Tarian Pitu

salah satu tarian di Indonesia

Tarian Pitu atau dalam bahasa Toraja disebut sebagai Ra' Pitu merupakan 7 (tujuh) peradilan adat tradisional yang berasal dari Suku Toraja, provinsi Sulawesi Selatan. Sistem peradilan adat tradisional Tarian Pitu tersebut sudah digunakan jauh sebelum pihak Hindia Belanda menduduki Tana Toraja pada tahun 1906. Sekarang sistem peradilat adat tradisional Tarian Pitu tersebut hanya berlaku di kampung sekitar Tana Toraja yang jauh dari pusat kota dimana yang sistem peradilannya kini sudah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri.[1]

Suasana perkampungan Suku Toraja

Peradilan adat tradisional Tarian Pitu umumnya dilaksanakan sebagai cara mengadili yang paling terakhir bagi kedua belah pihak yang bersengketa ketika tidak ada lagi pihak yang mampu lagi memediasi kedua belah pihak tersebut. Pelaksanaan pengadilan adat Tarian Pitu tersebut dilakukan oleh Badan Dewan Adat yang merupakan badan peradilan secara adat diakui dan sah oleh masyarakat suku Toraja tanpa melibatkan bukti tertulis dan saksi hidup lagi. Ketika proses mediasi gagal oleh kedua belah pihak yang berselisih, Badan Dewan Adat memberikan opsi salah satu dari tujuh Tarian Pitu tersebut dengan segala konsekuensi beserta keputusannya yang bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggugugat oleh pihak manapun.[1]

Sesuai dengan namanya yang mengandung kata pitu yang berarti tujuh, sistem peradilan ini terdiri dari 7 (tujuh) bentuk peradilan yang masing-masing terdiri dari Si-Pantetean Tampo atau Si-Ba'ta Tungga, Si-Ukkukan, Si-Pakoko, Si-Londongan, Si-Biangan atau Si-Rektek, Si-Tempoan, dan Si-Rari Sangmelambi.[1]

Asal Mula Peradilan Adat Tarian Pitu

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para tetua adat Suku Toraja yang terdiri dari Ne' Mika, Ne' Silamba', Ne' Karre' , Ne Gandang Palo'lian, dan Ne' Banne Borong dari tahun 1967 sampai tahun 1979 sepakat bahwa Daerah Adat beserta masyarakat di Toraja sangat menghormati segala keputusan dari Tarian Pitu secara mutlak. Alasan dari mutlaknya keputusan aturan peradilan adat tersebut dikarenakan peradilan adat Tarian Pitu berasal dari ajaran Aluk Todolo yang artinya agama leluhur.[2] Ajaran tersebut berupa kepercayaan terhadap eksistensi peradilan adat Tarian Pitu yang sudah ada sejak zaman dahulu kala diatas langit yang mana merupakan asal usul dari nenek moyang Suku Toraja tersebut.[1]

Proses Peradilan Adat Tarian Pitu

Ketika salah satu dari 7 (tujuh) pilihan dari peradilan adat Tarian Pitu sudah ditentukan oleh kedua belah pihak yang sedang berselisih, maka adakan dilakukan beberapa ketentuan yang wajib untuk diikuti dan disepakati bersama. Sebelum memulai peradilan adat Tarian Pitu tersebut, kedua belah pihak tersebut berdoa kepada Tuhan yang maha esa guna meminta berkat kemenangan serta memohon perlindungan. Tuhan menurut kepercayaan Aluk Todolo oleh Suku Toraja disebut sebagai Puang Matua, deata, dan Tomembali Puang.[1]

Setelah berdoa, kedua belah pihak tersebut diambil sumpahnya oleh Penghulu Aluk Todolo disertai dengan berbagai ritual dan ketentuan adat yang berlaku. Setelah diambil sumpahnya masing-masing, segala ketentuan beserta keputusan yang telah ditentukan baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan peradilan adat Tarian Pitu tersebut bersifat mengikat dan tidak boleh dilanggar baik oleh masing-masing pihak maupun kedua belah pihak. Setelah proses pengambilan sumpah oleh Penghulu Aluk Todolo terhadap masing-masing pihak selesai, barulah proses salah satu Tarian Pitu bisa dimulai. Umumnya pelaksanaan Tarian Pitu tersebut berlangsung singkat karena Suku Toraja percaya bahwa pihak yang benar diantara kedua belah pihak yang berselisih tersebut berarti doanya dikabulkan oleh Puang Matua, deata, dan Tomembali Puang.[1]

Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo

Sesuai namanya, Si-Ba'ta Tungga memiliki arti pertandingan satu lawan satu. Peradilan Si-Ba'ta Tungga merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang berupa pertarungan duel antar kedua belah pihak yang berselisih yang dilakukan diatas pematang sawah yang dalam Bahasa Toraja disebut Tampo. Dikarenakan pertarungan tersebut dilakukan diatas pematang sawah, Si-Ba'ta Tungga juga disebut sebagai Si-Pantetean Tampo yang artinya pertarungan diatas pematangan sawah.[1]

Dalam pertarungan tersebut masing-masik pihak berselih diperbolehkan menggunakan senjata seperti Tombak atau Dokee, Pedang yang tajam atau La'bo' Dualalan, atau bahkan sebatang kayu yang berbentuk pentungan atau disebut Tara Sulu' . Pelaksanaan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo tersebut berada didalam kurungan berbentuk persegi 4 (empat) yang disebut Pangkung. Alasan pemasangan Pangkung tersebut adalah menghindari pihak yang menerobos masuk baik itu penonton maupun pihak keluarga dari salah satu pihak yang berselisih ketika pertarungan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo sedang berlangsung agar berlangsung adil.[1]

Syarat yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak yang berselisih adalah berada dalam kondisi yang berani, kuat, tangkas, dan sehat. Karena selain sebagai sarana peradilan adat, pertarungan Si-Ba'ta Tungga atau Si-Pantetean Tampo ini juga merupakan salah satu bentuk gengsi antar keluarga karena dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak. Sebelum dimulai, setelah berdoa kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu. Ketua adat ini juga yang nantinya menentukan siapa yang menang, gugur, atau lari dari arena pertarungan. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[1]

Si-Ukkukan

Si-Ukkukan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa aturan untuk menyelam kedalam air sungai yang dalam bagi kedua belah pihak yang tengah berselisih. Pihak yang muncul keatas permukaan air maka pihak tersebut dinyatakan kalah dalam perkara yang sedang diadili. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu lalu kedua pihak tersebut menyelam secara bersamaan. Ketua adat yang nantinya akan menentukan siapa yang menang atau gagal dari pertarungan tersebut. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[1] Walaupun terkesan negatif karena dianggap sebagai salah satu bentuk judi, pemerintah tidak bisa membubarkan kegiatan Si-Ukkukan atau sabung ayam tersebut dikarenakan sudah menjadi bagian hukum adat di Tana Toraja.[3]

Si-Pakoko

 
Ilustrasi mencelupkan tangan

Mirip seperti peradilan Si-Ukkukan, peradilan Si-Pakoko merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa mencelupkan kedua tangan kedua belah pihak tersebut kedalam air mendidih secara bersamaan. Pihak yang muncul keatas permukaan air mendidih tersebut maka pihak tersebut dinyatakan kalah dalam perkara yang sedang diadili. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu kemudian kedua pihak tersebut mencelupkan kedua tangannya secara bersamaan. Ketua adat yang nantinya akan menentukan siapa yang menang atau gagal dari pertarungan tersebut. Apapun hasil yang didapat maka keputusannya bersifat mutlak karena berdasarkan kepercayaan Suku Toraja bahwa kemenangan akan berkuasa atau disebut Ma' Pesalu atau Na Ola Salunna.[1]

Si-Londongan

 
Ilustrasi sabung ayam jago

Si-Londongan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu berupa pertandingan sabung ayam. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Barang siapa yang tidak benar maka akan kalah dan Barang siapa yang benar tidak akan mengalami sesuatu kemudian kedua pihak tersebut mencelupkan kedua tangannya secara bersamaan. Setelah selesai Penghulu Aluk Todolo tersebut memerintahkan kedua pihak yang berselisih tersebut memilih ayam jago pilihannya masing-masing untuk diadu.[4]

