Penjarahan Amorion yang dilancarkan oleh Kekhalifahan Abbasiyah pada pertengahan Agustus 838 adalah salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Peperangan Arab-Bizantium. Pasukan Abbasiyah dipimpin secara langsung oleh Khalifah al-Mu'tasim (memerintah 833–842) dan mereka berniat membalas penyerangan yang dilancarkan oleh Kaisar Bizantium Teofilos (memerintah 829–842) ke wilayah perbatasan kekhalifahan setahun sebelumnya. Khalifah Mu'tasim menyerang Amorion, sebuah kota Bizantium di Anatolia bagian barat, karena tempat tersebut adalah tempat kelahiran dinasti pemerintahan Bizantium dan salah satu kota terbesar dan terpenting di wilayah Bizantium pada masa itu. Sang khalifah berhasil mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang besar, yang kemudian ia bagi menjadi dua. Kedua pasukan ini lalu menyerbu dari timur laut dan selatan. Pasukan timur laut berhasil mengalahkan pasukan Bizantium yang dipimpin oleh Teofilos di Anzen, alhasil pasukan Abbasiyah dapat memasuki pedalaman Asia Kecil dan berkumpul di Ankira, yang mereka temukan dalam keadaan ditinggalkan. Setelah menjarah kota tersebut, mereka bergerak ke arah selatan menuju Amorion, dan mereka tiba di kota tersebut pada 1 Agustus. Teofilos sendiri tidak dapat mengirimkan bala bantuan ke Amorion akibat persekongkolan di Konstantinopel dan pemberontakan kontingen Khurramiyah.

Penjarahan Amorion
Bagian dari Peperangan Arab–Bizantium

Miniatur dari Madrid Skylitzes yang menggambarkan pengepungan Amorion oleh pasukan Arab
TanggalAgustus 838
LokasiAmorion
Hasil Kota Amorion direbut dan dihancurkan oleh Abbasiyah
Pihak terlibat
Kekaisaran Bizantium Kekhalifahan Abbasiyah
Tokoh dan pemimpin
Kaisar Teofilos
Aetios
Khalifah al-Mu'tasim
Afshin
Ashinas
Ja'far bin Dinar al-Khayyat
'Ujayf bin 'Anbasa
Kekuatan
Sekitar 40.000 prajurit angkatan darat,[1] sekitar 30.000 di Amorion[2] 80.000[3]
Korban
30.000–70.000 prajurit dan warga tewas[4][5] Tidak diketahui

Amorion memiliki pertahanan yang sangat kuat, tetapi ada seorang pengkhianat yang membocorkan keterangan mengenai titik lemah di tembok kota tersebut, alhasil pasukan Abbasiyah memusatkan serangan mereka di tempat itu dan berhasil menjebol pertahanan kota. Boiditzes yang merupakan panglima di sisi tembok tersebut kemudian mencoba berunding dengan Abbasiyah tanpa memberitahukan atasannya terlebih dahulu. Ia lalu menyepakati gencatan senjata dan meninggalkan tempatnya bertugas, sehingga pasukan Arab dapat memasuki kota Amorion dan merebutnya. Amorion lalu dihancurkan dan tidak dapat bangkit lagi seperti sebelumnya. Banyak warganya yang dibantai dan sisanya diperbudak. Kebanyakan dari mereka yang selamat akhirnya dilepaskan setelah disepakatinya gencatan senjata pada tahun 841, tetapi para pejabat penting dibawa ke ibu kota Abbasiyah di Samarra dan beberapa tahun kemudian dihukum mati karena mereka menolak masuk Islam; semenjak itu, mereka dikenal dengan julukan 42 Martir Amorion.

Penaklukan Amorion tidak hanya menjadi malapetaka bagi Teofilos, tetapi juga membuat trauma rakyat Bizantium, seperti yang bisa dilihat dalam karya-karya sastra yang ditulis sesudahnya. Penjarahan ini memang tidak mengubah keseimbangan kekuatan di antara Bizantium dan Abbasiyah, dan secara perlahan Bizantium justru malah semakin menguat. Namun, dampak terbesar dari peristiwa ini dapat ditilik dari segi keagamaan. Kaisar Teofilos sangat mendukung ikonoklasme yang diyakini akan merahmati Bizantium dengan kemenangan yang gemilang. Penjarahan ini meruntuhkan keyakinan tersebut, alhasil kejatuhan Amorion menjadi faktor penting yang mendorong orang-orang meninggalkan ikonoklasme setelah Teofilos wafat pada tahun 842.

Latar belakang

Pada tahun 829, ketika kaisar muda Teofilos naik ke tampuk kekuasaan di Bizantium, negaranya sudah berkali-kali berperang melawan bangsa Arab selama hampir dua abad, meskipun perdamaian sempat terjaga selama hampir dua puluh tahun akibat berkecamuknya perang saudara di Kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa kenaikan takhta Teofilos, kaum Muslimin melanjutkan serangan mereka di timur di bawah kepemimpinan Khalifah al-Ma'mun (memerintah 813–833). Sementara itu, di sebelah barat, penaklukan Sisilia oleh Muslim berlangsung secara bertahap sejak tahun 827. Teofilos adalah sosok yang ambisius dan juga merupakan penganut ikonoklasme yang sangat teguh; ikonoklasme sendiri merupakan keyakinan yang melarang penggambaran tokoh-tokoh ilahi dan pemuliaan ikon-ikon. Ia mencoba mengukuhkan rezimnya dan memperkuat kebijakan ikonoklasme dengan cara memperoleh kemenangan dalam perang melawan Abbasiyah, musuh bebuyutan Kekaisaran.[6]

