Jalur kereta api Muaro Kalaban–Muaro–Pekanbaru
Jalur kereta api Muaro–Pekanbaru adalah jalur kereta api nonaktif antara Muaro, Sijunjung dan Pekanbaru sepanjang 220 kilometer yang dibangun pada masa Perang Dunia II oleh pekerja romusha Jepang dan dikontrol oleh Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda).
Jalur kereta api Muaro–Pekanbaru | |
---|---|
Berkas:Locomotive Remains on the Pekanbaru Death Railway 2.jpg | |
Ikhtisar | |
Jenis | Jalur lintas utama |
Sistem | Jalur kereta api rel berat |
Status | Tidak beroperasi |
Terminus | Kamp 13 Muaro Kamp 1 (Pekanbaru) |
Operasi | |
Dibangun oleh | Rikuyu Sokyoku |
Dibuka | Agustus 1945 (gagal) |
Ditutup | 1945 (gagal) |
Dibuka kembali | 2019 (rencana) |
Operator | Rikuyu Sokyoku Eksploitasi Sumatera |
Data teknis | |
Lebar sepur | 1.067 mm (3 ft 6 in) |
Jalan kereta api dari Muaro ke Pekanbaru di provinsi Riau dibangun pekerja paksa antara bulan September 1943 sampai dengan 15 Agustus 1945. Jalur ini dikerjakan oleh romusha dan Tawanan perang Belanda. Menurut laporan Palang Merah Internasional, sekitar 80.000 dari 102.300 orang romusha yang didatangkan dari Jawa meninggal dan sekitar 700 orang tawanan perang Eropa meninggal.
Latar belakang
Rencana pembangunan jalur kereta api antara Muaro dan Pekanbaru sudah dimulai sejak awal abad 20, namun karena berbagai hal Pemerintah pusat di Belanda belum tertarik untuk menindaklanjuti rencana ini.
Pada tahun 1920, Staatsspoorwegen melanjutkan kembali penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya. SS menugaskan Ir. W.J.M. Nivel untuk mengkaji dan meneliti kemungkinan dibangunnya jalur kereta api ke pantai timur Sumatera. Dia menuliskan laporan penelitian dan pedoman teknis pembangunan jalur ini dalam dokumen Staatsspoorwegen no.19 tahun 1927.
Akhirnya rencana pembangunan jalur kereta api ini ditunda setelah mempertimbangkan bahwa eksploitasi jalur kereta api ke arah Pekanbaru yang sebagian besar hanya mengandalkan Batubara maka menurut perhitungan, biaya pembangunan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dari eksploitasi. Selain itu, medan yang dilalui cukup berat dan banyaknya sarang nyamuk malaria yang dapat membuat biaya pembangunan membengkak.
Namun pada saat masa pendudukan Jepang, jalur Muaro–Pakanbaru menjadi prioritas utama karena kebutuhan energi batubara untuk perang yang amat mendesak. Lebih dari itu, Jepang memiliki sumber daya manusia yang banyak dan murah, yaitu romusha dan tawanan perang.
Konstruksi
Pada bulan Maret 1943, rombongan romusha dari Pulau Jawa tiba di Pekanbaru. Mereka bertugas membangun emplasemen di Pakanbaru untuk mempermudah pembangunan jalur kereta api menuju pedalaman.
Jepang memimpin pembangunan rel kereta sejauh 220 km dari Pekanbaru sampai Selat Malaka menggunakan tenaga kerja paksa dan tahanan perang. Pembangunan ini dilakukan selama 15 bulan yang melalui pegunungan, rawa-rawa, dan sungai-sungai yang berarus deras.[1] Sebanyak 6.500 tahanan perang Belanda (kebanyakan Indo-Eropa) dan Britania Raya ditambah lebih dari 100.000 romusha Indonesia (kebanyakan suku Jawa) dikerahkan oleh militer Jepang. Saat proyek ini rampung bulan Agustus 1945, hampir sepertiga tahanan perang Eropa dan lebih dari separuh kuli Indonesia telah meninggal dunia.
Rel kereta ini bertujuan sebagai media pengangkutan batu bara dan tentara dari Pekanbaru ke rel kereta api lain di Muaro di barat pulau Sumatera. Pembangunan rel selesai pada 15 Agustus 1945. Rel ini hanya sekali digunakan untuk membawa tahanan perang keluar dari wilayah tersebut, lalu dibiarkan tertutup hutan.[2]
Material rel dan bantalannya diambil dari Deli Spoorweg Maatschappij di Sumatera Utara. Namun ada juga pekerja yang melihat adanya material dari Malang Stoomtram Maatschappij.
Jepang juga mengambil kendaraan rel dan pegawai dari DSM. Ada 3 lokomotif DSM yang diambil. Dua diantaranya adalah lokomotif 1B1 buatan Hanomag.