Setelah kedua belah pihak tersebut memperoleh ayam jagonya masing-masing, kedua ayam tersebut kemudian didoakan dan disumpah dengan narasi ayam jago dari pihak yang bersalah akan mati dalam pertarungan dan pihaknya dinyatakan kalah dan ayam jago dari pihak yang benar akan baik-baik saja dan pihaknya dinyatakan menang. Setelah Penghulu Aluk Todolo tersebut selesai memberi sumpah dan doa pada ayam jago tersebut, kemudian tiap ayam jago akan dipasangi taji yang tajam dan runcing lalu diadu untuk mencari pemenangnya. Walaupun dahulu tidak menggunakan taji yang tajam dan runcing, penggunaannya sekarang agar pertarungan sabung ayam berlangsung cepat dan dapat diambil keputusannya oleh Ketua Adat. Menurut kepercayaan Aluk Todolo bentuk peradilan Si-Londongan ini sudah berlaku sejak dahulu kala di langit yang kemudian diturunkan ke bumi oleh nenek moyang Suku Toraja yang disebut Pong Mula Tau. Oleh karena itu sabung ayam bisa dikatakan sebagai budaya inti bagi Suku Toraja.[5]

Faktor kemenangan ayam jago tersebut menurut Suku Toraja ditentukan oleh jenis buluh ayam jago disertai dengan mantra-mantra atau Galla' Manuk dari pemiliknya. Adapun bentuk buluh ayam jago yang paling mematikan adalah buluh ayam dengan kategori Sissik. Saat sabung ayam berlangsung, dalam waktu singkat biasanya terdapat 3 kemungkinan. Ketua adatlah yang nanti berhak menentukan pihak mana yang akan menang dan keputusannya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggugugat. Adapun berbagai hasil menurut kriteria ayam jago dalam sabung ayam tersebut adalah sebagai berikut:[1]

  • Manuk toka' yang berarti kedua ayam jago tersebut tidak melakukan perlawanan sehingga pertandingan dinyatakan batal.
  • Manuk puli' yang berarti kedua ayam tersebut tidak ada yang menang maupun kalah sehingga dinyatakan seri.
  • Manuk ma' pitto' yang berarti ayam tersebut menang dan disepakati sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut.
  • Manuk tangma' pitto' yang artinya ketika ayam yang telah memenangkan pertarungan tetapi tidak mematuk lawannya pada pertarungan berikutnya maka dianggap seri.
  • Parasila yang artinya pemasangan kepal ayam pada ayam yang kalah agar dipatukk ayam yang menang.
  • Sepak yang berarti ayam yang kalah dikelaurkan kaki yang dipasangkan taji ketika didalam pertarungan.[6]

Si-Biangan atau Si-Rektek

 
Ilustrasi Si-Biangan atau Si-Rektek

Si-Biangan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang mirip seperti Lotre atau bisa dikatakan sebagai peradilan menggunakan sistem probabilitas. Adapun langkahnya diawali dengan pembacaan mantra-mantra oleh Penghulu Aluk Todolo menggunakan perantara bambu kecil yang oleh Suku Toraja disebut Biang atau Tile yang umumnya tumbuh di tebing-tebing tertentu. Pertama-tama Penghulu Aluk Todolo mengambil sebatang (satu ruas) Sepotong Ruas Biang atau Tile tersebut kemudian dibelah sama besar.[1]

Setelah Sepotong Ruas Biang atau Tile tersebut terbelah, satu belahan tersebut diberi tanda yang nantinya akan dipilih oleh kedua belah pihak yang tengah berselisih tersebut. Salah satu pihak memilih bagian belakang belahan sementara pihak lainnya akan memilih bagian muka belahan kayu tersebut. Setelah selesai memilih lalu kedua belah pihak tersebut akan duduk berhadapan didepan Penghulu Aluk Todolo. Sebelum dimulai, kedua belah pihak yang berselisih tersebut diminta berdoa dan bersumpah oleh Penghulu Aluk Todolo dengan narasi Terkutuklah bagi pihak yang tidak benar dan Terberkatilah bagi pihak yang benar kemudian dilemparlah belahan batang Biang tersebut sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut keatas oleh Penghulu Aluk Todolo dihadapan Ketua Adat. Perbanding yang umum terjadi biasanya tiga banding nol (3:0) atau dua banding satu (2:1). Pihak yang mendapatkan nilai terbanyaklah yang akan memenangkan gugatan. Pemenang gugatan tersebut nantinya akan diputuskan oleh Ketua Adat dengan keputusan yang mutlak tanpa diganggugugat oleh pihak manapun.[1]

