Widji Thukul

penyair dan aktivis asal Indonesia

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (26 Agustus 1963 – 27 Juli 1998) adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer[1].

Widji Thukul
Berkas:Wijithukul.jpg
Widji Thukul
Lahir(1963-08-23)23 Agustus 1963
Indonesia Berkas:Logo Kota Surakarta (Solo).png Sorogenen, Solo, Indonesia
MeninggalMenghilang pada 27 Juli 1998
PekerjaanSastrawan, aktivis
Suami/istriSiti Dyah Sujirah
AnakFitri Nganthi Wani, Fajar Merah

Keluarga

Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.[2]

Thukul Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.[3]. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.[2]

Pendidikan

Thukul pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari.[2]. Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan.[4]

Aktivitas

Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

  • Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
  • Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
  • Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
  • Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
  • April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
  • Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Penyebab hilangnya Thukul

Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama aktivis kedalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar.[2]. Di antarapara aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang menghilang terhitung sejak bulan April hingga Mei 1998.[2]. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat.[2]. Dalam pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah.[2]. Pada tahun 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.[2]

Korban penculikan

Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April tahun 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.

Karya

Wiji telah banyak menulis sajak-sajak puisi sejak tahun 1982. Ada sekitar dua ratus lebih puisi yang ditulisnya, baik yang pernah dipublikasikan ataupun tidak di berbagai media cetak dalam dan luar negeri. Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok; ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru. Dari dua ratus sajak puisi tersebut, pernah diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi diantaranya:

  • Puisi Pelo (diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 1984).
  • Darman dan Lain-Lain (diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 1984).
  • Antologi puisi bersama Keliek Eswe dan Sugiarto B. Darmawan, yakni Geguritan Iki Mung Pengin Kandha: Antologi Puisi Jawa (diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah, 1987). Dalam antologi ini terdapat puisi-puisi bahasa Jawa yang ditulis Wiji Thukul dengan nama samaran Wiji Thukul Wijaya, dan puisi berbahasa Jawa yang ditulis Wiji Thukul ini jarang tersiar.[5][6]
  • Antologi puisi bersama Beno Siang Pamungkas dkk., yakni Kicau Kepodang (diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 1993). Dalam antologi ini juga terdapat puisi yang ditulis oleh Wiji Thukul.[7]
  • Salah satu serial antologi puisi yang dieditori oleh F. Rahardi (terdapat 45 penyair yang berkontribusi), yakni Dari Negeri Poci 2 (diterbitkan Pustaka Sastra, 1994) juga memuat beberapa sajak puisi karya Wiji Thukul. Buku inilah sebagai hadiah atas kebaikan dokter yang telah meringankan biaya operasi mata Wiji Thukul.
  • Mencari Tanah Lapang (diterbitkan Manus Amici, 1994).[8][9]
  • Tumis Kangkung Comberan (diterbitkan Yayasan Garba Budaya, 1996).[10]
  • Aku Ingin Jadi Peluru: Kumpulan Puisi (diterbitkan IndonesiaTera, 2000). Buku ini juga diterbitkan untuk edisi Malaysia pada tahun 2015 oleh penerbit Obscura bersama Kedai Hitam Putih, Kota Bharu, Kelantan.[11]
  • Para Jendral Marah-Marah: Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian (diterbitkan Majalah TEMPO, 2013). Buku ini merupakan bonus dari Majalah mingguan Tempo dari Edisi Khusus: Tragedi Mei 1998-2013 dengan judul sampul "Teka-teki Wiji Thukul".
  • Nyanyian Akar Rumput: Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul (diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2014).

Prestasi dan penghargaan

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ http://wiji-thukul.blogspot.com/2014/02/indeks-sajak-sajak-wiji-thukul.html
  2. ^ a b c d e f g h Tempo; Edisi Khusus: Tragedi Mei 1998-2013, Jakarta: Tempo, 2013 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Tempo" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ http://www.mesias.8k.com/wijithukul.htm
  4. ^ http://relawan.net/wmview.php?ArtID=347
  5. ^ Wijaya, Wiji Thukul (1987). Geguritan iki mung pengin kandha: antologi puisi Jawa (dalam bahasa jw). Taman Budaya Jawa Tengah. 
  6. ^ Dalam Pengantar Buku "Para Jendral Marah-Marah: Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian (Ada dalam Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul pages-83-122).pdf". Google Docs. Diakses tanggal 2019-01-10. 
  7. ^ Eneste, Pamusuk (2001). Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: IndonesiaTera. hlm. 108. ISBN 9799375177. 
  8. ^ "Mencari Tanah Lapang". www.goodreads.com. Diakses tanggal 2019-01-10. 
  9. ^ Thukul, Wiji; Budiman, Arief (1994). Mencari tanah lapang: puisi. Manus Amici. 
  10. ^ Eneste, Pamusuk (2001). Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: IndonesiaTera. hlm. 121. ISBN 9799375177. 
  11. ^ Thukul, Wiji (2000). Aku Ingin Jadi Peluru: Kumpulan Puisi. Magelang: IndonesiaTera. ISBN 979937507X.