Kerajaan Caruban Larang

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 27 November 2018 06.50 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Kerajaan Cirebon Larang adalah sebuah kerajaan pra-Islam di wilayah Cirebon sekarang, yang berada di bawah Kerajaan Pajajaran. kerajaan ini cikal bakal Kesultanan Cirebon.

Pada awal pembentukannya, hanya berstatus sebagai pakuwuan dan Mandala Muarajati. Daerah ini dibuka oleh Raden Walangsungsang, setelah beliau meminta izin pada Ki Gedeng Tapa seorang penguasa Singhpura (Sing Apura). Setelah membentuk tempat pemukiman, akhirnya secara administratif Cirebon Larang terpisah dengan Sing Apura.

Lokasi Cirebon Larang tadinya merupakan kawasan hutan di wilayah Cirebon Pesisir yang biasa disebut Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Disana Raden Walangsungsang dibantu oleh 52 orang penduduk membuka tempat pemukiman pada tahun 1445 M.

Tidak jauh dari lokasi Cirebon Larang, terdapat sebuah sungai yang cukup besar bernama Kali Kriyan, dimana banyak penduduk setempat yang mencari ikan di tempat itu. Perkampungan tersebut dihuni oleh berbagai suku campuran dari berbagai etnis, dan penduduk setempat kemudian mempercayakan Ki Danusela (adik pendeta Buddha Ki Danuwarsih) sebagai kuwu, sedangkan Walangsungsang bertindak sebagai Pangraksabumi yaitu seorang yang memperhatikan dan memelihara kebaeradaan tanah pemukiman dengan gelar Ki Cakrabuana.[1]

Sejarah Terbentuknya Keajaan Cirebon Larang

Sebelum Walangsungsang mendirikan pemukiman di Cirebon Larang, sebenarnya di sekitar wilayah tersebut telah berdiri pakuwuan (di bawah wilayah Kerajaan Singhapura) yang dipimpin oleh Ki Danusela. Tetapi dengan ilmu dan kecakapan dari Walangsungsang, pakuwuan tersebut semakin berkembang dan tertata rapi.

Penunjukan Ki Danusela sebagai kuwu pertama di Cirebon Larang, karena jabatan tersebut telah disandangnya sebelum Walangsungsang datang dan mendirikan pemukiman baru. Ketokohan Ki Danusela rupanya masih diperhitungkan dan dihormati oleh penduduk setempat maupun Walangsungsang sendiri.

Ki Danusela adalah adik dari Ki Gedeng Danuwarsih (mertua dari Walangsungsang). Istri Ki Danusela bernama Nyi Arum Sari dari Cirebon Girang. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Retna Riris.

Selain diperintahkan untuk membuka lahan baru, pada tahun 1448 M, setelah selesai membangun tempat pemukiman baru yang semakin maju, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama adiknya, Nyai Larasantang. Tetapi istrinya Walangsungsang yang bernama Nyai Indang Geulis tidak diikut sertakan karena sedang mengandung.

Usai menunaikan ibadah haji, Walangsungsang sangat berbahagia karena Indang Geulis (istrinya) telah melahirkan seorang puteri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Sedangkan anak dari pernikahannya dengan Nyi Rasa Jati antara lain :

  • Nyi Lara Konda
  • Nyi Lara Sejati
  • Nyi Jati Merta
  • Nyi Mertasinga
  • Nyi Campa
  • Nyi Rasa Melasih.

Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang akhirnya diangkat menjadi kuwu Cirebon Larang yang ke-2. Selanjutnya, untuk mengislamkan keluarga Ki Danusela, Walangsungsang menikah lagi dengan puteri dari Ki Danusela yang bernama Retna Riris (kemudian berganti nama menjadi Kancana Larang). Dari pernikahannya kali ini, Walangsungsang dikaruniai seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kemudian setelah dewasa menjadi kuwu di Cirebon Girang).

Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih menggiatkan penyebaran Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan (masjid tertua di Cirebon) pada tahun 1456 M.[2]

Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden Walangsungsang mengenai penyebaran Islam diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata (yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maharaja). Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata.

Ki Gedeng Tapa (Kerajaan Singhapura) meninggal dunia, Raden Walangsungsang kemudian meneruskan tugas untuk mengatur Pelabuhan Muara Jati dan menyatukan wilayah Kerajaan Singhpura dengan wilayah pakuwuan Cirebon Larang dalam satu kekuasaan. Untuk mengamankan dan mempertahankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai, Raden Walangsungsang membentuk satuan keamanan dan ketertiban. Pengelolaan secara otonomi, makin membuat situasi pelabuhan makin ramai, dan pemasukan pendapatan ke Kerajaan Pajajaran pun semakin besar. Harta warisan yang berlimpah dari Ki Gedeng Tapa kemudian digunakannya untuk membuat sebuah keraton yang bernama Keraton Pakungwati[3] (diambil dari nama puterinya) di tepian Kali Kriyan, serta membentuk satuan prajurit. Keraton Pakungwati dibuat sebagai kompleks keraton yang sangat indah, di mana didalamnya terdapat taman sari dan kolam pemandian tempat para puteri keraton membersihkan diri.

Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) serta Rajasengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran.

Setelah acara penobatan dilangsungkan, Rajasengara (Kian Santang) tidak pulang ke Pakuan tetapi memilih tinggal bersama kakaknya di Kerajaan Cirebon Larang. Disinilah beliau bertemu dengan seorang gadis dari Campa yang bernama Nyi Halimah atau Nyi Gedeng Kalisapu.

Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam. Apa yang dilakukan Raden Walangsungsang tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan Pajajaran. Raden Walangsungsang, waktu itu menjadi satu-satunya pejabat tinggi (setingkat raja) dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam.

Kesultanan Cirebon

Agama Islam semakin berkembang, Larasantang bersama suaminya (Syarif Abdullah) pulang ke Cirebon setelah beberapa lama tinggal di Mesir. Kehadiran mereka di Cirebon disertai juga dengan puteranya yang telah tumbuh dewasa (berusia 26 tahun). Putera tersebut bernama Syarif Hidayatullah, yang pernah belajar Islam di Mekkah pada usia 20 tahun. Selama 2 tahun beliau berguru pada Syekh Tajumudin Al Kubri, kemudian 2 tahun berikutnya dilanjutkan dengan berguru pada Syekh Ataillah Syazali. Setelah dari Mekkah pencarian ilmunya dilanjutkan ke Baghdad untuk belajar tasawuf selama 2 tahun, akhirnya tiba di Cirebon

Syarif Hidayatullah aktif mengajar Islam di dukuh Babadan. Disana ia bertemu dengan Nyai Babadan (puteri Ki Gedeng Babadan) yang kemudian dinikahinya. Dengan semakin gencarnya Syarif Hidayatullah berdakwah mengajarkan agama Islam di tatar Pasundan (menggantikan peran Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat), maka beliau kemudian dikenal sebagai Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.

Setelah Nyai Babadan meninggal, Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyimas Pakungwati (puteri Raden Walangsungsang) dan Nyai Lara Baghdad (puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi). Dari pernikahannya dengan Nyai Lara Baghdad, beliau dikaruniai 2 orang putra yaitu :

  • Pangeran Bratakelana atau Pangeran Gung Anom (kemudian menikah dengan Ratu Nyawa, putri dari Raden Patah, Sultan Demak).
  • Pangeran Jayakelana (kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pembaya, putri dari Raden Patah).

Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Banten, Bupati Kawunganten (salah satu bawahan Pajajaran di wilayah Banten Pesisir) yang bernama Arya Surajaya (anak sulung dari Surasowan -raja Banten Pesisir), menerima dengan terbuka pada agama Islam. Kemudian adiknya yang bernama Nyai Kawunganten (anak bungsu dari Surasowan) diperistri oleh Syarif Hidayatullah. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten yang masih cucu dari Prabu Jayadewata tersebut lahirlah Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin (kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin) pendiri Kesultanan Banten.

Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon pada tahun 1479 M, setelah melakukan penyebaran Islam di wilayah Banten. Sementara itu, setelah Raden Walangsungsang makin mampu meningkatkan kekuatannya dalam memimpin wilayah Cirebon Larang, dia ingin wilayahnya bebas berdaulat, mandiri tidak lagi di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena itu, beliau mengirim keponakannya (Syarif Hidayatullah) untuk pergi ke Kesultanan Demak (Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa) yang dipimpin oleh Raden Patah.

Raden Walangsungsang mengharapkan Syarif Hidayatullah bisa menyerap ilmu pengetahuan dari Raden Patah bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri. Di Demak, selain belajar ilmu pemerintahan dari Sultan Agung, Syarif Hidayatullah juga berguru pada Sunan Ampel.

Selain belajar ilmu pemerintahan, di sana Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyi Tepasari (putri dari Ki Ageng Tepasan yaitu pembesar Majapahit yang pro Raden Patah). Dari pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai dua orang anak yaitu :

  • Nyi Mas Ratu Ayu (kemudian menikah dengan Pangeran Sabrang Lor atau Sultan Demak ke-2),
  • Pangeran Mohamad Arifin (kemudian dikenal sebagai Pangeran Pasarean).

Sepulangnya dari Demak, Syarif Hidayatullah segera pulang ke Cirebon dan Raden Walangsungsang meminta Syarif Hidayatullah untuk segera menggantikan kedudukannya. Atas perintah dari uwaknya tersebut, akhirnya beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah meneruskan kepemimpinannya. Namun, kepemimpinannya kali ini ditingkatkan menjadi bentuk Kesultanan Islam yang merdeka (lepas dari Kerajaan Pajajaran). Raden Walangsungsang memberanikan diri mewujudkan impiannya itu setelah ayahnya, Sri Baduga Maharaja turun tahta (wafat).

Sri Baduga Maharaja berkuasa, sangat kharismatik, disegani serta dihormati oleh seluruh rakyat barat Jawa. Sehingga Raden Walangsungsang pun mungkin merasa segan untuk memerdekakan diri dari kekuasaannya saat itu. Tetapi setelah tahta Pajajaran turun pada Surawisesa (saudara seayah Raden Walangsungsang), maka Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Cirebon Larang dianggap sederajat. Sejak itulah, status Cirebon Larang yang tadinya hanya sebuah kerajaan bawahan Pajajaran kini berubah menjadi Kesultanan Cirebon yang merdeka.[4]

Referensi

  1. ^ Sulendranigrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
  2. ^ Adeng. 1998. Kota dagang Cirebon sebagai bandar jalur sutra. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
  3. ^ Media, Kompas Cyber. "Kanoman, Sejarah yang Luka... - Kompas.com". KOMPAS.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-04-03. 
  4. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 9789798451164.