Mojowarno, Jombang
Mojowarno adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Jogoroto dan Mojoagung di sebelah utara, kecamatan Mojoagung dan Wonosalam di sebelah timur, kecamatan Bareng di sebelah selatan, serta kecamatan Ngoro dan Diwek di sebelah barat. Mata pencaharian pokok penduduk adalah bertani dengan hasil utama pertanian meliputi padi, jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah serta sayur-sayuran. Selain itu di beberapa desa terdapat sentra industri kreatif seperti pengrajin genteng di desa Karanglo, Kedungpari dan Gedangan, pengrajin mebel di desa Catakgayam, pengrajin tas dan dompet di desa Rejoslamet, pengrajin wayang kulit di desa Mojowangi, serta pengrajin tas plastik di desa Selorejo.
Mojowarno | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Jombang | ||||
Populasi | |||||
• Total | 81,320 jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 35.17.07 | ||||
Kode BPS | 3517060 | ||||
Luas | 78,62 km² | ||||
Kepadatan | 1.034 jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 19 | ||||
|
Pembagian Administratif
Kecamatan Mojowarno terdari dari 19 desa :
Sejarah
Sejarah Mojowarno tak bisa lepas dari R.Paing Wiryoguno. Wiryoguno lahir di Bangkalan pada tahun 1809 kemudian pindah ke Sidoarjo. Sejak kecil dia telah gemar dengan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan yang membuatnya tak berhenti mencari ilmu dari pelosok Surabaya sampai pelosok Banyuwangi. Pada suatu ketika dia mendapat penglihatan adanya ilmu Musqab Gaib, ilmu yang mampu membuat manusia hidup damai, sejahtera dan kuat. Perjalanan mencari ilmu Musqab Gaib membawanya ke Ngoro dan bertemu dengan Coenrad Laurens Coolen. Penjelasan Coolen ini membuat Wiryoguno semakin tertarik mendalami ilmu tersebut yang tidak lain adalah Ajaran Kristus.
Sepulang dari Ngoro, Wiryoguno menjelaskan apa yang diperolehnya kepada sanak saudaranya. Untuk mendalami ilmu yang dia peroleh maka dia dan keluarganya menemui Johannes Emde. Setelah dua tahun belajar dia dan keluarganya memutuskan untuk dibaptis. Setelah dibaptis nama Wiryoguno diberi nama Karolus. Ternyata setelah menjadi pengikut Kristus, Karolus Wiryoguno dan keluarganya banyak dimusuhi penduduk di desanya. Selain itu desakan ekonomi dan jauhnya tempat beribadah membuat Karolus Wiryoguno dan keluarganya mempunyai keinginan memiliki desa sendiri. Adapun daerah yang menjadi perhatiannya adalah Hutan Keracil dekat daerah Ngoro.
Melalui bantuan Pendeta Maher, maka keluarga Karolus Wiryoguno berhasil mendapat surat ijin membuka hutan dari Residen Surabaya. Selanjutnya keluarga ini menuju pedukuhan dekat Hutan Keracil yang bernama Dagangan dan bertemu dengan Ditotruno yang telah dia kenal sewaktu di Ngoro. Karolus Wiryoguno menyampaikan maksudnya dan Ditotruno bersedia menampung mereka untuk beberapa hari.
Untuk membuka hutan yang sangat luas tidak bisa dilakukan dengan menebang pohon sendiri-sendiri tanpa perencanaan dan kerjasama. Oleh karena itu Karolus Wiryoguno berunding dengan Ditotruno. Pembukaan Hutan Keracil dimulai dari sebelah utara rumah Ditotruno dan sebelah barat Sungai Jiken untuk pemondokan dulu dan selanjutnya untuk lahan sawah.Setelah sepuluh hari lamanya rombongan ini pamit untuk pindah ke tempat yang baru. Selanjutnya Karolus melontarkan ide kepada Ditotruno bahwa dukuhan yang baru dibuka ini dinamakan MOJOWARNO. Kata "MOJO" diambil dari kata Mojopahit, karena Hutan Keracil ini dahulu masuk wilayah Mojopahit. Adapun ''WARNO" karena penghuninya berasal dari berbagai daerah, berlatar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda (jawa : warno-warno).
Selanjutnya Karolus Wiryoguno sampai dengan tahun 1874 berhasil mengembangkan pembukaan Hutan Keracil dari batas Bayem ke selatan sampai Ngares menjadi 27 desa yaitu desa Kayen, Mojotengah, Mojoanyar, Kedungpring, Mojounggul, Kuwik, Sumberagung, Mindi, Jabaran, Ngares, Banyu Urip,Bulu, Plosorejo, Kedungsuruh, Sidowayah, Mundusewu, Murangagung, Tebel, Kupang, Kembang Tanjung, Jlopo, Larangan, Jambangan, Latsari, Mojosari, Kebonagung , dan Sukobendu.
Sosial dan Budaya
Di kecamatan ini berdiri salah satu gereja tertua di Jawa Timur yaitu Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno yang diresmikan pada tanggal 3 Maret 1881. Tidak mengherankan, kecamatan ini memiliki populasi Kristen terbanyak di Kabupaten Jombang.
Umat Kristen jemaat Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Mojowarno setiap tahunnya merayaan tradisi unduh-unduh. Unduh-unduh merupakan upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan YME atas hasil panen yang diterima oleh petani Kristen di daerah Mojowarno. Berbagai hasil bumi dihias di atas gerobak dan diarak keliling desa. Biasanya upacara ini diselenggarakan tiap bulan Mei setiap tahunnya.
Di Mojowarno juga terdapat Rumah Sakit Kristen Mojowarno yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1894. Rumah sakit ini awalnya bernama ''Zendings Ziekenhuis te Mojowarno". Pada saat perang kemerdekaan tahun 1948 bangunan rumah sakit ini dihancurkan dengan siasat bumi hangus, karena rumah sakit ini dipakai sebagai Rumah Sakit Pertahanan Surabaya Selatan. Pada tahun 1949 rumah sakit ini dibangun kembali oleh masyarakat Kristen di daerah Mojowarno dan dinamakan "Rumah Sakit Kristen Mojowarno" sampai sekarang
.
Peninggalan Sejarah
Bagian timur wilayah kecamatan Mojowarno dipercaya masuk dalam wilayah ibukota Kerajaan Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan penemuan beberapa situs sejarah seperti :