Si-Tempoan

Si-Tempoan merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu yang berbentuk saling menyumpahi atau Menggata satu sama lain antar pihak yang berselisih. Sebelum dimulai, Penghulu Aluk Todolo melakukan sumpah dan doa terhadap dua pihak yang saling berselisih tersebut. Pelaksanaan peradilan Si-Tempoan mirip dengan pelaksanaan pengambilan sumpah dalam Pengadilan Negeri. Setelah selesai, kedua pihak akan mengucapkan sumpah dihadapan keluarga pihak masing-masing dengan arahan doa dan sumpah dari Penghulu Aluk Todolo. Adapun sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut:

Puang Matua, Deata To Tallu Esunganna Tomembali Puang laun rimpi' na' lan Tangnga Padang sia tang laana pasitirona' kameloan sia kamananmanan sae lakona ketanggumpokadana' tang tongan anna... seterusnya

Arti sumpah tersebut adalah sebagai berikut:

Tuhan Sang Pencipta, Dewa Sang Pemelihara tiga serangkai dan Leluhur akan menghancurkan penghidupan dan akan mengutuk selama-lamanya kalau saya tidak berkata benar... dan seterusnya...

Ketika pengucapan sumpah tersebut harus disertai dengan tempo atau jangka waktu yang sudah disepakati kedua belah pihak yang tengah berselisih. Rentang waktu yang dipilih biasanya 3 (tiga) hari, 6 (enam) hari atau disebut sebagai Sang Pasa' , 30 (tiga puluh) hari atau disebut sebagai Sang Bulan, atau Sang Tahun yang rentang waktunya dihitung dengan waktu sekali panen. Ketika tempo yang ditentukan telah tiba, isi sumpah tersebut biasanya akan terjadi kutukan dari Tuhan, Deata, dan To Membali Pulang atau kematian salah satu pihak untuk membuktikan mana pihak yang salah dan mana pihak yang benar. Ketika salah satu pihak mendapatkan kutukan atau kematian, Ketua Adat segera mengumumkan pemenang dalam gugatan tersebut yang hasilnya sudah pasti mutlak. Biasanya sumpah dan doa yang dipanjatkan oleh Penghulu Aluk Todolo sudah terbukti terjadi pada kedua belah pihak yang tengah berselisih.[1]

Semenjak masuknya pengaruh dari eksternal Suku Toraja seperti pendudukan Hindia Belanda serta pengaruh Islam ke Tana Toraja mengakibatkan status peradilan Si-Tempoan ini berubah yang tadinya bersifat mutlak menjadi sebagai pembukti pernyataan saja karena rentan terhadap sumpah palsu untuk mengelabui masyarakat. Saat ini peradilan Si-Tempoan tersebut dilakukan di pedalaman daerah Tana Toraja saja.[1]

Si-Rari Sangmelambi

Si-Rari Sangmelambi merupakan merupakan salah satu jenis peradilan adat Tarian Pitu dalam bentuk perang yang dilaksanakan pada waktu subuh atau dalam Bahasa Toraja disebut sebagai Sirari Sang Melambi' atau Perang Sepagi. Umumnya bentuk peradilan Si-Rari Sangmelambi dilakukan oleh Penguasa Adat atau Bangsawan yang berselisih paham dalam menentukan daerah kekuasaan masing-masing. Perang antar Penguasa Adat atau Bangsawan dimulai ketika ayam mulai berkokok sampai matahari mulai terbit.[1] Peradilan Si-Rari Sangmelambi sering terjadi ketika Suku Toraja masih sering terjadi perang saudara dari tahun 1800 sampai datangnya pihak kolonial Belanda.

