Rumah panggung Betawi

rumah tradisional di Indonesia

Rumah Panggung Betawi merupakan salah satu jenis struktur hunian tradisional etnik Betawi yang lantainya diangkat dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu dengan alasan menyesuaikan kondisi lingkungan tempat rumah itu didirikan.[1][2][3][4] Pemilihan konsep rumah panggung pada masyarakat Betawi utamanya dikarenakan faktor keadaan alam setempat.[5][6][7]

Tampak depan Rumah si Pitung atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan Marunda Jakarta Utara. Merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.
Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo Jakarta Utara, salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Tidak terawat karena ditinggalkan penghuninya.

Rumah Panggung Betawi biasanya dibangun di wilayah pesisir yang berawa dan di daerah aliran sungai.[8] Di wilayah pesisir, panggung dibuat dengan alasan mengantisipasi air laut pasang, seperti pada Rumah si Pitung yang terletak di Marunda Pulo, Jakarta Utara.[9][10][11] Sedangkan pada daerah aliran sungai penggunaan konsep panggung adalah untuk menghindari air sungai yang meluap[12] atau sekedar melanjutkan tradisi mereka sebagai masyarakat komunitas sungai.[13] Ada juga hunian Betawi di pinggiran Jakarta yang rumahnya berpanggung karena alasan keamanan untuk penghuninya, mengingat dahulu di lingkungan mereka berkeliaran binatang-binatang pengganggu.[14]

Berbagai etnis Nusantara dan bangsa datang dan menetap di Batavia. Mereka membawa pengaruh kebudayaannya, termasuk arsitektur hunian etniknya masing-masing. Para penduduk waktu itu banyak mengadopsi rumah-rumah etnik yang dibawa pada pendatang tadi. Jadilah rumah etnik Betawi sebagai rumah yang unik. Disebut unik karena rumah orang Betawi mengadopsi beragam pengaruh yang dibawa oleh etnis dan bangsa tadi. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dilihat dalam konstruksi, konsep panggung, tata ruang, bentuk atap, jendela, ragam hias dan lain-lain[15].

Latar belakang

 
Peta Kota Batavia (Kini Jakarta) pada tahun 1914

Suku Betawi lahir dari akulturasi antar etnis nusantara dan mancanegara, seperti etnis-etnis dari Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Ambon, Sumbawa, Malaka, Tionghoa, Arab, India dan Portugis.[16][17] Mereka membawa budaya masing-masing untuk kemudian mempengaruhi kebudayaan Betawi, mulai dari bahasa, pakaian daerah, kesenian, hingga arsitektur rumah etnik Betawi.[18] Hal demikian beralasan, mengingat kota Batavia merupakan daerah pesisir yang memiliki pelabuhan internasional.[17] Pelabuhan Sunda Kelapa, yang sebelumnya dikenal sebagai Pelabuhan Kalapa, merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara yang terletak di muara sungai Ciliwung.[19]

Dari sekian banyak etnis yang masuk ke Batavia, pengaruh yang paling dominan terhadap rumah Orang Betawi adalah dari etnis Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa.[20] Diantara etnis Nusantara yang masuk ke Batavia, budaya Sunda dan Jawa paling berpengaruh terhadap arsitektur etnik rumah Betawi. Letak wilayah etnis Betawi secara geografis memang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Jawa menjadi penyebab utamanya. Tidak hanya letaknya yang berdekatan, wilayah etnis Betawi juga merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Banten, Demak, dan Cirebon. Faktor-faktor tersebut menjadikan interaksi yang intensif antara orang-orang asli yang tinggal di wilayah Batavia dengan kedua etnik Nusantara tadi.[21] Meski berasal dari akulturasi budaya yang beragam, arsitektur rumah Betawi harus tetap dikatakan memenuhi syarat sebagai arsitektur etnis. Dikatakan demikian karena mulai dari penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan yang merupakan pengaruh dari berbagai budaya tadi, diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Betawi dan hanya ada dalam kebudayaan Betawi itu sendiri.[22]

Rumah etnik Betawi yang khas yang berasal dari akulturasi budaya tadi baru muncul pada saat pemerintahan kolonial Belanda berkuasa dan membangun kota Batavia dengan mencontoh model-model kota-kota di tanah air mereka. Pada saat saat itu, Belanda memberlakukan aturan ketat soal pemukiman. Penduduk pribumi hanya diizinkan membangun rumah-rumah mereka di wilayah pedalaman atau pesisir. Akibat aturan tersebut maka letak rumah-rumah Belanda menjadi berjauhan dengan penduduk lokal. Dampaknya, corak dan kekhasan bangunan rumah secara teritorial menjadi semakin berbeda. Penduduk yang tinggal di kawasan pesisir bentuk rumahnya panggung untuk mengatasi gempuran ombak, sedangkan penduduk di pedalaman membangun pemukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.[23]

Subetnis

Suku Betawi tinggal di daerah pesisir sejak awal kota Batavia terbentuk. Mereka hidup dan menetap di muara sungai Ciliwung. Melalui sungai Ciliwung mereka menyebar ke tengah hingga ke daerah-daerah pinggiran Batavia.[24] Penyebaran tersebut kemudian memecah suku Betawi menjadi empat subetnis, yang terdiri dari Betawi Pesisir, Tengah, Pinggir, dan Betawi Udik.[25] Orang Betawi Pesisir tinggal di daerah-daerah dekat pantai, seperti Marunda, Sunda Kelapa, Dadap, Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Hunian mereka umumnya berpanggung.[26] Hal berbeda pada komunitas Betawi Tengah yang tinggal di tengah-tengah kota Batavia. Rumah-rumah mereka umumnya tidak berpanggung atau disebut juga rumah Depok.[27][28] Biasanya mereka tinggal di wilayah Senen, Tanah Abang, Salemba, Pasar Baru, Glodok, Jatinegara, Condet, Kwitang, dan lain-lain.[29] Terakhir adalah masyarakat Betawi Pinggir dan Udik. Mereka tingal di luar kota Batavia, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, serta sebagian wilayah Bogor. Umumnya hunian mereka berpanggung, tetapi tidak setinggi milik orang Betawi Pesisir.[30]

Lewat pembagian wilayah kebudayaan subetnis Betawi tadi, bisa diidentifikasi variasi arsitekur rumah etnik Betawi. Namun, pembagian tersebut bukanlah faktor krusial yang membuat hunian subetnis tertentu menggunakan konsep panggung atau non-panggung. Yang menjadi faktor utama adalah keadaan alam setempat. Hal tersebut beralasan karena ada hunian Betawi Tengah/Kota yang memakai konsep panggung jika berdiri di aliran sungai. Begitu pun pada rumah-rumah Betawi Pinggir dan Udik. Ada dari komunitas mereka yang bangunannya tidak berpanggung apabila berdiri jauh dari aliran sungai.[31]