 
Koin follis jenis baru yang dicetak dalam jumlah besar untuk merayakan kemenangan Teofilos melawan Arab. Koin ini berasal dari sekitar tahun 835. Di bagian depan, ia digambarkan sedang mengenakan pakaian kemenangan dan toupha, sedangkan di bagian belakang, terdapat elu-eluan tradisional "Augustus Teofilos, engkau menaklukkan".[7][8]

Untuk mendapatkan rahmat Allah dan membalas persekongkolan kaum ikonofil, Teofilos menindas mereka dan orang-orang lainnya yang dianggap "bidaah" pada Juni 833, termasuk dengan melakukan penangkapan dan pengasingan, pemukulan, dan penyitaan harta benda. Dari sudut pandang para pendukung ikonoklasme, Allah tampak telah merestui tindakan tersebut: al-Ma'mun wafat pada tahap-tahap pertama serangan besar-besaran yang dilancarkan Abbasiyah dengan tujuan menaklukkan Konstantinopel, sementara saudara sekaligus penerusnya, al-Mu'tasim, memilih untuk memusatkan perhatiannya pada urusan-urusan dalam negeri, karena ia menghadapi kesulitan dalam menegakkan kekuasaannya dan ia juga harus memadamkan pemberontakan sekte Khurramiyah yang dipimpin oleh Babak Khorramdin. Hal ini memungkinkan Teofilos untuk mencetak berbagai kemenangan dalam selang waktu beberapa tahun, serta menggelembungkan jumlah pasukannya dengan tambahan sekitar 14.000 pengungsi Khurramiyah yang dipimpin oleh Nasr, yang dibaptis menjadi Kristen dan menyandang nama Teofobos.[9] Kemenangan yang diperoleh oleh Teofilos sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah dirundung kekalahan dan perang saudara selama dua dasawarsa di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar yang ikonofil, Teofilos merasa bahwa ia berhak mengklaim kemenangan tersebut untuk memperkuat kebijakan ikonoklasmenya. Maka dari itu, sang kaisar mulai mengaitkan dirinya dengan kaisar ikonoklas yang fanatik dan berjaya dalam hal militer, Konstantinus V (memerintah 741–775). Ia juga mengeluarkan koin follis tembaga jenis baru yang dicetak dalam jumlah besar; koin menggambarkannya sebagai kaisar Romawi yang gemilang.[7][8]

Pada tahun 837, atas desakan dari Babak, Teofilos memutuskan untuk memanfaatkan kemelut yang dihadapi oleh Abbasiyah dengan melancarkan kampanye militer melawan keamiran-keamiran di daerah perbatasan. Ia mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar,[a] yang terdiri dari sekitar 70.000 prajurit tempur dengan jumlah keseluruhan sebesar 100.000 orang (menurut al-Tabari). Ia kemudian menyerang wilayah Arab di sekitar daerah hulu Sungai Efrat tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Pasukan Bizantium merebut kota Sozopetra dan Arsamosata, menjarah daerah pedesaan, memperoleh pembayaran dari berbagai kota agar pasukan Bizantium tidak menyerang mereka, dan mengalahkan sejumlah pasukan Arab yang berjumlah kecil.[10][11][12] Saat Teofilos berpulang untuk merayakan kemenangan di Hipodrom Konstantinopel sebagai "juara tiada banding", para pengungsi dari Sozopetra mulai tiba di ibu kota Mu'tasim di Samarra. Pemerintah Abbasiyah dibuat murka oleh kekejaman yang dilakukan oleh para penyerang tersebut: Bizantium tidak hanya bersekongkol dengan para pemberontak Khurramiyah, tetapi konon di Sozopetra (yang diklaim sebagai tempat kelahiran Mu'tasim oleh beberapa sumber)[b] mereka juga membantai tawanan-tawanan pria dan menjual sisanya sebagai budak, sementara beberapa tawanan wanita diperkosa oleh pasukan Khurramiyah.[13][14][15][16] Namun, perang yang dikobarkan oleh Teofilos tak mampu menyelamatkan Babak dan para pengikutnya, karena pada akhir tahun 837, mereka dikalahkan di benteng pegunungan mereka oleh jenderal Afshin. Babak melarikan diri ke Armenia, tetapi ia dikhianati, diserahkan kepada Abbasiyah, dan akhirnya mati disiksa.[17]

Dengan berakhirnya ancaman dari Khurramiyah, khalifah Mu'tasim mulai mengerahkan pasukannya untuk membalas tindakan Bizantium.[18] Pasukan Arab yang berjumlah besar berkumpul di Tarsus; menurut catatan sejarah yang paling terandalkan (ditulis oleh Mikael orang Siria), pasukan tersebut berjumlah sekitar 80.000 prajurit dengan 30.000 pelayan dan pengikut serta 70.000 hewan pengangkut. Penulis lain memberikan angka yang jauh lebih besar, dari 200.000 sampai 500.000 menurut al-Mas'udi.[a][19][3][20] Tak seperti kampanye-kampanye militer sebelumnya yang hanya menyasar benteng-benteng di wilayah perbatasan, ekspedisi ini dimaksudkan untuk memasuki wilayah pedalaman Asia Kecil sebagai pembalasan dendam. Kota besar Amorion adalah sasaran utamanya. Kronik-kronik Arab mencatat bahwa Mu'tasim meminta para penasihatnya untuk menyebutkan nama benteng Bizantium yang "terkuat dan paling tak dapat ditembus", dan para penasihat tersebut menyebut nama Amorion, dan mereka juga berkata bahwa "tidak ada satu pun orang Muslim yang pernah ke tempat itu semenjak kemunculan Islam. [Kota tersebut] adalah pusat dan landasan Kekristenan; di antara orang-orang Bizantium, kota tersebut lebih terkenal daripada Konstantinopel". Menurut sumber-sumber Bizantium, khalifah Mu'tasim memerintahkan agar nama kota tersebut ditulis di perisai-perisai dan panji-panji para prajuritnya.[21][3][22] Sebagai ibu kota distrik Anatolikon, kota tersebut secara strategis terletak di ujung barat dataran tinggi Anatolia dan mengendalikan jalur selatan yang diikuti oleh pasukan penyerbu Arab. Pada masa itu, Amorion adalah salah satu kota terbesar di Kekaisaran Bizantium dan kota paling penting kedua setelah Konstantinopel. Kota tersebut juga merupakan tempat lahir ayah Teofilos, Mikael II orang Amorion (memerintah 820–829), dan mungkin Teofilos sendiri.[21][23][24] Akibat nilai strategisnya, kota tersebut menjadi sasaran serangan Arab pada abad ke-7 dan ke-8, dan pendahulu Mu'tasim, Ma'mun, dikatakan tengah berencana menyerang kota tersebut saat ia wafat pada 833.[25][26][27]

