Bahasa Jawa Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.
Ciri khas
Selain pada intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pada pengucapan setiap frasanya, yakni apa yang terucap sama dengan yang tertulis. Secara positif -seperti dipaparkan oleh Ki Enthus Susmono dalam Kongres Bahasa Tegal I- hal ini dinilai mempengaruhi perilaku konsisten masyarakat penggunanya. Untuk lebih jelas, mari kita amati beberapa contoh dan tabel berikut ini:
- padha, dalam dialek Tegal tetap diucapkan 'pada', seperti pengucapan bahasa Indonesia, tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan podho.
- saka, (dari) dalam dialek Tegal diucapkan 'saka', tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan soko.
Tabel 1 (perbedaan pengucapan)
Dialek Tegal | Bahasa Jawa Standar |
---|---|
padha | podho |
saka | soko |
sega | sego |
apa | opo |
tuwa | tuwo |
Dalam kasus tersebut, Enthus menilai masyarakat pengguna bahasa Jawa wetanan (Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya) kurang konsisten ketika mengucapkan gatutkaca ditambahi akhiran ne. Kata itu bukan lagi diucapkan gatutkocone, melainkan katutkacane, seperti yang dituturkan oleh masyarakat Tegal. Lihat tabel berikut ini:
Tabel 2 (kesamaan ucapan pada kata dasar ditambah akhiran ne)
Kata Dasar | Dialek Tegal | Bahasa Jawa Standar |
---|---|---|
segane+ne | segane | segane, bukan segone |
gatutkaca+ne | gatutkacane | gatutkacane, bukan gatutkocone |
rupa+ne | rupane | rupane, bukan rupone |
Wilayah pengguna
Berikut adalah pemetaan masyarakat pengguna dialek Tegal:
- Kabupaten Brebes
- Kota Tegal
- Kabupaten Tegal
- Bagian barat Kabupaten Pemalang
Tokoh dialek Tegal
- Ki Enthus Susmono, yang selalu setia memasukkan unsur dialek Tegal dalam setiap pementasan wayangnya
- Lanang Setiawan, yang telaten mengumpulkan kosa kata dialek Tegal kemudian disusun dalam Kamus Bahasa Tegal. Lanang juga produktif menciptakan lagu-lagu Tegalan yang disebarkan melalui jalur indie label.
- Ki Slamet Gundono
Kongres bahasa Tegal
Kongres bahasa Tegal pertama digelar oleh pemerintah kota Tegal pada tanggal 4 April 2006, di hotel Bahari Inn kota Tegal. Acara yang digagas oleh Yono Daryono tersebut menghadirkan beberapa tokoh antara lain SN Ratmana (cerpenis), Ki Enthus Susmono (dalang Tegal), Eko Tunas (penyair Tegal). Tujuan digelarnya kongres itu adalah untuk mengangkat status dialek Tegalan menjadi bahasa Tegal.
Bahasa gaul
Tak kalah dengan daerah lain, Tegal juga memiliki bahasa gaul yang asal muasalnya dari bahasa prokem. Bahasa ini pertama digunakan oleh para gerilyawan saat perang kemerdekaan. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan, bahasa prokem beralih fungsi menjadi bahasa gaul. Pola pembentukan bahasa gaul Tegal menggunakan distribusi fonem. Contoh kata jasak berasal dari kata bapak (bapa). Di sini huruf B digeser (diganti) dengan huruf J, dan huruf P diganti dengan huruf S. Sementara huruf hidup (vokal) tidak mengalami perubahan.
Kosa kata bahasa gaul Tegal
Asal kata | Bahasa Gaul Tegal |
---|---|
aku | yanu |
bapa (k) | jasak |
mbok (ibu) | jok |
batir (teman) | jakwir |
kakang (kakak) | sahang |
minum | nyikung |
adik | yarik |
balik (pulang) | jagin |
wadon (cewek) | tarok |
Pelajaran bahasa daerah
Sejak masa kepemimpinan H Mardiyanto, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerapkan aturan agar setiap siswa (dari SD sampai SMA) mendapatkan pelajaran Bahasa Jawa. Namun kebijakan ini menemui kendala yakni persoaln dialek bahasa. Sebagai contoh, anak yang lahir di Tegal otomatis bahasa ibu-nya adalah Bahasa Tegal, bukan Yogyakarta atau Solo. Jika Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah hanya mengacu pada bahasa standar saja, tentu para siswa akan susah menyesuaikan dengan ?kultur yang telah mereka terima sejak lahir. Akhirnya muncul anggapan, pelajaran Bahasa Jawa di sekolah merupakan 'paksaan' agar menggunakan bahasa-nya orang wetanan.