Abdurrahman Mohammad Fachir
Abdurrahman Mohammad Fachir (lahir 26 November 1957) adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Republik Arab Mesir. Ia dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 September 2007.
Nama Abdurrahman Mohammad Fachir berasal dari bahasa Arab. Abdurrahman berarti hamba Allah Yang Maha Rahman (Pengasih), Mohammad berarti yang terpuji atau mendapat pujian dan Fachir berarti yang hebat (excellent dan superior).
Dengan demikian, nama Abdurrahman Mohammad Fachir artinya hamba Allah yang terpuji dan hebat.
Pendidikan
Fachir mengenyam pendidikan dasarnya di Banjarmasin, lalu berhijrah ke Pulau Jawa untuk mendalami ilmu agama dan bahasa asing (Arab dan Inggris) di Pondok Pesantren Walisongo Ngabar dan Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Tahun 1980, Fachir bertolak menuju ibukota guna melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan diwisuda sebagai sarjana bergelar doctorandus (Drs) pada bulan Agustus 1983.
Perkawinan
Fachir menikah pada tanggal 7 Januari 1983 dengan Yasmin Sukmawira (lahir di Samarinda, 13 November 1958) dan telah dikaruniai tiga anak, yaitu Rif'at Syauqi Rahman Fachir (lahir bulan Oktober 1983, mahasiswa S2 Fisip UI dan pemain piano Band Maliq & D'Essentials), Nabila Fauzia Rahman Fachir (lahir tahun 1988, mahasiswi S2 Psikologi HELP University College Kuala Lumpur) dan Faris Karami Rahman Fachir (lahir tahun 1994, pelajar SMP Sekolah Indonesia Cairo).
Karier Diplomat
Pada bulan November 1983, Fachir diterima sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Luar Negeri. Ia memulai karier di departemen pimpinan Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja, SH sebagai Pjs. Kepala Seksi Dewan Keamanan PBB Direktorat Organisasi Internasional pada tahun 1985.
Tahun 1988 Fachir ditugaskan di KBRI Baghdad sampai tahun 1992, saat-saat terjadinya invasi Irak terhadap Kuwait yang kemudian menyulut Perang Teluk I. Dalam peperangan yang berkecamuk, Fachir bersama para staf KBRI Baghdad harus mengungsikan ratusan WNI, sebagian besar TKW, keluar dari Baghdad menuju Yordania.
“Jarak evakuasi ada ribuan kilometer dari Baghdad. Kami pun lewat di tengah peperangan. Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami. Deg-degan juga, dan sampai sekarang masih sering teringat kejadian itu,” kenang Fachir seperti dikutip Banjarmasin Post, 21 Oktober 2007.[1]
Sepulang dari negeri Saddam Hussein, Fachir lalu diperbantukan pada Badan Pelaksana Ketua Gerakan Non Blok (GNB) saat Indonesia memimpin GNB (1992-1995) dan kemudian menempati pos di Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York sebagai Penanggung jawab Satuan Tugas GNB pada tahun 1995-1999.
Pada tahun 1999-2002 Fachir ditunjuk sebagai Kepala Subdit Politik dan Keamanan, Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri, sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Panitia Kerja Tetap Antar Departemen. Setelah itu, ia dipercaya sebagai Kepala Biro Naskah dan Penerjemahan Sekretariat Negara sekaligus sebagai Penerjemah Resmi Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002-2004.
Wakil Kepala Perwakilan di Malaysia
Tahun 2004 Fachir diangkat menjadi Wakil Kepala Perwakilan di Malaysia dan menjadi Kuasa Usaha Ad Interim semenjak berakhirnya masa jabatan Duta Besar Rusdiharjo, pada Februari 2007.
Meskipun hanya 6 bulan memimpin KBRI Kuala Lumpur, Fachir berhasil memotong birokrasi panjang. Pembuatan paspor yang sebelumnya memakan waktu 30 hari menjadi 3 hari saja. Ia hentikan praktek korupsi yang telah berlangsung lama di KBRI Kuala Lumpur, yaitu pungutan tambahan atas biaya pembuatan paspor para TKW/TKI yang di-mark up melalui SK ganda.
Fachir tidak menerima uang haram itu. Ketika ada pemeriksaan KPK di KBRI Kuala Lumpur, ia dinyatakan tidak terbukti menikmati uang insentif yang dibagikan kepada seluruh pejabat di sana.
Duta Besar di Mesir
Fachir dilantik sebagai duta besar di Mesir pada tanggal 5 September 2007 bersama dengan enam duta besar lainnya, seperti Marty Natalegawa untuk posisi duta besar di PBB.
