Karun Atakore
{{sedang ditulis}}
Nama
Karun, kawasan panas bumi yang terletak di luar kampung Watuwawer, desa Atakore, kecamatan Atadei, kabupaten Lembata - NTT. Kawah gunung berapi itu difungsikan oleh penduduk seperti dapur untuk memasak makanan, sehingga disebut juga dapur alam. Nama karun berasal dari nama isteri kepala kampung Mudagedo yang bernama Kara, namu itu diabadikan menjadi kawasan panas bumi yangada di tempat itu. Kara nama orang bergeser menjadi kegiatan memasak makanan dalam perut bumi dengan proses ditaruh di dalam lubang lalu ditutup menggunakan rumput dan dedaunan. Proses itu disebut 'tarung' kata kerja dari kata taruh, sedangkan bahan yang telah matang dinamakan narung. Misalnya singkong yang sudah dimasak di karun, disebut "hure narungei". Begitu juga untuk bahan makanan yang lain, nama bahan disebutkan lalu disusul kata 'narung' sebagai asal menjadikannya matang,
Legenda Mudagedo
Nama isteri kepala kampung yang lalu diabadikan menjadi nama kawah gunung berapi, berawal dari kisah terjadinya bencana hancur dan musnahnya kampung Mudagedo serta sebagian besar penduduk. Kampung Mudagedo bertetangga dengan Lewopuho, kampung paling dekat di sebelah Timur, dan kampung Waiwejak yang letanya agak jauh ke barat. Ketika kampung yang berdampingan itu penduduknya hidup rukun.
Pada suatu ketika terjadi kesepakatan untuk mengadakan tandak atau hamang bersama-sama pada malam hari. Kampung Mudagedo yang berada di tengah menjadi kampung terselenggaranya hiburan itu. Karena kesenian tandak atau hamang merupakan kesenian yang istimewa dan sesewaktu baru diadakan, maka diharapkan semua peserta yang turut dalam pertunjukan wajib mengenakan pakaian adat serta aksesoris perhiasan, seperti gelang, kalung, rame, dan giwang atau anting-anting bagi wanita. Sedangkan laki-laki mengenakan topi berupa kain selempang yang diikat di kepala atau perhiasan kepada dari daun kelapa mudah yang dihiasi dengan bulu ayam.
Pada malam itu sebagian orang dari Waiwejak dan Lewopuho sudah berdatangan bergabung dengan sebagian wara Mudagedo di lapangan kampung. Suasana lembah yang sejuk di kaki bukit itu menjadi ramai oleh nyanyian tandak/hamang diiringi henakan kaki bersirama dan bunyi gendang serta giring-giring. Ibu Kara, isteri bapak Nuba kepala kampung juga menghias diri untuk tejun dalam kemeriahan malam itu dengan penerangan damir.
Damir yaitu biji jarak yang ditumbuk campur dengan kapas dan menjadi seperti adonan padat, lalu dililitkan pada sebatang lidi menjadi lampu penerangan. Damir yang berbentuk lidi gemuk itu disanngkutkan saja pada dinding agar api tidak merambat ke dinding dan membakar rumah. Ibu Kara membasuh muka dan membasahi rambutnya dengan air pada sebuah kelau yang diletakan di tanah di bawah damir yang sedang menyala itu.
Ketika damar yang semakin panjang menyala dan ujungnya menjadi arang atau kepo, ibu Kara secara reflek mematahkan ujung arang (dami kepun) itu ke tanah, tetapi jatuh persis di dalam kelau berisi air. Arang damai yang masih ada api berpadu dengan santan kelapa di dalam kelau meledak hebat menimbulkan kegaduhan serta kepanikan.
Bumi berguncang hebat, tanah bergetar puluhan orang tenggelam terkubur dalam lumpur panas, tetapi ada sebagian yang luput dan melarikan diri, menyingkir dari bencana itu. Penduduk Lewopuho lari ke timur dan menetap di kampung Lewokoba yang terletak di bukit. Bapa Nuba dan Kara serta sebagian penduduk Mudagedo lari ke selatan dan menetap di bukit, yang kemudian bukit itu dinamakan Nuba Woloi, yang artinya Bukit Nuba. Tetapi kemudian masih merasa terncam dan pibdah lagi ke selatan dan menetap di tempat yang juga juga sebuah bukit dan kemudian dinamakan Nuba. Sedangkan para pengikut bapa Nuba menetap di dataran yang dinamakan Kore.