Sunan Bonang

penyebar agama Islam di Indonesia
Revisi sejak 8 Februari 2019 14.46 oleh Ardiansyah Bagus Suryanto (bicara | kontrib) (Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan)

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.

Di kota Tuban setiap tahunnya diadakan peringatan Haul Sunan Bonang yang dilaksanakan setiap malam Jum'at Wage di bulan Muharram (Sura).

Silsilah

Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad:[butuh rujukan]

Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Muhammad Syahril
Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)

Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan

Dalam hal pendidikan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah dan Raden Kusen. Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishak, yaitu sewaktu bersama-sama Raden Paku Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci. Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan. Bahkan, masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seseorang yang sangat pandai mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit air.

Babad Daha-Kediri menggambarkan bagaimana Sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa mengubah aliran Sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah Islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air, bahkan sebagian yang lain mengalami banjir. Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buto Locaya yang selalu mengecam tindakan dakwah Sunan Bonang, terlihat sekali bahwa tokoh Buto Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian yang dimiliki Sunan Bonang. Demikian juga dengan tokoh Nyai Pluncing, yang kiranya seorang bhairawi penerus ajaran ilmu hitam Calon Arang, yang dapat dikalahkan oleh Sunan Bonang.[1]

Karya Sastra

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 halaman ini sudah sangat populer dikalangan para santri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa

Keilmuan

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan pernapasan[butuh rujukan] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.

Referensi

  • B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer
  • G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
  1. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, 229.