Tahap-tahap awal kampanye: Anzen dan Ankira

 
Peta kampanye militer Bizantium dan Arab pada tahun 837–838, menampilkan penyerbuan yang dilancarkan oleh Teofilos ke Mesopotamia Hulu dan serangan balasan Mu'tasim ke Asia Kecil (Anatolia), yang berpuncak pada perebutan Amorion.

Khalifah Mu'tasim membagi pasukannya menjadi dua. Sebuah detasemen yang terdiri dari 10.000 orang Turk di bawah kepemimpinan Afshin dikirim ke timur laut untuk bergabung dengan pasukan amir Malatya Umar al-Aqta dan pasukan Armenia (para penguasa Artsruni dari Vaspurakan dan Bagratuni dari Taron terlibat secara langsung dalam kampanye militer ini[28]), dan bersama-sama mereka akan menyerbu distrik Armeniakon dari jalur gunung Hadath. Sementara itu, pasukan utama Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Mu'tasim akan menyerang Kapadokia melalui jalur gunung Kilikia. Garda depan pasukan utama Abbasiyah dipimpin Ashinas, sementara Itakh menjadi panglima bagian kanan, Ja'far bin Dinar al-Khayyat di bagian kiri, dan 'Ujayf bin 'Anbasa di bagian tengah. Kedua pasukan yang telah terbagi ini kemudian rencananya akan berkumpul kembali di Ankira dan kemudian mereka akan bergerak bersama menuju Amorion.[29][30][31] Sementara itu, Teofilos langsung menyadari niatan sang khalifah, dan ia berangkat dari Konstantinopel pada awal bulan Juni. Pasukannya meliputi para prajurit dari Anatolia dan mungkin juga dari distrik-distrik di Eropa, ditambah dengan resimen tagmata elit dan pasukan Khurramiyah. Pasukan Bizantium memperkirakan bahwa pasukan Arab akan bergerak ke arah utara ke Ankira setelah melewati jalur gunung Kilikia dan kemudian berputar ke selatan menuju Amorion, tetapi mereka juga merasa bahwa terdapat kemungkinan pasukan Arab akan bergerak secara langsung melintasi dataran Kapadokia menuju Amorion. Meskipun para jenderal Bizantium memberikan nasihat agar kota tersebut dievakuasi agar pasukan Arab tidak dapat mencapai tujuan mereka dan agar pasukan Bizantium tidak terpecah, Teofilos malah memutuskan untuk memperkuat pertahanan kota tersebut dengan Aetios sebagai strategos Anatolikon dan dengan pasukan dari tagmata Excubitores dan Vigla.[32][1][33].

Teofilos kemudian bergerak dengan pasukannya yang lain menuju tempat yang berada di antara Ankira dan jalur gunung Kilikia, dan lalu mereka berkemah di tepi utara Sungai Halys di dekat salah satu perlintasan sungai. Ashinas menyeberangi jalur gunung Kilikia pada 19 Juni, dan sang khalifah dengan pasukan utama Abbasiyah juga melakukan hal yang sama dua hari kemudian. Pasukan Arab bergerak secara perlahan dan berhati-hati. Mereka berusaha menghindari penyergapan dan mencari tahu lokasi pasukan kaisar, alhasil Mu'tasim melarang Ashinas dan pasukannya merangsek terlalu dalam ke Kapadokia. Ashinas mengirim banyak detasemen pengintai untuk mencari tawanan, dan dengan ini mereka dapat mengetahui keberadaan pasukan Teofilos di tepi sungai Halys, tempat ia menunggu kedatangan pasukan Arab untuk melancarkan serangan.[34][1][35] Pada saat yang sama, pada pertengahan bulan Juli, Teofilos mendengar kabar mengenai kedatangan pasukan Afshin (yang terdiri dari sekitar 30.000 prajurit) di dataran Dazimon. Setelah meninggalkan sebagian pasukannya di bawah kepemimpinan seorang kerabat yang menjaga tempat penyeberangan di Sungai Halys, Teofilos langsung berangkat dengan sebagian besar pasukannya (sekitar 40.000 prajurit menurut Mikael orang Siria) untuk menghadapi pasukan Arab yang berjumlah lebih kecil. Mu'tasim mendapatkan informasi mengenai pergerakan Teofilos dari para tawanan, dan ia mencoba memperingatkan Afshin, tetapi pergerakan pasukan sang kaisar lebih cepat dan mereka berhadapan dengan pasukan Afshin dalam Pertempuran Anzen di dataran Dazimon pada 22 Juli. Walaupun awalnya cukup berhasil, serangan pasukan Bizantium dihalau oleh pasukan Afshin, sementara Teofilos dengan gardanya dikepung dan mereka hampir gagal melarikan diri.[36][37][38][39]