Ia tiba di negeri Piramida tanggal 30 Oktober 2007 dan tercatat sebagai duta besar ke-18 menggantikan Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA yang habis masa tugasnya 30 November 2005.
Fungsi Pembinaan Mahasiswa
“Ini duta besar baru dan ini baru duta besar,” demikian puji Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin kepada Duta Besar Fachir atas keberhasilannya menyelenggarakan lokakarya bertemakan “Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir”.
Fachir dipuji di hadapan Menteri Agama Maftuch Basyuni, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim dan lebih dari 1500 mahasiswa, dalam dialog umum dan penutupan lokakarya di Cairo, 13 April 2008.
Lokakarya yang dibuka Grand Syech Al-Azhar, Prof. Dr. Mohamed Sayed Tanthawi, berlangsung di Azhar Conference Centre (ACC), Cairo mulai tanggal 12 April 2008 dan dihadiri semua stakeholders, baik dari Tanah Air maupun pihak Mesir yang berjumlah sekitar 600 orang.
Di antara peserta lokakarya adalah tokoh-tokoh penting dari Universitas Al-Azhar, Kementerian Dalam Negeri Mesir, Kementerian Luar Negeri Mesir, Kedutaan Mesir di Jakarta, DPR RI (Komisi X), Departemen Luar Negeri RI, Departemen Agama RI, Departemen Pendidikan Nasional RI, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Gubernur Sumatera Barat, perwakilan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, Ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, ICMI), KBRI Cairo, PPMI Mesir, Alumni Al-Azhar, Asosiasi Pesantren, Lembaga Beasisawa, serta wakil-wakil dari berbagai organisasi kemahasiswaan di Mesir.
"Hari ini menjadi momentum bersejarah bagi mahasiswa Indonesia, generasi penerus yang menjadi tumpuan harapan umat; momentum untuk mengungkapkan harapan, memperbaharui tekad dan memperteguh komitmen dalam rangka memaksimalkan usaha dan doa dengan penuh kesadaran dan disiplin diri. Itu semua dilakukan guna mengejar tujuan utama yakni menggali sebanyak-banyaknya khazanah keilmuan dan keberkahan Al-Azhar. Sebuah ketetapan hati untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan dan usia; sebuah semangat untuk tidak membuat warisan Al-Azhar menjadi mubazir," ungkap Fachir dalam Pidato Pembukaan Lokakarya yang disampaikannya dalam bahasa Arab.[2]
“Mahasiswa kita itu 'kan aset bangsa. Sementara yang namanya Al-Azhar itu warisan keilmuannya luar biasa. Namun mengapa banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang mengalami hambatan dalam belajar, sehingga lebih dari separoh terlambat menyelesaikan studinya dan tidak dapat mengoptimalkan kebesaran Al-Azhar,” jelas Fachir mengenai alasan diselenggarakannya lokakarya seperti dikutip Republika, 2 Mei 2008.[3]
Fachir berani membedah persoalan mahasiswa yang kompleks dari berbagai perspektif, bukan parsial dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan yang relevan. Dan, itu dilakukannya baru beberapa bulan saja Fachir berkantor di KBRI sebelah Sungai Nil. "Kalau kita berlama-lama, maka korbannya makin banyak. Jadi, lebih cepat, lebih bagus," kata Fachir yang mengidolakan mahasiswa Indonesia di Mesir seperti sosok Fachri dalam Ayat-Ayat Cinta.[4]
Fungsi Politik
Selain mengurus 6000 mahasiswa Indonesia di Mesir, Fachir yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, memiliki visi untuk semakin meningkatkan hubungan kedua negara, Indonesia dan Mesir di berbagai bidang.
Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan Indonesia – Mesir mencapai puncak keharmonisannya pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Gamal Abdel Nasser. Keduanya dikenang sebagai tokoh pendiri Gerakan Non Blok, bersama Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.
Semua presiden Indonesia selalu mengunjungi Mesir, kecuali Presiden Habibie yang singkat masa jabatannya (17 bulan). Sementara kunjungan terakhir Presiden Hosni Mubarak ke Indonesia dilakukan pada tahun tahun 1983.
Fungsi Ekonomi
Di bidang ekonomi, khususnya perdagangan, hubungan Indonesia - Mesir dalam 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa masih banyak potensi kerjasama yang perlu digali. "Economically, in 2000, our balance of trade was $ 150 million, and in 2006 we were around $ 360 million. I believe our respective potentials are far higher than our current trade relations," kata Fachir dalam wawancara dengan Daily News Egypt, 19 Februari 2008.[5]