Pengaruh Sunda

Rumah-rumah komunitas Betawi Pinggir terpengaruh oleh arsitektur Sunda dalam hal material dan bentuk bangunan. Hal tersebut memungkinkan karena lokasi tempat tinggal penduduk Betawi Pinggir lebih dekat dengan pusat kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang beretnis Sunda. Material Rumah adat Sunda sebagian besar menggunakan bambu dan kayu, begitu pun rumah panggung Betawi Pinggir. Panggung rumah Sunda diadopsi oleh orang Betawi pinggir, hanya saja dengan fungsi yang berbeda. Kolongnya dimanfaatkan untuk mengikat binatang-binatang peliharaan, seperti kambing, kuda, kerbau, dan sapi. Kolong panggung juga difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian seperti garu, cangkul, bajak, dan lain-lain. Hal berbeda pada Rumah Panggung Betawi. Kolong fungsinya untuk menghindari air sungai yang meluap.[32]

Rumah panggung Betawi Pinggir dan Sunda sama-sama menggunakan tangga untuk masuk ke dalam rumah. Seperti halnya rumah orang Sunda, tangga terbuat dari kayu atau bambu.[33] Falsafah tangga pun serupa, yakni sebagai pembersih kaki bagi orang yang hendak naik dan masuk ke dalam rumah. Orang Sunda menyebut tangga ini golodog, sementara orang Betawi menyebutnya balaksuji.[34]

Pengaruh kebudayaan Sunda juga terlihat dengan adanya serondoy dan pembagian wilayah dalam rumah (zoning). Serondoy awalnya banyak diaplikasikan oleh hunian komunitas Betawi Pinggir. Lalu konsep tersebut berkembang dan dicontoh oleh komunitas Betawi Tengah, seperti yang terlihat pada rumah Betawi dengan potongan atap gudang.[35] Rumah adat Sunda (juga Jawa) mengenal pembagian ruang, begitu juga pada sebagian rumah etnik Betawi. Ruangan terdiri dari tiga zona, yaitu ruang belakang, tengah, dan bagian depan.[36]

Pengaruh Jawa

Berkas:Rumah Kebaya.jpg
Replika Rumah Kebaya di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah

Selain Sunda, budaya Jawa memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya setempat, khususnya dalam hal arsitektur rumah etnik Betawi. Kebudayaan Jawa terlihat pengaruhnya pada rumah-rumah Betawi yang berdiri di kawasan-kawasan yang pernah dikuasai pasukan dari Demak dan Cirebon. Budaya Jawa yang dibawa pasukan itu dapat dilihat pada rumah-rumah Betawi yang bentuknya hampir mirip dengan rumah Joglo di Jawa Tengah.[37] Pengaruh bisa dilihat terutama pada konstruksi atapnya yang sama-sama beratap limas serta menjulang ke atas. Perbedaannya terletak pada tiang-tiang utama penopang struktur atapnya. Pada rumah Joglo Jawa, tiang-tiang tadi merupakan unsur penting yang berfungsi membagi ruangan rumah. Sementara pada potongan rumah Joglo Betawi, fungsi tiang utama sebagai pembagi ruangan tidak terlihat.[38].

Pengaruh Asing

 
Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras. Mengadopsi budaya Tionghoa (Di'pan)
  • Tionghoa. Orang Tionghoa lebih dahulu bermukim di Sunda Kelapa jauh sebelum kolonial Belanda menduduki pelabuhan tersebut. Diperkirakan mereka datang antara abad ke-10 dan ke-13 dengan tujuan berdagang.[39][40] Oleh Belanda pemukiman mereka dilokalisir hanya di kawasan Glodok, Kwitang, dan daerah pecinan lainnya. Setelah kebijakan tersebut dihapus pada tahun 1870, mereka lalu menyebar ke daerah-daerah lain di Batavia. Penyebaran sebenarnya sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya. Pada 9 Oktober 1740 Belanda membantai ribuan orang Tionghoa, karena dituding membuat keonaran. Banyak dari mereka menyelamatkan diri ke pinggiran Batavia, salah satunya ke daerah Tangerang.[41] Penyebaran tersebut semakin memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi. Banyak unsur rumah etnis Tionghoa yang dipakai dalam rumah Betawi, baik dalam penerapan fungsi maupun penyebutan nama unsur dimaksud. Beberapa diantaranya adalah jendela jejake tanpa jeruji, langkan (lan-kan) sebagai pembatas teras, pangkeng (pang-keng) atau tempat tidur, tapang (ta’pang) yang artinya ruangan kecil di depan rumah, dan dipan (di'pan) sebagai tempat tidur-tiduran.[42] Pengaruh arsitektur Tionghoa juga bisa dilihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang disebut sekor tou-kung. Konstruksi ini khususnya diterapkan pada hunian komunitas etnis Betawi Pesisir. Pengaruh lainnya adalah penggunaan ukiran pada tiang-tiang rumah orang Betawi[43]
 
Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah si Pitung. Merupakan pengaruh kebudayaan Arab
  • Arab.. Orang Arab datang ke Bumi Nusantara bermaksud untuk mencari nafkah juga menyiarkan agama Islam.[44]. Pengaruh Arab dan budaya Islam pada rumah etnik Betawi bisa dilihat pada serambi depan dan keberadaan tiang di teras depan. Rumah etnik Betawi di seluruh kawasan memiliki serambi depan yang luas dan bersifat terbuka. Biasanya oleh orang Betawi serambi depan difungsikan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak dan sebagai tempat duduk sementara buat tamu sebelum dipersilahkan masuk oleh si empunya rumah[45]. Serambi depan disebut angkan, yang berasal dari kata palangkan, artinya tempat untuk duduk-duduk[46]. Terdapat dua tiang di teras depan. Menurut ajaran Islam dua tiang tersebut memiliki makna bahwa Allah menciptakan alam semesta ini selalu berpasang-pasangan, contoh siang-malam, laki-perempuan, dan lain-lain. biasanya di sebelah kanan dan kiri terdapat semacam jendela tanpa daun, Sering kali bagian atas jendela tanpa daun tersebut berbentuk melengkung, menyerupai bentuk kubah masjid[47]
 
Konsol besi melengkung pada bagian depan Rumah si Pitung sebagai ornamen dekoratif, juga struktur penyangga atap. Diadopsi dari arsitektur Belanda
  • Belanda. Belanda menjajah Bumi Nusantara selama 350 tahun. Tujuan awal mereka adalah berdagang. Tujuan berubah tidak hanya sekedar berdagang, tetapi sekaligus menjajah setelah VOC bubar kemudian berganti menjadi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mereka datang ke Batavia pada tahun 1611[48]. Pangaruh Belanda bisa dilihat pada ruangan utama yang terhubung langsung dengan beranda depan dan posisi kamar tidur terletak di sebelah kanan dan kiri ruang utama. Sementara kamar mandi, dapur, serta gudang berada di bagian belakang bangunan utama[49]. Pengaruh Belanda lainnya ada pada penggunaan konsol (struktur penyangga atap) terbuat dari besi yang ditempa sedemikian rupa. Fungsinya, sebagai hiasan dekoratif dan sebagai konstrruksi utama. Konsol besi melengkung menjadi tren pembangunan rumah-rumah Betawi untuk jangka waktu yang lama.[50]

Pengaruh lainnya

 
Motif gigi balang pada lipslang atap di salah satu toko furniture Betawi yang tersisa di wilayah Jakarta Timur

Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu, Bugis, dan masih banyak lagi. Pengaruh budaya Melayu jelas terlihat pada motif pucuk rebung.

yang bentuknya lancip mirip tombak. Motif tersebut diadopsi dalam rumah etnik Betawi mana saja dalam lisplang gigi balang yang selalu ada menghiasi rumah etnik Betawi di manapun[51].

