Sulah nyanda

rumah tradisional di Indonesia
Revisi sejak 5 Maret 2019 15.25 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Sulah nyanda adalah rumah adat suku baduy yang berada di Provinsi Banten.[1] Atapnya terbuat dari daun nipah yang disebut sulah nyanda.[2] Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang.[2] Salah satu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.[2] Rumah tradisional Baduy ini disebut juga Imah dan harus menghadap ke selatan.[3] Berbentuk empat persegi panjang dengan atap kampung dan sosoran di salah satu sisinya.[3] Selain itu, rumah adat ini memiliki hiasan di atas atap rumah yang menyerupai bentuk tanduk.[4] Hiasan ini terbuat dari ijuk (sabut aren) yang dibulatkan dan diikat.[4] Pembangunan rumah adat sulah nyanda mengikuti kontur tanah sehingga tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki ketinggian yang sama.[1]

Barisan rumah adat sulah nyanda.
Rumah adat sulah nyanda tampak dari depan.

Struktur bangunan

Sosoro

Ruang ini terletak di sisi selatan yang digunakan untuk menerima tamu dari luar daerah.[3] Untuk menerima tamu dari daerah tersebut menggunakan golodog.[3] Dalam bahasa Indonesia, sosoro ini disebut teras atau ruang depan.[5] Selain itu, dapat dijadikan ruang keluarga, ruang tamu, ruang masak, ruang simpan dan ruang tidur anak perempuan.[3]

Tepas

Tepas di sisi samping memanjang ke belakang dan digunakan untuk ruang kegiatan keluarga.[5] Imah yang merupakan inti rumah digunakan untuk kegiatan intern keluarga.[5] Selain itu, dapat dijadikan ruang keluarga, ruang tamu, ruang masak, ruang simpan dan ruang tidur anak perempuan.[3] Ruang sosoro di depan menyambung dengan ruang tepas tanpa pembatas, membentuk huruf “L”.[5]

Ipah

Ipah adalah ruang belakang rumah digunakan sebagai tempat menyimpan persediaan makanan pokok seperti beras, jagung, lauk pauk dan lain-lain.[5] Selain di gunakan sebagai tempat penyimpanan makanan pokok, ipah juga di gunakan sebagai dapur tempat mereka memasak.[5] Sementara Imah tertutup dengan hanya satu pintu.[5] Pintu rumah merupakan satu-satunya pintu masuk ke dalam rumah.[5] Terdapat di sebelah sisi bangunan, ditandai dengan adanya emperan atau teras kecil serta anak tangga.[5]

Konstruksi bangunan

Pondasi

Konstruksi bangunan merupakan rumah panggung dengan material menggunakan bahan-bahan bangunan yang terdapat di sekitar lokasi.[5] Pondasi bangunan menggunakan batu utuh tanpa dipecah dan tidak tertanam. Batu ini digunakan untuk landasan tiang kayu rumah.[5]

Tiang

Kontruksi utama rumah seperti tiang dan balok menggunakan kayu tanpa sentuhan akhir.[5] Sambungan-sambungan dengan purus dan coak diperkuat dengan pasak, tanpa paku.[5]

Lantai

Rangka lantai menggunakan bambu, bagian atasnya ditutup dengan bambu pecah yang diratakan.[5] Untuk tidur ataupun kegiatan yang lain biasanya kemudian dibentangkan tikar pandan.[5]

Dinding

Dinding dibuat dari anyaman bambu dengan tulangan dari bambu motif anyaman seperti kepang.[5] Anyaman pada dinding atas lebih jarang-jarang sementara pada dinding bagian bawah lebih rapat. Anyaman model yang lain ditemui pada pintu masuk, berupa anyaman bambu vertikal dari bilah bambu.[5] Anyaman dengan jenis yang mirip juga digunakan untuk alas tempat penyimpanan di atas dengan rangka dari bambu.[5]

Atap

Rangka atap bangunan menggunakan kayu dengan rangka penutup atap dari bambu, sementara penutup atapnya menggunakan anyaman daun nipah.[5] Secara umum konstruksi rumah menggunakan sistem knock down.[5] Masyarakat Baduy dalam membangun rumahnya biasa mempersiapkan elemen dan material bangunannya lebih dahulu, kemudian secara bergotong royong merakitnya menjadi sebuah rumah, sehingga waktu untuk mendirikan rumah tidak terlalu lama.[5]

Konsep bangunan

Bangunan Baduy didesain secara ekologis memadu dengan lingkungan alam.[3] Untuk pembangunan digunakan material dan konstruksi yang alami bersumber dari wilayah terdekat tidak menggunakan campuran bahan kimia.[3] Dalam membuat rumah mereka mempergunakan patokan arah Kulon – Wetan sejalan dengan arah matahari yang menyinari bangunan sehingga cahaya matahari dan angin akan masuk ke dalam bangunan melalui celah-celah dinding.[3]