Pembangunan jalan rel dibangun secara asal-asalan karena masing-masing tentara Jepang dan romusha tidak mengerti bagaimana cara membangun jalan rel yang baik. Bantalan rel dibuat dari kayu apa saja yang ada di hutan, sehingga bantalan-bantalan tersebut pecah saat rel ditancapkan pada kayu tersebut.
Apabila jalan rel melintasi rawa, rawa tersebut hanya diuruk ala kadarnya tanpa dipadatkan, sehingga tanah ini sangat rawan ambles apabila dilewati Kereta Api.
Jembatan rel yang dibangun pun dibuat seadanya sehingga konstruksi jembatan amat rapuh dan bisa saja ambruk sewaktu-waktu.
Di daerah Logas, menurut para insinyur SS seharusnya dibangun Terowongan menembus Bukit Barisan. Tetapi tentara Jepang tidak mengindahkan pendapat para Insinyur SS dan sebaliknya membuat jalur memutar di samping jurang dan membuat Talud yang konstruksinya amat buruk. Beberapa saat sebelum Jepang menyerah kereta yang ditumpangi para romusha anjlok di tempat ini dan jatuh ke jurang.
Daftar stasiun / kamp
Kesaksian
George Duffy, satu dari 15 tentara Amerika Serikat sekaligus penyintas MS American Leader yang tenggelam, menceritakan kehidupan dan kematian tahanan perang di MemoryArchive; malaria, disentri, pelagra, dan malagizi/beri-beri adalah penyakit utama yang diakibatkan oleh kerja berlebihan dan perlakuan tak layak. Katanya, "harapan hidup rata-rata 700 tahanan perang yang tewas dalam proyek ini adalah 37 tahun 3 bulan."[3]
Warisan
Rel kereta ini tidak pernah dimanfaatkan sepenuhnya dan masih terbengkalai.[4] Di tempat lain, Jepang memerintahkan pembangunan rel kereta api Burma dan rel kereta api Tanah Genting Kra (dari Chumphon ke Kra Buri).
Tugu Rel Kereta Api Sumatrera (Sumatra Railway Memorial) dibuka pada Hari Kemenangan Atas Jepang tahun 2001 di National Memorial Arboretum di Alrewas, dekat Lichfield, Staffordshire, Inggris. Tugu ini memperingati kurang lebih 5.000 tahanan perang dan 30.000 pekerja lokal yang dipaksa membangun proyek rel kereta api Sumatera sejauh 140 mil. Tugu ini terletak dekat Far East Prisoners of War Memorial Building.[2] Pembukaan tugu tersebut dihadiri oleh mantan tahanan perang, duta besar Jepang untuk Britania Raya (Sadayuki Hayashi), dan meliputi peletakan batu perdamaian dan penanaman pohon sebagai simbol perdamaian.[2]
Galeri
-
Jalur kereta api di ruas Muaro-Silokek yang telah beralih fungsi menjadi jalan semen.
-
Bekas jalur kereta api (menjadi jalan semen) ke arah Muaro bersampingan dengan Sungai Indragiri, Muaro Sijunjung.
-
Pilar jembatan K.A. di daerah Padang Tarok.
-
Lokomotif C yang ditemukan warga di Silukah, Durian Gadang, Muaro Sijunjung yang telah dinyatakan sebagai benda cagar budaya oleh pemerintah.
-
Tahanan Perang berjalan di rel kereta api Muaro-Pekanbaru
-
Proses pembangunan jalur KA Muaro-Pekanbaru oleh tahanan perang.
-
Para tahanan perang berjalan di atas railbed Jalur KA Muaro-Pekanbaru.
-
Peta jalur kereta api Muaro-Pekanbaru.
-
Peta jalur KA Muaro-Pekanbaru serta lokasi Kamp Romusha dan para tahanan perang.
Referensi
- ^ Nusantara, Tim Telaga Bakti; Perkeretaapian, Asosiasi Pakar (1997). Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 (edisi ke-Cet. 1). Bandung: CV Angkasa. hlm. 146.
- ^ a b c Memorial to Sumatra railway dead 15 August 2001 BBC News
- ^ Duffy, George (5 January 2006). "The Death Railway, April 1945". MemoryArchive. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 June 2008. Diakses tanggal 2 January 2015.
- ^ Hovinga, Henk (2010). The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943-45. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067183284.
Pranala luar
- (Belanda) Pakan-Baroe-spoorweg
- (Inggris) Life and Death on the Death Railway
- (Inggris) Pekanbaru railway 1943-45 by Robert Cribb
- (Inggris) Pakan Baroe Death Railway
- (Inggris) "Jalan Kereta Api Maut yang Terlupakan", in Railways of Indonesia
- (Inggris) Pekanbaru Death Railway
- Majalah Kereta Api edisi 87, Oktober 2013.
- Op Dood Spoor. Hovinga, Henk. 2013.