Pengaruh Bugis terlihat jelas pada rumah panggung si Pitung di kawasan Betawi Pesisir, Marunda Jakarta Utara. Tidak diketahui kapan persisnya Rumah si Pitung didirikan. Diperkirakan bangunan tersebut dibangun pada abad ke-20. Rumah yang sering disebut sebagai Rumah Tinggi Marunda ini bukanlah milik si Pitung, melainkan milik Haji Saipudin, [52] seorang saudagar kaya bandar ikan asal Makassar (sumber lain mengatakan dia adalah juragan sero[53]) Haji Saipuddin diyakini merupakan sahabat erat si Pitung. Pitung ditengarai hanya beberapa kali singgah di rumah itu (diperkirakan pada dekade 1890-an[54]). Singgahnya si Pitung terakhir kali adalah dalam rangka bersembunyi dari kejaran tentara Belanda dengan tuduhan merampok.[55]

Arsitektur

Jika dilihat dari strukturnya, rumah etnik Betawi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yakni rumah darat dan rumah panggung.[1]. Rumah darat atau rumah Depok menunjuk pada lantainya yang menempel langsung ke tanah (darat)[27]. Sebaliknya, pada rumah panggung lantainya diangkat menggunakan tiang-tiang sehingga tidak bersinggungan dengan tanah. Tujuan pengangkatan lantai pada rumah etnis Betawi adalah kondisi lingkungan tempat hunian itu didirikan[6].

Pada umumnya arsitektur rumah masyarakat Betawi tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di Nusantara: Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu bahkan bangunan Eropa, tetapi dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.[56]

Orientasi

 
Dapur atau bagian belakang Rumah si Pitung yang membelakangii sungai

Secara umum rumah tradisional Betawi tidak memiliki peraturan yang baku dalam penentuan arah yang disepakati warga Betawi sejak dulu hingga sekarang. Tidak seperti etnis Tionghoa dengan ilmu feng shuinya atau pada etnis Bali yang memiliki konsep sanga mandala dalam tata letaknya dan berorientasi kepada arah mata angin. Orang Betawi tidak mengenal ketentuan seperti kedua etnis tadi. Yang menjadi patokan buat mereka hanyalah fungsi dari orientasi bangunan itu sendiri. Orientasi bangunan ditentukan, misal, dengan alasan kemudahan mencapai jalan atau sekedar menyesuaikannya dengan kebutuhan.[57][58][59] Hunian Betawi Pesisir juga tidak mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Umumnya rumah panggung Betawi Pesisir menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai.[60] Pola pemukiman penduduk wilayah pesisir di Marunda berlaku seperti itu, tujuannya untuk mempermudah transportasi laut. Bagian belakang rumahnya ditempatkan dapur tidak jauh dari aliran sungai. Hal ini agar kegiatan masak yang membutuhkan air bisa berjalan efisien[61]. Begitupun dengan masyarakat Betawi Pinggir (masyarakat Melayu Betawi di Bekasi). Bagian depan rumah dan pintu dibuat menghadap ke sungai dengan tujuan serupa dengan masyarakat Betawi Pesisir. Tujuannya hampir mirip dengan komunitas Betawi Pesisir[62]

Panggung

 
Rumah panggung milik Suku Bugis di Anjungan Sulawesi Selatan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Lantai diangkat dengan tiang-tiang kayu.

Masyarakat Betawi di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Bentuk rumah panggung mengikuti pola hidup mereka sebagai nelayan. Dalam sejarahnya sebagian ibu kota Jakarta memang dibangun di atas daerah rawa-rawa. Dengan demikian bentuk rumah panggung merupakan konsep yang dinilai paling aman.[63]

Salah satu dari sedikit rumah panggung milik Betawi Pesisir adalah Rumah si Pitung. Total ada 40 tiang penyangga yang masing-masing tingginya mencapai 1,5 m.[64] Hunian berkolong tinggi pada masyarakat Betawi Pesisir bertujuan untuk mengatasi air laut yang pasang, sehingga air laut tidak sampai menjangkau lantai rumah.[65][66] Kolong panggung rumah di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan, hal ini karena kolong selalu digenangi air laut. Rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis. Tanah di kolong bangunan bisa berfungsi sebagai resapan air. Jika pasang atau banjir datang, air yang menggenang akan terserap ke dalam tanah. Dengan demikian tempat tinggal keluarga tetap aman dan para anggota keluarga masih bisa menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.[67]

Panggung rumah pada Betawi Pinggir tiangnya pendek, hanya 20-30 cm. Hal ini karena sebelumnya mereka tinggal di sepanjang aliran sungai sebelum akhirnya menyebar ke tempat sekarang. Rumah panggung bertiang pendek masih bisa ditemui di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar. Rumah panggung pada Betawi Pinggir merupakan peralihan dari menggunakan panggung ke tanpa panggung. Rumah panggung yang tersisa di sana hanyalah dalam rangka mempertahankan sisa-sisa kebudayaan rumah sungai.[68]

Rumah Betawi Panggung di Bekasi berdiri di tepian sungai, hal ini karena memang pada awalnya mereka hidup di tepi sungai. Seperti halnya di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar, mulanya rumah masyarakat Bekasi berkonsep rumah panggung yang bercirikan arsitektur Melayu. Pada atapnya terdapat lembayung. Ciri tersebut masih terlihat di daerah Cikedokan, Komunitas Betawi ini menerapkan panggung dengan fungsi untuk mengantisipasi banjir.[69]

Rumah Panggung Betawi Ora di Tangerang Selatan agak lebih tinggi daripada Betawi Pinggir. Jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 cm. Manfaat panggung tidak seperti pada rumah Betawi Pesisir. Panggung dibuat hanyalah untuk menghindari rayap dan lembab. Hal ini mengingat lantai rumah yang terbuat dari kayu menjadi terawat.[70] Sangat mungkin rumah Panggung orang Betawi Pesisir dipengaruhi oleh arsitektur bangunan penduduk asal Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke atau bermukim di Marunda.[71] Contoh nyata adalah Rumah si Pitung yang pemilknya nyata-nyata berasal dari Suku Bugis.[55]

