Tari Tumbu Tanah
Tari Tumbu Tanah atau Dansa Tumbu Tana merupakan tari tradisional khas masyarakat di Pegunungan Arfak. Tarian ini juga dikenal dengan nama tarian ular karena formasi tarian ini membentuk seekor ular yang meliuk-liuk, sedangkan masyarakat di wilayah Sorong menyebutnya dengan nama tari Srar. Tari Tumbu Tanah dikenal oleh hampir semua suku yang berada di Papua. Hal inilah yang menyebabkan tidak ada perbedaan dalam gerak dasar tarian ini, meskipun penyebutannya berbeda-beda di Papua Barat maupun Papua Timur.
Asal-usul
Masyarakat Arfak (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah Manokwari terdiri dari empat sub-suku, yaitu suku Hattam, suku Sough, suku Moile, dan suku Meyakh.[1] Mereka memiliki kesenian tari yang sama, yang dinamakan dengan tari Tumbu Tanah.[2] Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora.[3]
Penyebutan nama tari Tumbu Tanah berawal ketika agama Kristen yang dibawa oleh dua misionaris asal Jerman, yakni Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler[4][5] pertama kali masuk Papua pada tanggal 5 Februari 1855 melalui Pulau Mansinam, Teluk Doreh, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.[6][7] Mereka tidak hanya membawa misi penginjilan saja, tetapi juga membangun berbagai sarana dan prasarana kemasyarakatan yang mengubah peradaban bagi masyarakat Papua, khususnya Manokwari.[8] Untuk mempermudah penyebutan tarian ini, maka mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebut tarian masyarakat Arfak tersebut dengan nama tari Tumbu Tanah agar dapat dikenal oleh masyarakat lain di luar keempat sub-suku itu.
Berdasarkan asal-usulnya, tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari mitologi asal-usul masyarakat Arfak mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan" yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut keret (marga) yang ada di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu keret. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, namun meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing keret. Masing-masing keret mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara keret tersebut.
Sejak saat itulah masing-masing keret meninggalkan tempat yang selama itu mereka diami dan membangun hunian baru di wilayah lain. Kelompok yang bergerak menuju ke daerah Anggi selanjutnya menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Sough, sedangkan kelompok yang bergerak ke arah timur laut menuju ke Minyambouw menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Hattam. Kelompok orang Sough lantas menyebar ke arah selatan, yaitu Dataran Isim, Beimes, Chatubouw, Sururey, sebagian dari Kota Ransiki, hingga wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun orang Hattam menyebar ke Pegunungan Arfak, terutama di Minyambouw, Hingk, Awibehel, Beganpei, dan Pinibut.
Setelah berpisah sekian lama, suku-suku tersebut memiliki keinginan untuk berkumpul kembali. Hal inilah yang menyebabkan mereka membuat acara pesta makan dengan mengundang berbagai suku yang tersebar di wilayah Arfak. Selain untuk menjalin hubungan kembali dengan suku-suku lain, maksud diadakannya pesta makan ini juga untuk menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing suku, terutama yang berhubungan dengan kekayaan hasil bumi.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika makanan yang telah disajikan itu habis, beberapa orang lantas berdiri untuk menghargai tuan rumah (suku Hattam) yang sudah menyiapkan segalanya bagi para tamu. Tanpa disadari, beberapa dari mereka kemudian melompat-lompat di tempat. Hal ini diikuti oleh semua undangan hingga terbentuklah gerakan menghentakkan kaki di tanah. Selain melompat-lompat, mereka juga berteriak sebagai ungkapan perasaan bahagia dapat berkumpul kembali. Mereka akhirnya bersepakat untuk menari dengan gerakan melompat-lompat seperti itu sambil menggandeng tangan sesama penari lain dalam berbagai acara untuk terus mempererat hubungan di antara empat sub-suku tersebut.
Gerak dasar
Secara umum, gerak dasar Tari Tumbu Tanah di antara masyarakat Arfak tidak memiliki perbedaan. Tari Tumbu Tanah hanya mengenal dua gerak dasar, yaitu bihim ifiri kai cut (melompat sambil menghentakkan kaki di tanah) dan yam (bergandengan tangan).
Bihim ifiri kai cut (melompat sambil menghentakkan kaki di tanah)
Selain berawal dari kegiatan pesta makan untuk berkumpul kembali, gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dalam Tari Tumbu Tanah juga diadopsi masyarakat Arfak dari kuskus pohon (dalam bahasa Hattam disebut dengan mieya) yang melompat-lompat dan namdur polos (dalam bahasa Hattam disebut dengan mbrey ceeuw, urinyai, atau undebaicing) yang sedang membuat sarang.