 
Kaisar Teofilos melarikan diri seusai Pertempuran Anzen. Miniatur ini berasal dari manuskrip Madrid Skylitzes

Teofilos dengan segera mengumpulkan kembali pasukannya dan mengutus jenderal Teodoros Krateros ke Ankira. Krateros mendapati bahwa kota tersebut sudah ditinggalkan oleh semua penduduknya, dan ia lalu diperintahkan untuk memperkuat pertahanan di Amorion. Teofilos sendiri kemudian terpaksa kembali ke Konstantinopel, karena desas desus mengenai kematiannya di Anzen menimbulkan persekongkolan untuk mengangkat kaisar baru. Pada saat yang sama, pasukan Khurramiyah yang berkumpul di sekitaran Sinope memberontak dan menyatakan Teofobos sebagai kaisar (meskipun ia sebenarnya enggan). Walaupun begitu, Bizantium tertolong karena Teofobos mengambil sikap pasif dan tidak mencoba menghadapi pasukan Teofilos ataupun bersekutu dengan Mu'tasim.[40][41] Garda depan Abbasiyah di bawah kepemimpinan Ashinas mencapai Ankira pada 26 Juli. Para penduduknya, yang telah mengungsi ke beberapa tambang di wilayah sekitar, ditemukan dan lalu ditawan oleh sebuah detasemen Arab yang dipimpin oleh Malik bin Kaydar al-Safadi. Orang-orang Bizantium tersebut (beberapa dari antara mereka merupakan prajurit yang telah melarikan diri dari Anzen) memberitahukan kepada pasukan Arab soal kemenangan Afshin, dan sesudah itu Malik membebaskan mereka semua. Pasukan Arab lainnya datang ke Ankira dalam selang waktu beberapa hari, dan setelah menjarah kota yang telah ditinggalkan tersebut, pasukan Arab yang telah berkumpul menjadi satu bergerak ke arah selatan menuju Amorion.[42][43][44]

Pengepungan dan kejatuhan Amorion

Saat melakukan pergerakan menuju Amorion, pasukan Arab terbagi menjadi tiga, dengan Ashinas yang memimpin pasukan depan, khalifah di tengah, dan Afshin di belakang. Mereka menjarah daerah pedesaan selama perjalanan mereka dan akhirnya mencapai kota Amorion tujuh hari setelah mereka berangkat dari Ankira, dan mereka pun mulai mengepung kota tersebut pada tanggal 1 Agustus.[45][46] Teofilos ingin sekali mencegah kejatuhan kota Amorion, sehingga ia meninggalkan Konstantinopel dan bertolak ke Dorilaion, dan dari situ ia mengirim utusan-utusan ke Mu'tasim. Para utusannya, yang tiba tak lama sebelum atau pada hari-hari pertama pengepungan, memberikan jaminan bahwa tindakan kejahatan di Sozopetra bertentangan dengan perintah kaisar, dan mereka juga menawarkan bantuan untuk membangun ulang kota tersebut, ditambah dengan tawaran untuk memulangkan semua tahanan Muslim dan membayar upeti. Namun, khalifah Mu'tasim tak hanya menolak permintaan para utusan tersebut, tetapi juga menahan mereka di perkemahannya agar mereka dapat menyaksikan langsung peristiwa pengepungan ini.[47][48][49]

Pertahanan Amorion terbilang kuat, dan kota tersebut dikelilingi oleh parit yang lebar dan tembok yang tebal yang juga dilengkapi dengan 44 menara (menurut ahli geografi pada masa itu, Ibnu Khordadbeh). Khalifah Mu'tasim menugaskan setiap jenderalnya di salah satu sisi tembok. Baik para pengepung maupun pihak yang terkepung memiliki banyak mesin kepung, dan selama tiga hari kedua belah pihak berbalas tembakan, sementara para penggali terowongan Arab mencoba merobohkan tembok tersebut dari bawah. Menurut catatan sejarah Arab, seorang tahanan Arab yang pernah masuk Kristen membelot dan berbalik kepada khalifah, dan ia memberitahukan pihak Abbasiyah mengenai tempat di tembok kota Amorion yang telah mengalami kerusakan berat akibat hujan yang deras dan bagian tersebut tidak diperbaiki dengan baik akibat kecerobohan panglima kota Amorion. Oleh sebab itu, pasukan Arab memusatkan serangan mereka ke bagian tersebut. Pasukan Bizantium mencoba melindungi tembok kota dengan menggantung balok-balok kayu untuk meredam guncangan dari mesin-mesin pengepungan, tetapi balok-balok tersebut patah, dan setelah dua hari tembok kota pun berhasil dijebol.[45][43][50] Aetios langsung sadar bahwa pertahanannya sudah bobol, dan ia memutuskan untuk mencoba melewati para pengepung pada malam hari dan berkumpul dengan pasukan Teofilos. Ia mengirim dua utusan untuk menghadap kaisar, tetapi keduanya ditangkap oleh pasukan Arab dan dibawa ke hadapan khalifah. Keduanya bersedia menjadi mualaf. Setelah Mu'tasim memberikan hadiah yang berlimpah kepada mereka, ia mengarak-arak kedua orang tersebut di sekitar tembok kota sembari dilihat oleh Aetios dan pasukannya. Untuk menghindari segala upaya untuk melarikan diri, pasukan Arab memperkuat penjagaan dan melakukan patroli kavaleri secara terus menerus bahkan pada malam hari.[51][43][52]