Rumah panggung Betawi Pinggir di Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Pesisir Marunda. Boleh dikatakan Rumah si Pitung adalah prototipe rumah panggung Betawi Melayu (Bekasi) yang tersisa. Masyarakat Melayu Betawi merupakan masyarakat rawa sehingga konsep huniannya berpanggung. Namun, tidak semua rumah orang Betawi Melayu berpanggung. Karena mereka tinggal dan hidup di lingkungan yang beragam, dari pesisir hingga ke pedalaman. Artinya, orang Betawi Melayu juga mengenal Rumah Darat. Jadi pola arsitektur rumah Betawi Melayu bervariasi dari yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir (berpanggung) sampai ke pedalaman yang bekerja sebagai petani (non panggung).[72]

Namun, berbeda dengan Rumah di Pesisir yang berpanggung karena faktor banjir atau air pasang saja, pada Rumah Panggung di Bekasi selain menghindari banjir, konsep panggung dipilih karena faktor keamanan. Hal ini mengingat Bekasi dahulunya masih hutan dan masih banyak dihuni binatang-binatang berbahaya.[14] Pengangkatan lantai rumah pada rumah panggung Betawi dimaksud juga untuk mengaplikasikan Balaksuji (konstruksi tangga) yang memiliki nilai filosofis penting bagi orang Betawi. Konstruksi tangga jarang ditemui pada rumah-rumah Betawi yang tidak berpanggung[73]

Atap

 
Konstruksi atap rumah Betawi di wilayah pesisir

Atap rumah Masyarakat Betawi Pesisir ada yang berbentuk atap Rumah Bapang (atau Kebaya), Joglo, dan lain-lain.[74] Hal demikian menunjukkan bahwa secara umum pilihan pola atap pada rumah Betawi tidak terlalu penting. Terdapat tiga jenis pola atap rumah Betawi. Walaupun bentuknya berbeda-beda, tetapi secara umum ketiganya mempunyai kesamaan dalam hal bahan berasal dari kayu nangka sebagai konstruksi utama kuda-kudanya[75]. Ketiga pola atap dimaksud adalah atap rumah Gudang, Bapang dan Joglo.[76]

  • Atap Rumah Gudang. Pada Rumah Gudang bentuk atapnya ada yang pelana dan ada yang perisai yang tersusun dari kerangka kuda-kuda. Jika berbentuk perisai, ditambah sebuah elemen struktur yang disebut jure. Struktur kuda-kuda atap rumah gudang agak kompleks. Hal ini karena sudah menggunakan batang tekan miring sebanyak dua buah yang saling bertemu pada sebuah batang tarik tegak atau disebut dengan ander[77]. Di bagian depan atap diberi tambahan berupa topi, dak, atau markis. Penambahan topi bertujuan untuk melindungi teras depan dari panas atau tampias air hujan[78].
  • Atap Rumah Bapang (Atau Rumah Kebaya). Atapnya berbentuk pelana. Namun, konstruksinya berbeda dengan atap rumah Gudang. Atap Bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap rumah Bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk (biasa disebut sorondoy), sedangkan atap pelananya berada ditengah-tengah ruang. Ada juga rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana, tapi limpasan air berada di bagian samping[79].
  • Atap Rumah Joglo. Pada rumah Joglo atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti rumah Joglo Jawa. Umumnya rumah Joglo dimiliki oleh golongan bangsawan atau priyayi. Tetapi terdapat perbedaan dalam sistem konstruksi atapnya. Jika Rumah Joglo di Jawa menggunakan soko guru, maka Rumah Joglo di Betawi menggunakan struktur kuda kuda biasa, tidak memakai tiang-tiang penopang struktur atap sebagai unsur utama dalam pembagian ruang.[74][80]

Pondasi

 
Pondasi umpak untuk menyokong tiang-tiang panggung pada Rumah si Pitung di Marunda

Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung struktur pondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm. Di wilayah pesisir, umpak terbuat dari bahan-bahan seperti semen, pecahan karang, dan kerikil, mengingat mudah ditemukan di sekitar pantai. Umpak digunakan sebagai landasan tiang kayu sebagai soko guru yang berfungsi sebagai penahan beban struktur rumah dan penghuninya atau mengangkat lantai dari tanah. Fungsi umpak itu sendiri adalah untuk agar tiang-tiang tadi tidak mudah terperosok ke dalam tanah. Fungsi lainnya, untuk melindungi kayu dari serangan serangga. Rumah Si Pitung di Marunda menggunakan umpak pada pondasinya.[81] Tiang-tiang pada rumah Betawi Panggung terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon yang tumbuh di sekitaran rumah. Kayu yang dipilih adalah kayu pohon nangka, pohon kecapi, dan kayu pohon rambutan[82]

Tata ruang

 
Beranda Rumah panggung di Marunda dengan jendela krapyak di sebelah kiri. Meja dan kursi (bisa juga diganti dengan tapang)

Walaupun bervariasi, pada umumnya tipologi rumah Betawi memiliki kesamaan baik dalam hal material, struktur bangunan, maupun pengorganisasian tata ruangnya. Jika dilihat dari struktur organisasi ruangannya, rumah-rumah Betawi secara umum terdiri dari teras (beranda) yang luas dan dilengkapi paseban, ruang dalam, kamar tidur dan dapur.[83] Masing-masing ruangan terkadang merupakan satu bagian bangunan yang memiliki pola atap sendiri-sendiri, jika si pemilik rumah dari kalangan orang berada. Akan menggunakan satu pola atap untuk menaungi ketiga ruang jika berasal dari kalangan biasa saja[84].

Pembagian ruang rumah etnik Betawi, khususnya yang berpanggung, dipengaruhi oleh budaya Sunda dan Jawa. Hanya saja berbeda dalam hirarkinya. Ruang-ruang pada rumah adat Sunda dan Jawa melambangkan hirarki antara laki-laki dan perempuan. Pada rumah Betawi hirarki jenis kelamin tersebut tidak diberlakukan. Hal demikian bisa dilihat dari kamar tidur anak perempuan pada rumah Betawi yang posisinya berada di depan.[36]

 
Tata ruang rumah panggung Betawi Pesisir di Marunda. Bagian Belakang langsung menghadap sungai

Di area beranda biasanya terdapat tapang. Namun, sekarang tapang biasanya diganti menjadi kursi untuk tamu beserta mejanya.[85] Tapang adalah bale bale yang terbuat dari bambu yang digunakan sebagai tempat bersantal. Pada tapang biasanya terdapat kendi dan peralatan minuman lainnya sebagai pendukung suasana santai.[86] Tapang sendiri meurupakan pengaruh etnis Tionghoa. Namun, biasanya pada rumah-rumah Betawi di atas tapang, terdapat kendi dan peralatan minuman. Hal ini merupakan wujud kepedulian sosial orang Betawi kepada orang lain. Air di dalam kendi bebas diminum siapa saja atau digunakan untuk membasuh muka dan kaki para musafir yang lewat.[87]

Beranda yang luas menggambarkan sifat orang Betawi yang kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta selalu menjaga keharmonisan dengan tetangga.[88] Dahulu biasanya keluarga Betawi memiliki banyak anak dan memiliki kecenderungan tinggal saling berdekatan dengan saudara mereka. Teras yang luas dibutuhkan untuk tempat berkumpul (biasanya pada sore hari) atau bisa juga sebagai tempat untuk arisan keluarga.[89]

Dari beranda masuk ke bagian tengah atau ruang inti rumah Betawi. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya privat. Kamar tidur ada yang berbentuk kamar tertutup dan ada pula yang terbuka tanpa dinding pembatas, sehingga bercampur fungsinya menjadi ruang makan.[90] Bagian belakang merupakan dapur dan padasan. Dapur atau yang biasanya disebut serondoyan adalah tempat memasak serta berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian serta kayu bakar. Sementara padasan merupakan tempat diletakkannya sumur timba, tempat mencuci pakaian kotor dan mengambil air wudhu[91].