Gerakan ini biasanya dilakukan pada pertengahan lagu, dimana kedua kaki para penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas dengan menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Maksud gerakan ini selalu dimulai pada pertengahan lagu adalah agar para penari tidak terlalu capek. Satu lagu dalam Tari Tumbu Tanah biasanya berlangsung selama 3-5 menit, sedangkan dalam satu Tari Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7-10 lagu.
Yam (bergandengan tangan)
Gerakan ini bukanlah bergandengan tangan biasa, tetapi melompat-lompat dengan memasukkan tangan melewati bagian lengan atau siku dari penari lain. Maksud dari gerakan ini agar pada waktu melompat tidak mengenai wajah dan dada dari penari lain.
Formasi
Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan untuk menyambut acara-acara penting, yaitu penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, kemenangan perang, dan perayaan pesta perkawinan.[9][10]
Tarian akan diiringi dengan lagu atau syair nihet duwei, diun dan isiap dengan gerakan melompat sambil menghentakan kaki ke tanah dan bergandengan tangan.[11] Untuk formasi yang digunakan ketika menari adalah memanjang, setengah lingkaran, dan lingkaran penuh.[12] Dansa tumbutana merupakan tarian kesukuan yang dibawakan secara massal yang tidak terbatas pada jumlah peserta tari. Tarian ini sifatnya spontan bisa melibatkan warga satu kampung ataupun gabungan kampung-kampung. Artinya tarian ini bisa dikuti secara berkelompok oleh semua lapisan masyarakat tua dan muda berbaur dalam dansa tumbu tana.[13]
Lihat pula
Rujukan
- ^ Arfaknews. "Tari Tumbuk Tanah, Tarian Khas Suku Arfak". Diakses tanggal 2 April 2019.
- ^ Baharinawati W. Hastanti dan Irma Yeny (2009), hlm. 23: "Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu tumbu tanah....."
- ^ Enrico Y. Kondologit dan Andi T. Sawaki (2016), hlm. 96: "Masyarakat suku Hattam menyebut Tari Tumbu Tanah dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut Tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora......"
- ^ Hernawan (2002), hlm. 2: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855....."
- ^ Warinussy, Yan Christian. "GKI di Tanah Papua: Bertumbuh dari Pekabaran Injil". Diakses tanggal 4 April 2019.
- ^ Hapsari (2016), hlm. 153: "Manokwari dikenal sebagai kota bersejarah dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Papua, karena pada tanggal 5 Februari 1855 dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler mendarat di Pulau Masinam dan memulai penyebaran Injil....."
- ^ Indonesia Kaya (Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa). "Menelusuri Sejarah Peradaban Papua di Pulau Mansinam". Diakses tanggal 4 April 2019.
- ^ Ariefana, Pebriansyah. "Masyarakat Peringati 161 Tahun Injil Masuk Papua". Diakses tanggal 4 April 2019.
- ^ Velbe R. Assa dan Windy Hapsari (2015), hlm. 31: "Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan masyarakat Arfak untuk menyambut berbagai acara-acara penting....."
- ^ Mampioper, Dominggus. "Dansa Tumbu Tanah dari Arfak, Papua Barat". Diakses tanggal 4 April 2019.
- ^ Tradisi Kita. "6 Tari Tradisional Papua Barat". Diakses tanggal 5 April 2019.
- ^ Budaya Lokal. "Tarian Papua Barat". Diakses tanggal 5 April 2019.
- ^ Papua Untuk Semua. "Dansa Tumbuk Tanah, Tarian dari Suku Arfak yang Kian Terkenal". Diakses tanggal 5 April 2019.
Daftar pustaka
Buku
- Enrico Y. Kondologit dan Andi T. Sawaki (2016). Tarian Tumbu Tanah (Tari Tradisional Masyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Amara Books. ISBN 978-602-6525-10-9.
- Velbe R. Assa dan Windy Hapsari (2015). Peranan Perempuan Hatam dalam Beberapa Aspek. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Kepel Press. ISBN 978-602-356-062-2.
Jurnal Ilmiah
- Baharinawati W. Hastanti dan Irma Yeny (Maret 2009). "Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak Menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari Papua Barat" (PDF). Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 9, No.1. ISSN 1979-5556.
- Hapsari, Windy (Maret 2016). "Iwim (Tato) Orang Hatam di Kabupaten Manokwari". Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional. Vol. 23, No. 1. ISSN 2615-3483.
Esai
- Hernawan, J. Budi (2002). Gereja-Gereja di Papua: Menjadi Nabi di Tanah Sendiri? (Tesis Makalah Seminar). Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura. http://papuaweb.org/dlib/jr/ipenburg/2002c.pdf.