Tato Dayak Iban
Tato Dayak Iban adalah seni ukir/rajah tubuh yang menjadi bagian dari tradisi dan religi serta menjadi simbolisasi kehidupan Suku Dayak Iban (Dayak Laut) yang bermukim di wilayah Kalimantan Barat, Indonesia. Budaya tato Dayak Iban merupakan tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun sejak ribuan tahun lalu.
Tahun 2010 tato Dayak Iban sebagai salah satu tato tradisional yang masih bertahan hingga kini telah dicatatkan pada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan nomor registrasi 2010000939.
Sejarah
Tato berasal dari budaya tradisional atau pedalaman yang lahir di berbagai tempat di dunia. Dari ratusan suku bangsa di Indonesia hanya beberapa yang diketahui memiliki budaya tato. Di antaranya adalah Suku Mentawai di Sumatera Barat, Suku Moi di Papua, dan beberapa rumpun suku Dayak di Kalimantan termasuk Suku Dayak Iban.
Konon, budaya tato suku Dayak Iban dibawa dari daratan Asia, tepatnya di wilayah Yunnan, Cina Selatan, yang merupakan daerah asal nenek moyang Suku Dayak (Daya) . Nenek moyang Suku Dayak menyebar ke berbagai wilayah Borneo atau Pulau Kalimantan (termasuk Sarawak, Brunei dan Tawau Sabah, Malaysia) dan berkembang menjadi ratusan subsuku dengan kekhasan adat istiadat serta seni budaya, termasuk seni rajah tubuh.
Suku Dayak Iban atau Suku Iban menyebut seni tato sebagai "uker" atau "pantang" (dalam bahasa Iban). Dibandingkan tato beberapa Suku Dayak lain, seperti Suku Dayak Kayan, tato karya Suku Dayak Iban cenderung "lebih kasar" atau berukuran besar-besar dan kurang detail.
Makna Tato Dayak Iban
Motif tradisional tato Dayak Iban mengambil bentuk tumbuhan dan hewan yang ada di lingkungan sekitarnya. Motif tumbuhan, antara lain bunga terung, bunga jantung, buah andu, dan buah engkabang. Sementara motif binatang antara lain ketam, ketam itit, remaung, kala, gerama, naba, dan burung lang. Ada juga motif khas Dayak Iban seperti uker degok/pantang rekong, pantang pah, pala tumpa, dan kelingai.
Adopsi bentuk-bentuk alami pada pantang Iban memberi gambaran bahwa hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Bentuk-bentuk alami dan berbagai motif tradisional lain juga dipercaya menjadi pralambang suatu kekuatan. Misalnya, buah engkabang melambangkan kekuatan magis.
Pemilihan motif tato dan penempatannya pada tubuh tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, sebaliknya harus mengikuti suatu aturan. Seperti diketahui bagi Suku Dayak, termasuk Dayak Iban, tato adalah bagian dari religi serta tradisi yang dianggap sakral. Orang Iban bahkan meyakini bila pemilik tato meninggal, tatonya akan berubah warna menjadi emas dan akan menerangi serta menuntun jiwanya untuk menemukan jalan ke surga.
Setiap tato juga memiliki makna atau nila-nilai simbolisasi tertentu. Di dalam lingkungan intern Suku Iban, tato melambangkan status sosial atau sebagai bentuk penghargaan atas kemampuan tertentu pemilik tato. Sebagai contoh, motif bunga terung yang dirajah pada bahu/pundak seorang laki-laki melambangkan kekuatan; motif uker degok yang dirajah pada leher menunjukkan bahwa si empunya tato sudah merantau ke luar daerah atau ke luar negeri; motif pala tumpa yang ditatokan pada lengan kaum perempuan menunjukkan statusnya.
Proses Pembuatan Tato
Dalam proses merajah tubuh orang-orang Dayak Iban menggunakan jarum tradisional berupa duri dari semak pohon tertentu yang dijepit dengan pelaik, yaitu semacam kayu kecil yang dibelah ujungnya. Sementara itu pemukulnya dibuat dari rotan atau kayu.
Suku Dayak Iban hanya menerapkan warna hitam alami untuk merajah tubuhnya. Bahan alami berwarna hitam tersebut adalah jelaga asap lampu/pelita atau arang damar yang dicampur dengan perasan tebu (air gula) agar menjadi lebih pekat.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengukir tato Suku Iban relatif tidak terlalu lama. Satu motif sederhana dapat selesai dalam waktu sekitar dua jam. Orang yang ditato tidak diberi ramuan apa pun untuk mengantisipasi rasa sakit.