Pakuan Pajajaran

Ibukota Kerajaan Sunda

Pakwan Pajajaran, atau hanya disebut Pakuan atau Pajajaran, adalah ibu kota dari Kerajaan Sunda yang pernah berdiri pada tahun 932–1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Pada masa lalu, di Asia Tenggara terdapat kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran. Kebanyakan sejarawan sepakat untuk menempatkan ibu kota Pakuan Pajajaran di Kota Bogor, Jawa Barat, pada masa pemerintahan Raja Jayadewata (Sri Baduga Maharaja) periode 1482-1521.[1]

Menurut peta Portugis, lokasi berdirinya Pajajaran berada di suatu wilayah yang saat ini merupakan bagian dari Bogor, Jawa Barat.[2] Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke-15 sampai awal abad ke-16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada masa itu digambarkan secara terperinci dalam naskah kuno tersebut.[3]

Toponimi

sunting

Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:[4]

  1. Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Naskah berbahasa Sunda Klasik ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran berdasarkan keadaan di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
  2. K.F. Holle (1869) dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor). Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku dengan sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
  3. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Menurutnya, Pakuan mengandung pengertian "paku" atau "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Rouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit. Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.[5]
  4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921) dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis di Bogor). Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" berasal dari bahasa Kawi "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
  5. H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah Prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
 
Prasasti Batutulis di Bogor yang merupakan sisa-sisa peninggalan Pakuan Pajajaran.

Ten Dam berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (hoffstad) dan harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjau berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).

Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer, Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 dan 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata). Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka-lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surosowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan berarti ibu kota) dipandang benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda tersebut bernama Dayo (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan yang berjarak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama Dayo didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata dayeuh bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan kata pakuan digunakan untuk menyebut ibu kota dalam kesustraan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaran.

Penelitian

sunting

Naskah kuno

sunting
 
Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2, 2005)

Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:

Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung nama sekarang, dan bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan kata "kancil" memang berarti "peucang".

Berita-berita VOC

sunting

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Vereenigde Oostindische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"/Perusahaan Hindia Timur Britania), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

Laporan Scipio

sunting

Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:

  • Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
  • Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Camphuys kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

Laporan Adolf Winkler (1690)

sunting

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut: Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuno yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.

  • Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.
  • Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.
  • Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

  • Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).

Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

  • Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

sunting

Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.

  • Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).
  • Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
  • Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.

Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Khusus laporan dari Van Riebeeck adalah selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:

  • Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
  • Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
  • Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
  • Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

Hasil Penelitian

sunting

Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,

"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton berada di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.

Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.

Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kota yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancarai Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi--Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas pondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Kehancuran

sunting
 
Palangka Sriman Sriwacana

Karena politik dan penyebaran agama Islam maka terjadi perebutan atas wilayah kekuasaan kerajaan Sunda (Pajajaran) oleh Kesultanan Cirebon (wilayah Pajajaran yang dipimpin oleh cucu Siliwangi) yang mendapat dukungan dari Demak di antaranya Banten dan Sunda Kelapa. Pakuan Pajajaran hancur pada tahun 1579 M akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda.

Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, yang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Raja-raja yang pernah memerintah

sunting

Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:

  1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor sekarang)
  2. Surawisesa (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan
  3. Ratu Dewata (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan
  4. Ratu Sakti (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan
  5. Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf
  6. Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang

Rujukan

sunting
  • “Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
  • Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16
  • Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
  • The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Kartapranata, Gunawan (2024-09-14). "Mencari Pakuan Pajajaran". Kompas.id. Diakses tanggal 2024-12-03. 
  2. ^ "Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580". 
  3. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 437. 
  4. ^ Danasasmita, Saleh (1983). Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA BOGOR. 
  5. ^ Stibbe, D.G (1919). Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. Leiden: s-Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1932.