Segala proses peradilan peperangan tersebut diawasi oleh Badan Pengawas Adat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pemenang peradilan Si-Rari Sangmelambi adalah pihak Penguasa Adat atau Bangsawan yang berhasil memasuki daerah lawannya. Selain itu, jika salah satu pihak Penguasa Adat atau Bangsawan terluka atau berdarah, maka Badan Pengawas Adat tersebut akan berteriak To' Do' Damo yang artinya sudah ada yang terluka atau berdarah. Jika sudah ada yang terluka atau berdarah maka peperangan akan selesai dan pihak yang kalah tersebut akan dinyatakan sebagai Talo Rari yang artinya kalah perang oleh Penguasa Adat dengan hasil keputusan mutlak tanpa gugatan pihak manapun.[1]

Peradilan Si-Rari Sangmelambi selain mengambil alih daerah lawan juga mewajibkan menyerahkan seluruh harta benda yang dimiliki kepada pihak lawan. Selain itu juga diwajibkan untuk membayar dengan benda tertentu sesuai kesepakatan atau sampai menjadi hamba untuk pihak lawan. Kewajiban membayar tersebut bagi Suku Toraja yang disebut sebagai Di Pakalao. Kewajiban tersebut berbeda dengan kewajiban Pamali dalam kepercayaan Aluk Todolo. Jika Pamali terjadi karena adanya pelanggaran, maka Di Pakalao terjadi karena adanya persengketaan antar dua belah pihak.[1]

Adapun stratifikasi atau kasta bagi Suku Toraja adalah sebagai berikut:[7][8]

 
Para tetua adat Suku Toraja
  • Bangsawan Tinggi yang disebut Tana' Bulaan. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran bagi strata tersebut berjumlah 24 (dua puluh empat) ekor kerbau.
  • Bangsawan Menengah yang disebut Tana' Bassi. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran bagi strata tersebut berjumlah 6 (enam) ekor kerbau.
  • Rakyat Merdeka yang disebut Tana' Karurung. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran bagi strata tersebut berjumlah 2 (dua) ekor kerbau.
  • Hamba Sahaya yang disebut Tana' Kua-kua. Denda yang dikenakan jika terjadi pelanggaran bagi strata tersebut berjumlah 1 (satu) ekor babi. Khusus untuk strata Tana' Kua-kua sudah dihapus oleh pihak belanda tepatnya pada tahun 1909 sehingga kasta atau stratifikasi terenda adalah Rakyat Merdeka atau disebut Tana' Karurung.

Untuk Tana Toraja sendiri terdiri dari 5 (lima) daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang berbeda-beda. Pemimpin tersebut terdiri dari:[7]

  • Daerah Sangala, Makale, dan Mengkendek dipimpin oleh bangsawan bergelar Puang.
  • Daerah Toraja barat dipimpin oleh bangsawan bergelar Ma'dika.
  • Daerah Rantepao dimpimpin oleh bangsawan bergelar Parengi.

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Kebudayaan Toraja hal 127
  2. ^ http://repositori.uin-alauddin.ac.id/5269/1/INDRA%20DEWI.pdf
  3. ^ http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6176/skripsilengkappidana-valentinus.pdf?sequence=1
  4. ^ "Silondongan". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 2019-05-03. 
  5. ^ Toraja dan Kebudayaannya
  6. ^ PKM
  7. ^ a b Toraja Naqib Najah"
  8. ^ Nursastri, Sri Anindiati (2019-04-12). "Mengintip Kuburan Kuno Milik Bangsawan Toraja". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-05-03. 

Daftar pustaka

Buku

  • Bararuallo, Frans (2010). Kebudayaan Toraja Masa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Mendatang. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. ISBN 9786028904063. 
  • Najah, Naqib (2014). Suku Toraja: Fanatisme Filosofi Leluhur. Makassar: Arus Timur. ISBN 9786029057744. 
  • Toraja Dan Kebudayaannya. Toraja Utara: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. 2014. ISBN 9786021479018.