayu, dengan judul Hikayat Amir Hamzah. Versi bahasa Jawanya, isi kitab itu sudah berbaur dengan cerita-cerita Panji.
Serat Menak gubahan pujangga besar Surakarta, Yasadipura I (1729 – 1802) dari Surakarta, sebenarnya bukan hanya berupa penerjemahan dari bahasa Arab Parsi ke bahasa Jawa, juga mengubah filsafat cerita itu sehingga lebih mudah dicerna oleh ma-syarakat Jawa. Lagi pula Yasadipura I bukan mener-jemahkannya langsung dari bahasa Melayu aslinya — melainkan menggubah kembali dari Kitab Menak hasil terjemahan pujangga sebelumnya, yakni dari zaman Kartasura. Pujangga penerjemah aslinya, tidak tercatat namanya.
Nama-nama tokoh dalam Wayang Golek Menak juga sudah disesuaikan dengan lidah orang Jawa. Misalnya, nama Badi’ul Zaman diubah menjadi Imam Suwangsa; Omar Bin Umayah menjadi Umar Maya; Mihrnigar menjadi Dewi Retna Muninggar; Qoraishi menjadi Dewi Kuraisin, dsb.
Tokoh utamanya, Emr Hamza (Amir Hamzah) — yang dalam Wayang Golek Menak disebut Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana dan banyak nama alias lainnya, bermusuhan antara lain dengan Prabu Nusirwan dari Kerajaan Medayin. Waktu itu Mekah sudah menjadi Kerajaan Islam, sedangkan Kerajaan Medayin dan banyak kerajaan lainnya, belum.
Tokoh dalam Wayang Menak
- Wong Agung Jayeng Rana / Amir Ambyah Raja Kerajaan Kuparman
- Prabu Nursewan Raja Kerajaan Medayin
- Raden Lukman Hakim
- Raden Bekti Jamal
- Raden Betal Jemur
- Umar Maya
- Umar Madi
- Sultan Agung Jayusman Samsulrijal
- Prabu Lamdahur
- Prabu Menak Kajun Raja Negara Parang Akik
- Prabu Hong Te Te Raja Negara Mongolia
- Dewi Retna Muninggar
- Dewi Marpinjun
- Dewi Ismayawati
- Dewi Kelaswara
- Dewi Sudarawreti
- Dewi Sekarkedathon
- Patih Bestak
Urutan Cerita
1. Menak Sareas.
2. Menak Lare: 1-4.
3.Menak Sêrandil.
4. Menak Sulub: 1-2.
5. Menak Ngajrak.
6. Menak Dêmis.
7. Menak Kaos.
8. Menak Kuristam.
9. Menak Biraji.
10. Menak Kanin.
11. Menak Gandrung.
12. Menak Kanjun.
13. Menak Kôndhabumi.
14. Menak Kuwari.
15. Menak Cina: 1-5.
16. Menak Mukub.
17. Menak Malebari: 1-4.
18. Menak Purwakôndha: 1-3.
19. Menak Kustup: 1-2.
20. Menak Tasmitèn.
21. Menak Pirkaras.
22. Menak Kalakodrat: 1-2.
23. Menak Sorangan: 1-2.
24. Menak Jamintoran: 1-2.
25. Menak Jaminambar: 1-3.
26. Menak Talsamat.
27. Menak Lakad: 1-3