Pasukan Arab lalu melancarkan serangan berulang ke sisi tembok yang telah dijebol, tetapi pasukan Bizantium masih mampu bertahan. Menurut al-Tabari, alat-alat pelontar yang masing-masing diawaki oleh empat orang ditempatkan di atas landasan beroda, dan menara-menara yang dapat digerakkan dan masing-masing diawaki oleh sepuluh orang dibangun dan dikerahkan ke tepi parit. Paritnya sendiri juga mulai diisi dengan kulit-kulit domba (dari hewan-hewan yang mereka bawa untuk dijadikan makanan) yang berisi tanah. Namun, pengerjaan tersebut tidak dilakukan dengan merata karena para prajurit takut terkena lemparan alat-alat pelontar Bizantium, dan Mu'tasim harus memerintahkan agar tanah dilemparkan ke atas kulit-kulit tersebut untuk menutupi permukaan. Sebuah menara didorong melewati parit yang telah terisi, tetapi kemudian menyangkut di tengah-tengah, sehingga menara tersebut dan mesin-mesin kepung lainnya terpaksa ditinggalkan dan dibakar.[51][53] Serangan lain yang dilancarkan pada hari berikutnya, yang dipimpin oleh Ashinas, gagal akibat sempitnya sisi tembok yang telah jebol, dan Mu'tasim kemudian memerintahkan pengerahan lebih banyak alat-alat pelontar. Pada keesokan harinya, Afshin dengan pasukannya menyerang daerah tembok yang jebol, dan Itakh juga melakukan hal yang sama pada hari sesudahnya.[54] Pasukan Bizantium secara perlahan semakin menipis akibat serangan-serangan yang terus menerus dilancarkan, dan setelah dikepung selama sekitar dua minggu (para penulis modern memperkirakan tanggalnya adalah 12, 13, atau 15 Agustus[55]) Aetios mengirim utusan yang dipimpin oleh uskup kota yang menawarkan penyerahan kota Amorion; sebagai gantinya, mereka meminta agar para penduduk dan garnisun kota diizinkan pergi, tetapi Mu'tasim menolak. Walaupun begitu, panglima Bizantium Boiditzes, yang bertugas di bagian tembok yang telah dijebol, memutuskan untuk mengadakan perundingan langsung dengan khalifah atas kehendaknya sendiri, kemungkinan dengan maksud untuk meninggalkan tempatnya bertugas. Ia datang ke perkemahan Abbasiyah dan memberikan perintah kepada pasukannya di daerah tembok yang telah dijebol untuk berhenti bertarung sampai ia kembali. Saat Boiditzes sedang berbicara dengan sang khalifah, pasukan Arab semakin mendekati daerah tembok yang telah dijebol dan akhirnya berhasil memasuki kota Amorion.[56][57][58] Pasukan Bizantium dikejutkan dan mereka lalu mengobarkan perlawanan secara terpisah: beberapa pasukan berusaha membarikade diri mereka dan akhirnya terbakar sampai mati, sementara Aetios dengan para perwiranya mengungsi ke sebuah menara sebelum akhirnya dipaksa untuk menyerah.[59][5][60]

Kota tersebut dijarah dan dirampok habis-habisan; menurut catatan sejarah Arab, penjualan hasil rampasan berlangsung selama lima hari. Penulis kronik Bizantium Teofanes Kontinuatus menyatakan bahwa terdapat 70.000 orang yang tewas, sementara al-Mas'udi dari Arab menyebutkan 30.000 korban jiwa. Para penduduk yang selamat dijadikan budak yang dibagi-bagi oleh para pemimpin pasukan, kecuali untuk para pemimpin kota dan militer yang akan ditentukan nasibnya oleh sang khalifah sendiri. Setelah mengizinkan para utusan Teofilos untuk pulang dengan membawa kabar kejatuhan Amorion, Mu'tasim membakar kota tersebut sampai rata dengan tanah, dan yang masih tersisa hanyalah tembok kotanya.[5][48][61][62] Salah satu jarahan yang dirampas adalah pintu-pintu besi raksasa dari kota tersebut, yang mulanya dibawa oleh al-Mu'tasim ke Samarra dan dipasang di pintu masuk istananya. Dari situ pintu-pintu ini diambil (kemungkinan menjelang akhir abad) dan dipasang di Raqqa. Pintu-pintu tersebut masih ada di kota tersebut sampai tahun 964, dan lalu penguasa Hamdaniyah Sayf al-Dawla menyingkirkannya dan memadukannya dengan gerbang Bab al-Qinnasrin di ibu kotanya di Aleppo.[63]

Dampak langsung

Tidak lama setelah berlangsungnya penjarahan Amorion, khalifah Mu'tasim mendengar kabar burung bahwa pasukan Teofilos akan menyerangnya. Mu'tasim berangkat dengan pasukannya dan bergerak seharian melintasi jalanan yang mengarah ke Dorilaion, tetapi mereka tidak melihat tanda-tanda serangan Bizantium. Menurut al-Tabari, Mu'tasim kemudian mulai mempertimbangkan serangan ke Konstantinopel, tetapi kemudian ia mendengar kabar mengenai persekongkolan yang dipimpin oleh keponakannya, al-Abbas bin al-Ma'mun. Mu'tasim terpaksa menghentikan kampanye militernya dan langsung kembali ke kerajaannya, dan ia meninggalkan benteng di sekitaran Amorion serta Teofilos dan pasukannya di Dorilaion. Ia mengikuti jalur langsung dari Amorion ke jalur gunung Kilikia, dan selama perjalanan tersebut, pasukan kekhalifahan dan tawanannya dibuat menderita oleh kondisi di wilayah pedesaan Anatolia tengah yang kering. Beberapa tawanan begitu letih sampai-sampai mereka tidak dapat bergerak dan akhirnya dihabisi nyawanya, sementara yang lainnya berhasil melarikan diri. Sebagai balasannya, Mu'tasim memisahkan orang-orang yang paling penting di antara para tawanan tersebut dan kemudian menghukum mati sisanya, yang berjumlah sekitar 6.000 orang.[64][5][65][66]

 
Miniatur dari Madrid Skylitzes menggambarkan utusan tourmarches Basil yang sedang menghadap al-Mu'tasim (dalam posisi duduk) setelah kejatuhan Amorion.