Balaksuji

 
Balaksuji atau tangga Rumah Panggung si Pitung di Marunda

Rumah Orang Betawi mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan rumah-rumah etnik nusantara lainnya. Salah satunya adalah keberadaan tangga di depan rumah. Orang Betawi menyebutnya sebagai Balaksuji. Balaksuji bagi orang Bertawi bukan hanya sekedar instrumen untuk naik dan masuk ke dalam rumah. Elemen ini berfungsi juga sebagai sarana untuk menolak bencana (bala) dan media penyucian diri sebelum masuk ke dalam rumah. Jadi sebelum menaiki tangga (Balaksuji) seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu. Hal demikian dilakukan agar saat sudah di dalam rumah, pemilik rumah atau pengunjung dianggap sudah berada dalam keadaan bersih dan suci.[92][93] Balaksuji sendiri secara kiasan memiliki arti kawasan penyejuk.[94]

Pada zaman dulu masyarakat Betawi membangun sumur di depan rumah untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga dan memasuki rumah. Saat ini pada rumah-rumah modern Betawi Balaksuji tidak dipakai lagi, karena dianggap terlalu merepotkan. Namun, di beberapa kampung, Balaksuji ini masih dipertahankan di beberapa masjid berasitektur Betawi. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah dan merupakan tangga menuju ke mimbar.[95][96] Dalam prinsip kepercayaan masyarakat Betawi segala sesuatu yang kotor tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah. Kotoran-kotoran harus dibuang terlebih dahulu di luar rumah. Tidak heran jika sumur rumah Betawi berada di luar, termasuk kamar mandi dan jamban.[97]

Pembuatan

Material

 
Lantai kayu jati Rumah si Pitung

Material rumah etnik Betawi tempo dulu biasanya berasal dari bahan-bahan yang tumbuh di lingkungan sekitar mereka, seperti kayu sawo. kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia[98]. Material bangunan rumah Betawi Pesisir utamanya terdiri dari kayu, bambu, dan genteng merah. Kayu yang digunakan bermacam-macam. Untuk tiang rumah bisa menggunakan kayu besi atau kayu jati. Kenapa dipilih kayu besi atau jati hal ini karena kayu jenis itu paling kuat untuk menahan beban yang berat. Kayu ini juga dikenal anti-serangga pemakan kayu dan terkenal kuat untuk menahan pengaruh air asin (air laut).[99] Umumnya kayu nangka oleh orang Betawi juga kerap dijadikan pilihan utama selain jati. Hal ini karena kekuatan kayu tersebut hampir sebanding dengan kayu jati. Itulah mengap[a orang-orang Betawi gemar menanam pohon nangka di halaman rumahnya. Selain buahnya untuk dimakan, kayunya pun bisa dimanfaatkan. Namun, tidak semua struktur rumah boleh menggunakan bahan kayu nangka, khususnya struktur drampol atau trampa yang berada di bawah[100]. Orang Betawi pantang melangkahi kayu nangka, karena dipercaya akan mendatangkan penyakit.[101]

Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau kayu meranti. Kayu duren dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan kayu rasamala dan kayu kecapi dipasang untuk tiang-tiang panggung. Untuk bangunan utama dipakailah kayu, sedangkan bangunan tambahan memakai bambu. Bambu juga digunakan untuk membuat langit-langit rumah. Sedangkan genteng merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.[100]

Tidak semua bahan-bahan utama tersebut diperoleh dengan cara membeli. Ada juga yang menggunakan bahan bekas atau berasal dari rumah kerabat yang ditinggalkan. Dalam budaya Betawi ada tradisi saling bantu-membantu ketika membangun rumah. Bantuan tidak hanya berupa uang, bisa juga berupa material yang dibutuhkan. Misal, menyumbangkan pohon yang tumbuh di pekarangan untuk dijadikan tiang atau papan rumah yang hendak dibangun.[102]

Proses pembangunan

Pembuatan Rumah Betawi Panggung diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan sumber air dan posisinya membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (pondasi tiang panggung) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang. Setelah urusan tanah siap, kini saatnya membuat rangka. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5.[99]

Rangka tidak dibuat di atas tanah tempat rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara selamatan. [99] Pada rumah Betawi panggung di pesisir, pondasi umpak berbentuk persegi umumnya berukuran 20 cm x 25 cm. Umpak itu sendiri berasal dari bahan-bahan yang mudah di temukan di sekitar. Misalnya, pecahan karang dan kerikil.[81]

Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah lantai selesai lalu berlanjut membuat dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan. Pemasangan papan dilakukan tanpa jarak dengan menggunakan paku. Setelah selesai kini waktunya membuat langit-langit rumah. Langit-langit terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.[99]

Setelah bagian-bagian penting dibuat dan dipasang, lalu saatnya membuat ruangan. Setiap ruangan merupakan bagian yang dibatasi oleh empat buah tiang utama. Dengan formasi tiang 4x5m, berarti terdapat empat ruang yang berderetan. Pintu dipasang agak ke samping kiri atau kanan agar angin tidak berhembus langsung ke dalam seluruh ruangan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka melindungi tempat tidur dan dapur dari penglihatan orang.[99]

Kini waktunya membuat bangunan tambahan. Bangunan ini dibangun menempel dan sama tinggi dengan bangunan utama. Didirikan di atas 12 umpak dengan pondasi 3x4 m. Bambu yang digunakan sebagai tiang adalah bambu betung (bambu yang besar dan kuat). Bangunan tambahan ini berdinding bilik seperti bangunan utama. Sedangkan lantainya terbuat dari jaro-jaro atau bilah-bilah bambu yang dipasang agak renggang. Atap bangunan tambahan merupakan genteng merah yang disusun sedemikian rupa. Setelah itu lalu dibangunlah jamban (WC). Tidak begitu besar, hanya 1x1 m dan dibangun tanpa atap. Jamban didirikan di atas air dan dihubungkan dengan bagian belakang rumah melalui titian (seperti jembatan untuk menyeberang) yang bisa terbuat dari bambu ataupun kayu.[99]

Pantangan & Aturan

Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.[103] Pada prinsipnya kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar berarti mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.[74][104] Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah tempat rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.[74]

