Seloko Jambi adalah salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Jambi yang diwariskan secara turun temurun. Seloko seringkali ditampilkan dalam sebuah prosesi upacara adat, seperti prosesi upacara adat perkawinan. Seloko Jambi berisi seperangkat norma yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat pemiliknya, norma atau aturan yang apabila dilanggar dapat menyebabkan sanksi[1]. Selain berisi norma-norma yang diikuti sanksi bagi yang melanggar, Seloko Jambi juga berisi nasehat, amanat, untuk memberikan tuntunan bagi keselamatan anggota masyarakat dalam pergaulan hidup dan kehidupan sehari-hari. Norma dan nasehat ini disampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan berupa peribahasa, pantun, atau pepatah-petitih. Seloko adat Jambi tidak sekadar peribahasa, pepatah-petitih, atau pantun-pantun saja, tetapi lebih dalam lagi seloko adat Jambi merupakan falsafah hidup yang menjadi dasar kebudayaan masyarakat Jambi[2].

Orang yang membacakan seloko disebut Penyeloko. Seorang Penyeloko biasanya menggunakan rima dan metrum yang mantap dalam menyampaikan selokonya, sehingga membuat pendengar tertarik dan tidak bosan mendengarkan[1]. Seloko seringkali disampaikan dengan kalimat-kalimat yang menggunakan majas perbandingan atau perumpamaan sehingga tidak semua orang bisa menangkap maknanya secara utuh. Untuk dapat memahami makna yang terkadung dalam seloko secara utuh ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, Mempelajari kebudayaan Melayu yaitu tempat dimana seloko itu tumbuh dan berkembang. Kedua, Belajar dengan orang yang memiliki pengetahuan luas tentang adat istiadat Melayu. Ketiga, mengikuti momen-momen dimana seloko tersebut disampaikan. Seperti pada pelaksanaan upacara-upacara adat dan upacara perkawinan[2].

Referensi

[1].

[2].

  1. ^ a b c 2017. Armansyah, Yudi: Kontribusi Seloko Adat Jambi dalam Penguatan Demokrasi Lokal, Jurnal Sosial Budaya 14(1):1-13
  2. ^ a b c Seloko Sebagai Tuntunan Hidup Masyarakat Melayu Jambi. Diakses pada tanggal 2019-03-05