Teofilos lalu kembali mengirim utusan-utusan yang dikepalai oleh tourmarches Charsianon, Basil. Mereka membawa hadiah dan surat permintaan maaf, dan menawarkan uang tebusan untuk para tahanan berpangkat tinggi senilai 20.000 pound Bizantium (sekitar 6.500 kg) emas dan pembebasan semua orang Arab yang ditangkap oleh Bizantium. Mu'tasim menolak tebusan tersebut, dan ia menyatakan bahwa perang yang ia kobarkan menghabiskan biaya yang melebihi 100.000 pound, dan ia menuntut penyerahan Teofobos dan juga domestikos ton scholōn Manuel orang Armenia yang pernah membelot dari pihak Arab. Utusan Bizantium menolak mengabulkan tuntutan tersebut dan memang mereka tak dapat melakukannya, karena Teofobos sedang memberontak dan Manuel sudah mangkat akibat luka-luka yang diderita di Anzen (menurut beberapa sumber). Sebagai gantinya, Basil menyerahkan surat kedua dari Teofilos dengan nada yang lebih mengancam. Mu'tasim dibuat murka oleh surat tersebut dan lalu mengembalikan semua hadiah dari kaisar.[67][68][69]

Setelah kejatuhan kota Amorion, Teofilos meminta bantuan dari negara-negara lain dalam menghadapi ancaman Abbasiyah: utusan-utusan dikirim ke istana Ludwig yang Saleh di barat (berkuasa 813–840) dan istana Abdurrahman II (berkuasa 822–852), Amir Kórdoba. Para utusan Bizantium disambut dengan hormat, tetapi tidak ada bantuan yang diberikan.[70][71] Di sisi lain, Abbasiyah tak mencoba memanfaatkan keberhasilan mereka. Perang Bizantium-Abbasiyah masih terus berlanjut selama beberapa tahun, tetapi setelah Bizantium sempat unggul, gencatan senjata disepakati oleh kedua negara ini (dan mungkin juga pertukaran tawanan yang tidak termasuk tawanan berpangkat tinggi) pada tahun 841. Sebelum menjemput ajalnya pada tahun 842, Mu'tasim tengah mempersiapkan serangan besar yang lain, tetapi armada yang ia siapkan untuk menyerang Konstantinopel hilang akibat badai di perairan lepas pantai di Tanjung Kelidonia beberapa bulan kemudian. Setelah wafatnya khalifah al-Mu'tasim, Abbasiyah mengalami gangguan, dan Pertempuran Mauropotamos pada tahun 844 menjadi pertempuran besar terakhir yang berlangsung di antara kedua negara tersebut hingga dasawarsa 850-an.[72][73]

Salah satu tokoh Bizantium yang ditangkap di Amorion, strategos Aetios, dihukum mati tak lama setelah ia ditawan, dan menurut sejarawan Warren Treadgold, tindakan tersebut mungkin diambil sebagai balasan terhadap surat kedua yang dikirim oleh Teofilos kepada khalifah.[74] Setelah ditawan selama bertahun-tahun, tawanan yang tersisa didesak untuk masuk Islam. Setelah mereka menolak, mereka dihukum mati di Samarra pada 6 Maret 845, dan mereka dikenang oleh Gereja Ortodoks Timur sebagai 42 Martir Amorion.[75][76] Beberapa kisah juga bermunculan soal Boiditzes dan pengkhianatannya. Menurut legenda 42 Martir, ia menjadi mualaf, tetapi tetap dihukum mati oleh khalifah bersama dengan tawanan-tawanan yang lain; namun, tidak seperti jenazah tawanan-tawanan lain yang mengapung "secara ajaib" di Sungai Tigris, jenazah Boiditzes tenggelam ke dasar sungai.[77]

Tinggalan sejarah

"Kemenangan yang penuh kehormatan hingga gerbang-gerbang surga terbuka dan bumi mencuat dengan pakaian barunya.

Wahai hari pertempuran 'Ammūriya, harapan telah kembali darimu mengalir deras dengan susu semanis madu;

Kau telah meninggikan peruntungan putra-putra Islam, dan menjatuhkan kaum musyrik dan bait kemusyrikan."

Kutipan dari Syair Pujian tentang Penaklukan Amorion karya Abu Tammam,[78] diterjemahkan secara lepas

Penjarahan Amorion adalah salah satu peristiwa yang paling menghancurkan dalam sejarah panjang penyerbuan Arab ke Anatolia. Teofilos dikabarkan jatuh sakit tak lama setelah kejatuhan kota tersebut, dan meskipun ia berhasil pulih, kesehatannya masih dalam keadaan buruk hingga kematiannya tiga tahun kemudian. Para sejarawan Bizantium pada masa berikutnya mengaitkan kematiannya pada usia yang belum mencapai 30 tahun dengan pilu yang begitu mendalam akibat kejatuhan kota tersebut, meskipun hal ini kemungkinan besar adalah sebuah legenda.[79][80] Kejatuhan Amorion mengilhami beberapa legenda dan kisah di Kekaisaran Bizantium, dan kisah-kisah tersebut dapat ditemukan dalam karya-karya sastra yang masih ada seperti Lagu Armouris atau kidung Kastro tis Orias ("Puri Gadis Cantik").[81] Di sisi lain, bangsa Arab mengelu-elukan perebutan Amorion, yang kemudian menjadi subjek dari karya terkenal Abu Tammam, Syair Pujian tentang Penaklukan Amorion.[82][83] Selain itu, al-Mu'tasim memanfaatkan peristiwa ini untuk melegitimasi kekuasaannya dan membenarkan tindakan yang ia ambil sesudahnya untuk mencabut nyawa keponakannya sekaligus pewaris sah al-Ma'mun, al-Abbas.[84]