  • Kayu Nangka. Dalam hal material bangunan, kayu nangka pantang menjadi bagian bawah kusen pintu. Jika demikian berarti kayu nangka akan selalu dilangkahi orang. Dalam kepercayaan Masyarakat Betawi, jika ada yang melangkahi kayu nangka maka dia dikhawatirkan akan terkena penyakit kuning.[101]
  • Tanah Keramat. Orang Betawi pantang mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan.[105]
  • Posisi Rumah. Jika ada orang Betawi mau mendirikan rumah, hendaknya rumah itu berada di sebelah kiri rumah orang tua atau mertua. Jika posisinya berada di sebelah kanan, maka keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan jadi susah rezekinya.[106]
  • Atap. Larangan keras lainnya adalah soal atap rumah. Ada pantangan untuk membuat atap rumah yang bahannya mengandung unsur tanah. Bagi Orang Betawi, tanah itu seharusnya berada di bawah. Kalau ada orang Betawi yang melanggarnya, berarti sama saja ia terkubur di dalam tanah.[74]
  • Kayu Cempaka. Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi berbahan kayu cempaka. Secara harafiah kayu cempaka memang berbau harum, jadi sekaligus bermanfaat juga sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya.[107]
  • Kayu Asem. Berbeda dengan kayu Cempaka, meski sering ditemukan di kebun-kebun orang Betawi, kayu dari pohon asem pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, dikhawatirkan akan menganggu hubungan dengan para tetangga.[108]
  • Garam Bata. Orang Betawi percaya roh-roh jahat bisa diusir dengan menggunakan garam bata. Maka pada saat meratakan tanah yang akan dibangun rumah, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat.[109]