Dimensi Bangunan

Dimensi yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan dimensi pada rumah tinggal urang baduy adalah penggunaan bagian-bagian dari tubuh manusia yang ada di rumah.[3] Sebagai contoh untuk menentukan lebar pintu maka dipakai ukuran tubuh kepala keluarga laki-laki sedang bertolak pinggang.[3] Sedangkan, tinggi pintu menggunakan ukuran tinggi kepala keluarga laki-laki dengan menaruh telapak tangannya di atas kepala.[3]

Sistem Drainase dan Pengelolaan Sampah

Sistem drainase untuk mengalirkan air hujan dibuat di sekitar rumah.[3] Mereka tidak membuat saluran khusus melainkan jalan di antara rumah difungsikan sebagai saluran drainase.[3] Mereka menyusun batu kali di sekeliling rumah untuk memproteksi tanah di bawah bangunan dari gerusan air yang mengalir saat hujan dari curahan atap rumah.[3] Disini terlihat adanya usaha untuk mengkonservasikan sistem air di kampung agar air meresap kembali ke dalam tanah.[3]

Ukuran rumah

Ukuran luas rumah setiap warga tidak sama satu dengan lainnya.[2] Hal ini disengaja karena lahan semakin terbatas dan memakan biaya yang tidak sedikit.[2] Untuk mendirikan sebuah rumah, setiap warga tidak sembarang membangun pada lahan yang kosong.[2] Melainkan harus ada surat ijin khusus dari perangkat adat, termasuk untuk penentuan posisi rumahnya. [2]Adapun ukuran luas rumah pada umumnya berkisar 7 m x 7 m, 9 m x 10 m, bahkan ada yang mencapai 12 m x 10 m.[2]

Pola rumah adat

Masyarakat Etnik Baduy memiliki pola pemukiman klaster.[2] Artinya rumah-rumah berhimpun terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam.[2] Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampung sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan.[2] Orientasi rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan, sehingga rumah pejabat adat dan rumah warga tidak berada di belakang atau di samping rumah Puun.[2] Rumah pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun.[2] Adapun tata letaknya bahwa rumah Dinas Girang Serat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan rumah Dinas Puun.[2] Demikian pula dengan letak Rumah Dinas Jaro.[2] Rumah para mantan pejabat adat berada di depan kanan dan kiri rumah Dinas Puun.[2] Perlu diketahui bahwa para pejabat adat seperti Puun, Girang Serat, dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib menempati rumah dinasnya.[2] Para pejabat ini akan tidak menempati rumah dinas bila sudah tidak menjabat.[2] Adapun waktu menjabatnya disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk undur diri.[2] Rumah Puun berhadapan langsung dengan Balai adat.[2] Balai Adat ini berfungsi untuk melaksanakan berbagai keperluan adat, seperti rapat adat, prosesi sunatan, prosesi lamaran.[2] Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada di belakang sebelah kanan Balai adat.[2] Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah.[2] Bambu digunakan sebagai sebagian kerangka, dinding dan tali-temali.[2] Daun nipah digunakan untuk atap.[2] Rumah tradisional adat Etnik Baduy tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk kubus atau persegi dengan ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama.[2] Perkiraan ukurannya lebih kurang 10 cm x 10 cm, atau 10 cm x 15 cm.[2] Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan lingkungan rumahnya.[2] Rumah ini hanya memiliki satu pintu ke luar masuk, pintu itu disebut dengan Panto.[2] Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat terasan yang disebut papange.[2] Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang disebut taraje. [2]Hutan berada di sekeliling komplek pemukiman, adapun tumbuhan yang ada dalam hutan di antaranya, pohon durian, pohon bambu yang tumbuh di pinggir kanan kiri sungai.[2] Demikian pula dengan tumbuhan untuk pengobatan, seperti pohon Kiseureuh, Hanjuang, Honje, Hantu Kalabang, Hareundang, Harendong, Palungpung, Jukut Bau, jeung Jambu Biji.[2]

Rujukan

  1. ^ a b Miftakul Mala. 2018. Makalah Etnografi:Suku Baduy. IAIN Tulunggagung. Hal. 18-20.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag http://www.pusat4.litbang.depkes.go.id/buku/2014/pikukuh.pdf
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p http://journal.ipb.ac.id/index.php/jtep/article/viewFile/7436/5781
  4. ^ a b "Rumah suku Baduy Luar » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-02-25. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jtsp/article/download/9499/6167

Pranala luar