Kenyataannya, kampanye militer tersebut tidak terlalu berdampak terhadap Bizantium secara militer: walaupun banyak pasukan dan warga Amorion yang berguguran, tidak banyak korban yang berjatuhan di antara prajurit angkatan darat Bizantium di Anzen, dan pemberontakan Khurramiyah dapat dipadamkan tanpa pertumpahan darah pada tahun berikutnya dan pasukan-pasukannya kembali disatukan dengan pasukan Bizantium. Ankira dengan cepat dibangun ulang dan kembali diisi oleh penduduk, dan begitu pula kota Amorion, tetapi kota Amorion tidak dapat lagi bangkit seperti sebelumnya dan ibu kota distrik Anatolikon sempat dipindah ke Polibotus.[79][85][86][24] Berdasarkan hasil tinjauan Warren Treadgold, salah satu faktor utama penyebab kekalahan pasukan Bizantium di Anzen dan Amorion adalah keadaan yang tidak menguntungkan mereka dan bukannya ketidakmampuan atau ketidakcakapan. Selain itu, sikap Teofilos yang terlalu percaya diri juga merugikan pasukannya sendiri, baik itu kemauannya untuk membagi pasukannya dalam menghadapi pasukan Arab yang jumlahnya lebih besar, maupun ketergantungannya yang terlalu besar terhadap pasukan Khurramiyah.[87] Namun demikian, kekalahan yang dialami Teofilos membuatnya melancarkan perombakan besar-besaran terhadap pasukannya, yang meliputi pendirian komando-komando perbatasan yang baru dan pemencaran pasukan Khurramiyah yang lalu disatukan dengan pasukan-pasukan dari distrik-distrik Bizantium.[88]

Dampak jangka panjang dari kejatuhan Amorion terlihat jelas dari segi keagamaan dan bukannya dari segi militer. Para penganut ikonoklasme percaya bahwa tindakan mereka seharusnya dirahmati oleh Allah dan akan menjamin kemenangan yang gemilang, tetapi mereka tetap saja mengalami "bencana memalukan yang menyaingi kekalahan-kekalahan terburuk kaisar ikonofil manapun" (Whittow), dan dalam sejarah terkini pada masa itu sebanding dengan kekalahan besar yang dialami oleh Nikeforos I (memerintah 802–811) di Pliska. Menurut Warren Treadgold, "hasilnya tidak membuktikan bahwa ikonoklasme itu salah ... tetapi memang menyingkirkan argumen paling meyakinkan dari kalangan ikonoklas kepada orang-orang yang belum menentukan pandangannya, yaitu [argumen bahwa] ikonoklasme membawa kemenangan dalam pertempuran". Beberapa tahun setelah Teofilos menjemput ajalnya, pada 11 Maret 843, diadakan sebuah sinode yang memulihkan praktik pemuliaan ikon, dan ikonoklasme sendiri dinyatakan sebagai bidaah.[89][90]

Catatan

^ a: Laporan jumlah pasukan Teofilos selama ekspedisi tahun 837 dan kampanye militer balasan al-Mu'tasim terbilang tak lazim. Beberapa ahli, seperti Bury dan Treadgold, menganggap angka yang diberikan oleh Tabari dan Mikael orang Siria sebagai jumlah yang kurang lebih akurat,[19][91] tetapi para peneliti modern lainnya meragukan jumlah sebesar itu, karena pasukan pada Abad Pertengahan jarang ada yang lebih dari 10.000 prajurit, dan risalah dan catatan militer Arab dan Bizantium menyatakan bahwa pasukan mereka biasanya berjumlah sekitar 4.000–5.000. Bahkan pada masa pembesaran militer Bizantium secara berkelanjutan pada akhir abad ke-10, panduan militer Bizantium menyebut angka 25.000 sebagai jumlah yang sangat besar dan layak untuk dipimpin oleh kaisar secara langsung. Sebagai perbandingan, jumlah pasukan militer biasa yang tersedia untuk Bizantium pada abad ke-9 diperkirakan berjumlah sekitar 100.000–120.000. Jika ingin membaca hasil peninjauan yang lebih rinci, lihat Whittow 1996, hlm. 181–193 dan Haldon 1999, hlm. 101–103.
^ b: Klaim bahwa Sozopetra atau Arsamosata adalah kota asal Mu'tasim hanya ditemukan dalam sumber-sumber Bizantium. Klaim ini disangkal oleh sebagian besar ahli sebagai hasil karangan.[92][93][94][95]