Galeri

Rumah si Pitung atau Rumah Tinggi Marunda

Rumah Panggung Betawi Kampung Marunda Pulo

Referensi

  1. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 50 : “. Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ...".
  2. ^ Mustika (2008), hlm. 13-14 : “Masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, dari pesisir hingga pedalaman. Bahkan, saat ini tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah kota Jakarta. Inilah yang menyebabkan rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionalnya. Arsitektur rumah Betawi juga mulai mengenal rumah "darat” ...".
  3. ^ Sardjono (2006), hlm. 24 : “Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ...".
  4. ^ Swadarma (2014), hlm. 43: “Di atas fondasi umpak terdapat tiang kayu sebagai sako guru. Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ...".
  5. ^ Suwardi (2009), hlm. 14 : “. Arsitektur tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang menciptakannya maupun keadaan lingkungan yang mempengaruhinya ...".
  6. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 15 : “Sebenarnya penggunaan kolong pada rumah Betawi tidak semata-mata berdasarkan pembagian wilayah Betawi pesisir, tengah dan pinggiran semata, tetapi lebih dikarenakan keadaan alam setempat ...".
  7. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 109 : “Yang dimaksud dengan arsitektur di sini, ialah gaya bangunan sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan suatu masyarakat yang dipergunakan untuk berlindung dari pengaruh cuaca atau lingkungan hidupnya ...".
  8. ^ Swadarma (2014), hlm. 50 :"Berbeda dengan rumah panggung yang struktur bangunannya harus menyesuaikan dengan kondisi alam di sekitarnya yang dekat dengan air, baik laut maupun sungai ...".
  9. ^ Salim (2015), hlm. 397 : “Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si Pitung di Marunda. Atap berbentuk bapang, joglo, dan sebagainya ...".
  10. ^ Swadarma (2014), hlm. 15 : “Rumah Betawi Pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang...".
  11. ^ Swadarma (2014), hlm. 16 : “Bila berada di dekat aliran sungai, maka rumah Betawi Pinggiran akan berkolong rendah, tetapi akan tidak berkolong bila jauh dari sungai ...".
  12. ^ Swadarma (2014), hlm. 26 : “Hanya saja fungsinya bukan untuk mengikat ternak, tetapi untuk menghindari air sungai yang meluap ...".
  13. ^ Swadarma (2014), hlm. 15 : “Jadi fungsi kolong yang rendah tersebut hanya sekedar melestarikan sisa-sisa budaya rumah sungai tersebut ...".
  14. ^ a b Nur (2016), hlm. 20 : “Alasannya, biasanya adalah faktor keamanan hutan dan lingkungan yang dahulu masih banyak dihuni oleh binatang pengganggu, membuat kearifan masyarakat tradisional mengakalinya dengan bentuk rumah panggung ...".
  15. ^ Swadarma (2014), hlm. 17: “Lambat laun, dengan semakin banyak dan membaurnya penduduk maka secara umum arsitektur rumah yang dibangun memiliki persamaan, dengan mengadopsi ciri khas arsitektur rumah asal masing-masing. Dengan demikian rumah etnik khas Betawipun terbentuk ...".
  16. ^ Leo, dkk (2019), hlm. 10 : “Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antaretnis dan bangsa pada masa lalu ...".
  17. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 9 : “Sebagai daerah pesisir yang mempunyai pelabuhan internasional, masyarakat yang mendiami kawasan Batavia tempo dulu banyak melakukan interaksi dengan pedagang dari berbagai macam daerah, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. ...".
  18. ^ Swadarma (2014), hlm. 16 : “Beragamnya etnis, baik yang berasal dari kawasan Nusantara maupun mancanegara membuat rumah Betawi meninggalkan jejak yang khas serta penuh dengan pengaruh budaya yang berbeda-beda ...".
  19. ^ Karim (2009), hlm. xix : “Pada zaman Kerajaan sunda abad ke-10 hingga ke-16, di muara Ciliwung, yang berlokasi di wilayah Jakarta Kota sekarang, telah berdiri pelabuhan Kalapa. Cikal bakal pelabuhan sunda kelapa ini termasuk pelabuhan terbesar kala itu di Nusantara. ...".
  20. ^ Swadarma (2014), hlm. 16 : “Dari sekian banyak pengaruh dari dalam dan luar daerah Indonesia terhadap ragam arsitektur rumah Betawi, yang paling dominan adalah Jawa, Sunda, Arab dan Cina. ...".
  21. ^ Swadarma (2014), hlm. 17-18 : “Pengaruh budaya lokal Jawa dan Sunda lebih dominan dibandingkan dengan daerah kawasan nusantara lainnya. ...".
  22. ^ Swadarma (2014), hlm. 16: “Arsitektur bangunan dikatakan etnik apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan turun-temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu ...".
  23. ^ Swadarma (2014), hlm. 17: “Pembangunan rumah etnik Betawi yang khas sebenarnya baru tampak saat pemerintahan kolonial Belanda membangun kota Batavia dengan mencontoh model-model kota-kota di Belanda ...".
  24. ^ Swadarma (2014), hlm. 10: “Sejak awal terbentuknya kota Jakarta, daerah ini adalah tempat suku Betawi berasal. Tepatnya di daerah muara sungai Ciliwung ...".
  25. ^ Swadarma (2014), hlm. 11: “Berdasarkan kesamaan unsur budayanya, seperti bahasa, kesenian, adat dan arsitektur rumahnya, wilayah kebudayaan Betawi meliputi betawi pesisir, betawi tengah/kota, serta betawi pinggir dan udik ...".
  26. ^ Swadarma (2014), hlm. 11: “Meliputi daerah Sunda Kalapa, Tanjung Priok, Kampung Bandan, Ancol ...".
  27. ^ a b Ruchiat, dkk (2003), hlm. 111 : “Rumah yang beralaskan tanah yang diberi lantai tegel atau semen (sering juga disebut rumah Depok) ...".
  28. ^ Swadarma (2014), hlm. 13: “Di kawasan tengah, seperti daerah Kwitang dan Senen, banyak dijumpai rumah tanpa kolong yang masih beralaskan tanah atau plesteran semen dengan penggunaan pondasi roolag ...".
  29. ^ Swadarma (2014), hlm. 13: “Betawi tengah/kota meliputi beberapa wilayah seperti Condet, Senen, Kwitang ...".
  30. ^ Swadarma (2014), hlm. 14: “Betawi pinggir dan udik meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kotamadya Tangerang, Kabupaten Bekasi ...".
  31. ^ Swadarma (2014), hlm. 16: “Berbeda dengan rumah Betawi tengah yang jauh dari aliran sungai kemungkinan besar rumahnya tidak berkolong. Akan tetapi untuk pemukiman yang lokasinya berdekatan dengan sungai, bisa dipastikan rumah Betawi tengah tersebut berkolong ...".
  32. ^ Swadarma (2014), hlm. 21 : “Selain unsur Jawa, pengaruh dari arsitektur Sunda pada rumah Betawi pun tidak sedikit. Terutama dalam hal bahan material dan bentuk rumah. ...".
  33. ^ Swadarma (2014), hlm. 21-22 : “Bentuk rumah panggung dengan kolong ini mensyaratkan adanya tangga. Umumnya bahan tangga ini terbuat dari kayu atau bambu ...".
  34. ^ Swadarma (2014), hlm. 22 : “Di Jawa Barat tangga seperti ini disebut colodog. Anak tangga goladog biasanya tidak lebih dari tiga buah, dengan fungsi sebagai pembersih kaki tagi orang yang akan naik ke dalam rumah ...".
  35. ^ Swadarma (2014), hlm. 22 : “Pengaruh unsur budaya Sunda lainnya terlihat dari adanya seronday seperti yang terlihat pada rumah Betawi dengan potongan atap gudang ...".
  36. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 23 : “Selain itu, pembagian rumah dibagi menjadi tiga kelompok ruang, yaitu ruang balakang, tengah, dan depan. Hal itu melambangkan hirarki antara laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam budaya Sunda dan Jawa yang kemudian diadaptasi oleh sebagian rumah etnik Betawi, meskipun tidak terlalu mutlak ...".
  37. ^ Swadarma (2014), hlm. 18 : “Pengaruh Jawa pada arsitektur rumah Betawi terlihat jelas pada rumah-rumah di kawasan yang dulunya dikuasai oleh pasukan dari Demak dan Cirebon yang berbudaya Jawa ...".
  38. ^ Swadarma 2014, hlm. 20 : “Konstruksi rumah joglo Jawa sedikit banyak ikut memengaruhi rumah Betawi. terutama dari konstruksi atapnya ...".
  39. ^ Lohanda (1995), hlm. 100 : “Orang Cina telah bermukim di Sunda Kelapa Jakarta jauh sebelum VOC/Belanda menduduki bandar ini. Diperkirakan kedatangan orang Cina di wilayah bandar ini terjadi antara abad ke-10 dan ke-13 ...".
  40. ^ Lohanda (1995), hlm. 100 : “Mereka sudah terlibat dalam perdagangan Jada dengan Banten dan mengelola arak ...".
  41. ^ Swadarma (2014), hlm. 24 : “Orang-orang Cina tersebut dibatasi ruang geraknya oleh penjajah Belanda. Mereka ditempatkan di tempat yang telah ditentukan, seperti kawasan Glodok, Kwitang, dan Pecinan ...".
  42. ^ Swadarma (2014), hlm. 24-27 : “Jejak pengaruh arsitektur Cina terhadap rumah etnik Betawi akan terlihat jelas bila menyambangi daerah Benteng, Tangerang ...".