Rujukan

  1. ^ a b c Treadgold 1988, hlm. 298.
  2. ^ Treadgold 1988, hlm. 444–445 (Catatan #415).
  3. ^ a b c Treadgold 1988, hlm. 297.
  4. ^ Ivison 2007, hlm. 31.
  5. ^ a b c d Treadgold 1988, hlm. 303.
  6. ^ Treadgold 1988, hlm. 272–280.
  7. ^ a b Treadgold 1988, hlm. 283, 287–288.
  8. ^ a b Whittow 1996, hlm. 152–153.
  9. ^ Treadgold 1988, hlm. 280–283.
  10. ^ Bury 1912, hlm. 259–260.
  11. ^ Treadgold 1988, hlm. 286, 292–294.
  12. ^ Vasiliev 1935, hlm. 137–141.
  13. ^ Bury 1912, hlm. 261–262.
  14. ^ Treadgold 1988, hlm. 293–295.
  15. ^ Vasiliev 1935, hlm. 141–143.
  16. ^ Kiapidou 2003, Bab 1.
  17. ^ Vasiliev 1935, hlm. 143.
  18. ^ Vasiliev 1935, hlm. 144.
  19. ^ a b Bury 1912, hlm. 263 (Catatan #3).
  20. ^ Vasiliev 1935, hlm. 146.
  21. ^ a b Bury 1912, hlm. 262–263.
  22. ^ Vasiliev 1935, hlm. 144–146.
  23. ^ Kazhdan 1991, hlm. 79, 1428, 2066.
  24. ^ a b Whittow 1996, hlm. 153.
  25. ^ Bury 1912, hlm. 262.
  26. ^ Kazhdan 1991, hlm. 79.
  27. ^ Ivison 2007, hlm. 26.
  28. ^ Whittow 1996, hlm. 215.
  29. ^ Treadgold 1988, hlm. 297, 299.
  30. ^ Vasiliev 1935, hlm. 146, 148.
  31. ^ Kiapidou 2003, Bab 2.1.
  32. ^ Bury 1912, hlm. 263–264.
  33. ^ Vasiliev 1935, hlm. 146–147.
  34. ^ Bury 1912, hlm. 264.
  35. ^ Vasiliev 1935, hlm. 149–151.
  36. ^ Bury 1912, hlm. 264–265.
  37. ^ Treadgold 1988, hlm. 298–300.
  38. ^ Vasiliev 1935, hlm. 154–157.
  39. ^ Kiapidou 2003, Bab 2.2.
  40. ^ Treadgold 1988, hlm. 300–302.
  41. ^ Vasiliev 1935, hlm. 158–159.
  42. ^ Bury 1912, hlm. 266.
  43. ^ a b c Treadgold 1988, hlm. 302.
  44. ^ & Vasiliev 1935, hlm. 152–154, 158–160.
  45. ^ a b Bury 1912, hlm. 267.
  46. ^ Vasiliev 1935, hlm. 160–161.
  47. ^ Bury 1912, hlm. 266–267.
  48. ^ a b Rekaya 1977, hlm. 64.
  49. ^ Vasiliev 1935, hlm. 160.
  50. ^ Vasiliev 1935, hlm. 161–163.
  51. ^ a b Bury 1912, hlm. 268.
  52. ^ Vasiliev 1935, hlm. 163–164.
  53. ^ Vasiliev 1935, hlm. 164–165.
  54. ^ Vasiliev 1935, hlm. 165–167.
  55. ^ Kiapidou 2003, Catatan 19.
  56. ^ Bury 1912, hlm. 268–269.
  57. ^ Treadgold 1988, hlm. 302–303.
  58. ^ Vasiliev 1935, hlm. 167–168.
  59. ^ Bury 1912, hlm. 269–270.
  60. ^ Vasiliev 1935, hlm. 169–170.
  61. ^ Ivison 2007, hlm. 31, 53.
  62. ^ Vasiliev 1935, hlm. 170–172.
  63. ^ Meinecke 1995, hlm. 411, 412.
  64. ^ Bury 1912, hlm. 270.
  65. ^ Vasiliev 1935, hlm. 172–173, 175.
  66. ^ Kiapidou 2003, Bab 2.3.
  67. ^ Bury 1912, hlm. 272.
  68. ^ Treadgold 1988, hlm. 303–304.
  69. ^ Vasiliev 1935, hlm. 174–175.
  70. ^ Bury 1912, hlm. 273.
  71. ^ Vasiliev 1935, hlm. 177–187.
  72. ^ Bury 1912, hlm. 273–274.
  73. ^ Vasiliev 1935, hlm. 175–176, 192–193, 198–204.
  74. ^ Treadgold 1988, hlm. 304, 445 (Catatan #416).
  75. ^ Bury 1912, hlm. 271–272.
  76. ^ Kazhdan 1991, hlm. 79, 800–801.
  77. ^ Bury 1912, hlm. 270–271.
  78. ^ Arberry 1965, hlm. 52.
  79. ^ a b Kiapidou 2003, Bab 3.
  80. ^ Treadgold 1988, hlm. 304, 415.
  81. ^ Christophilopoulou 1993, hlm. 248–249.
  82. ^ Canard 1986, hlm. 449.
  83. ^ Untuk terjemahan Inggris dari puisi Abu Tammam, lihat Arberry 1965, hlm. 50–62.
  84. ^ Kennedy 2003, hlm. 23–26.
  85. ^ Treadgold 1988, hlm. 304, 313–314.
  86. ^ Kazhdan 1991, hlm. 79–80.
  87. ^ Treadgold 1988, hlm. 304–305.
  88. ^ Treadgold 1988, hlm. 351–359.
  89. ^ Treadgold 1988, hlm. 305.
  90. ^ Whittow 1996, hlm. 153–154.
  91. ^ Treadgold 1988, hlm. 441 (Catatan #406).
  92. ^ Bury 1912, hlm. 262 (Catatan #6).
  93. ^ Treadgold 1988, hlm. 440 (Catatan #401).
  94. ^ Vasiliev 1935, hlm. 141.
  95. ^ Kiapidou 2003, Catatan 1.

Daftar pustaka

Pranala luar

Koordinat: 39°01′14″N 31°17′21″E / 39.020439°N 31.289145°E / 39.020439; 31.289145