  43. ^ Swadarma (2014), hlm. 27 : “Pengaruh arsitektur Cina lainnya terhadap desain rumah Betawi terlihat pada konstruksi balok-balok kuda penyokong yang lazim disebut sekor tou-kung, sebagaimana yang terlihat pada rumah Betawi di kawasan pesisir ...".
  44. ^ Isnaeni, Hendri F. (25 Maret 2015). "Awal Mula Datangnya Orang-orang Arab ke Nusantara". historia. Diakses tanggal 9 Mei 2019. 
  45. ^ Swadarma (2014), hlm. 29 : “Rumah-rumah tersebut memiliki serambi bagian depan yang luas dan terbuka, biasanya digunakan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak. Selain itu, teras dapat digunakan sebagai tempat duduk tamu sementara sebelum dipersilahkan masuk oleh tuan rumah ...".
  46. ^ Swadarma (2014), hlm. 29 : “Biasanya rumah etnik di wilayah budaya Betawi memiliki serambi depan yang terbuka. Serambi depan disebut "angkan", berasal dari kata palangkan yang berarti tempat duduk ...".
  47. ^ Swadarma (2014), hlm. 28-29 : “Penggunaan tiang di teras depan yang biasanya berjumlah dua buah juga merupakan pengaruh dari arsitektur Arab, karena bermakna berpasang pasangan ...".
  48. ^ Lubis (2017), hlm. 200 : “Pada mulanya, kedatangan kedatangan Belanda ke Indonesia untuk kegiatan perdagangan lewat kongsi dagang yang disebug VOC (Verenigde Ost Indische Compagnie) ...".
  49. ^ Swadarma (2014), hlm. 30 : “Ruangan utama terhubung langsung dengan beranda depan dan belakang dengan posisi kamar tidur ada di sebelah kanan dan kiri ruangan utama tersebut ...".
  50. ^ Swadarma (2014), hlm. 96: “Penggunaan besi tempa merupakan salah satu hal baru yang diperkenalkan penjajah Belanda pada masyarakat Betawi ...".
  51. ^ Swadarma (2014), hlm. 23 : “Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ...".
  52. ^ Anom, dkk (1996), hlm. 75. :" Rumah SI Pitung sering disebut Rumah Tinggi Marunda diperkirakan dibangun pada abad ke-20. Dahulu rumah ini milik H. Syaifuddin, seorang pengusaha Sero ...".
  53. ^ Rizal, JJ (9 November 2017). "Reklamasi dan Kiamat Situs Sejarah-Budaya Jakarta". tirto. Diakses tanggal 25 April 2019. 
  54. ^ Ramadhan, Ardito (12 Mei 2018). "Mempelajari Sejarah Rumah Si Pitung, Rumah yang Tak Pernah Dihuni Si Pitung..." kompasonline. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  55. ^ a b Silalahi, Laurel Benny Saron (14 Maret 2016). "Kisah Rumah Pitung di Marunda". merdekaonline. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  56. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 108 : “Masyarakat Betawi pada umumnya tidak memiliki gaya bangunan yang khas ...".
  57. ^ Swadarma (2014), hlm. 33 : “Pola tapak rumah Betawi sangat terbuka, dalam artian masyarakat Betawi tidak mengenal ilmu feng shui dalam mendirikan rumah ...".
  58. ^ Moechtar, dkk (2012), hlm. 141 : “Rumah tradisional Betawi dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam peletakannya ...".
  59. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 109 : “Tata letak rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis ...".
  60. ^ Salim (2015), hlm. 398 : “Di daerah pesisir kelompok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu ...".
  61. ^ Mutholib, dkk (1986/1987), hlm. 8: “Pola pemukiman Marunda pada umumnya terkonsentrasi dimuara sungai atau ditepian aliran sungai hal ini dilakukan untuk mempermudah transportasi laut. Penempatan denah rumah tegak lurus dengan alur sungai atau dengan kata lain membelakangi sungai ...".
  62. ^ Nur (2016), hlm. 18 : “Masyarakat Melayu Betawi (Bekasi) pada awalnya adalah masyarakat sungai. Mereka tinggal secara berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan tertentu. Pintu depan rumah menghadap ke sungai ...".
  63. ^ Habitat for Humanity Indonesia (2016), hlm. 9 : “ Selain itu, dalam sejarahnya sebagian ibu kota Jakarta juga dibangun di atas daerah rawa, sehingga bentuk rumah Panggung ini dinilai paling aman ...".
  64. ^ Anom (1996), hlm. 75 : “Rumah Si Pitung ini menghadap ke laut utara. Rumah tersebut merupakan rumah panggung yang ditopang oleh 40 buah tiang berbentuk bulat dan persegi panjang tingginya kira-kira 1,5 m ...".
  65. ^ Badriyah, Laela (14 Februari 2019). "Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?". medcom. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  66. ^ Swadarma (2014), hlm. 15 :"Rumah Betawi pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang ...".
  67. ^ Habitat for Humanity Indonesia (2016), hlm. 9 : “Ada keuntungan ekologis dari rumah tipe Panggung, yaitu tanah di bagian bawah bangunan akan berfungsi sebagai tempat untuk resapan air ...".
  68. ^ Swadarma (2014), hlm. 15 :"Adapula rumah-rumah Betawi merupakan peralihan dari yang berkolong ke tanpa kolong, misalnya yang terdapat di Pondok Rangon, Kranggan dan Tipar dengan tinggi kolong hanya 20-3-cm ...".
  69. ^ Nur (2016), hlm. 17 : “Rumah adat panggung berdiri di tepi-tepi sungai karena pada awalnya kehidupan berada di tepi sungai ...".
  70. ^ Swadarma (2014), hlm. 85 : “Aslinya ia merupakan rumah panggung dengan jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 cm ...".
  71. ^ Swadarma (2014), hlm. 12 :"Bentuk kolong bisa jadi merupakan pengaruh arsitektur bangunan dari penduduk yang berasal dari Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke kawasan ini ...".
  72. ^ Nur (2016), hlm. 17-18 : “Rumah panggung tradisional masyarakat Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Marunda. tak jauh dari Cilincing, Jakarta Utara, terdapat sebuah rumah panggung yang bersejarah ...".
  73. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Balaksuji adalah konstruksi tangga pada rumah Betawi ...".
  74. ^ a b c d e "Rumah Betawi". ensiklopediajakartaonline. Diakses tanggal 16 April 2019. 
  75. ^ Swadarma (2014), hlm. 52: “Walaupun memiliki bentuk atap yang berbeda-beda, tetapi secara umum ketiganya memiliki kesamaan, yaitu menggunakan bahan yang berasal dari kayu nangka sebagai konstruksi utama kuda-kuda ..." Ruchiat, dkk.
  76. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 108 : “Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya, rumah tradisional Betawi secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu potongan gudang, potongan joglo (limasan), dan potongan bapang atau kabaya ...".
  77. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 109 : “Atapnya berbentuk pelana tetapi ada juga yang berbentuk perisai ...".
  78. ^ Swadarma (2014), hlm. 39 : “Penambahan topi ini dimaksudkan agar melindungi teras depan dari panas dan tampias air hujan ...".
  79. ^ Ruchiat, dkk (2003), hlm. 111 : “Pada dasarnya atap rumah potongan Bapang adalah berbentuk pelana ...".
  80. ^ Fenny Leo, dkk (2019), hlm. 11. :" Pada rumah Joglo dari atap disusun oleh sistem struktur kuda-kuda...".
  81. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 46-47: “Rumah Betawi yang berbentuk panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm x 25 cm ...".
  82. ^ Swadarma (2014), hlm. 43: “Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ...".
  83. ^ Swadarma (2014), hlm. 45: “Walaupun rumah Betawi sangat variatif, secara umum tipologi rumah Betawi memiliki kesamaan dalam hal material, struktur bangunan, serta organisasi ruangnya ...".
  84. ^ Swadarma (2014), hlm. 34: “Masing-masing zona terkadang merupakan satu bagian bangunan dengan pola atap tersendiri. Namun, ada juga yang menggunakan satu pola atap untuk menaungi ketiga zona ...".
  85. ^ Swadarma (2014), hlm. 33: “Di area serambi, jika tidak ada kosong maka biasanya terdapat tapang (balai-balai bambu) Namun, sekarang pada umumnya tapang telah digantikan dengan kursi dan meja tamu ...".
  86. ^ Swadarma (2014), hlm. 58: “tapang adalah bale bale bambu pada paseban yang bisa digunakan sebagai tempat bersantal Pada area tapang biasanya terdapat kendi dan peralatan minuman lainnya untuk mendukung suasana santai ...".
  87. ^ Swadarma (2014), hlm. 69: “Hampir setiap rumah orang Betawi menyediakan kendi berisi air yang diletakkan di depan rumah pada tempat yang bernama tapang, Hal tersebut merupakan bentuk kepedulian sosial masyarakat Betawi terhadap kesulitan orang lain ...".
  88. ^ Tanjung (2018), hlm. 11. :" di bagian teras ini suku Betawi menerima tamu sekaligus bersantai ...".
  89. ^ Adi (2010), hlm. 31 : “Terasnya juga sudah tidak ada lagi yang lebar, padahal teras orang Betawi tempo dulu lebar-lebar ...".
  90. ^ Swadarma (2014), hlm. 33: “Bagian tengah adalah bangunan inti. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya privat ...".
  91. ^ Swadarma (2014), hlm. 34: “Yang terakhir adalah bagian belakang, yang terdiri dari dapur dan padasan ...".
  92. ^ Wijayanti, dkk (2019), hlm. 52. :" Balaksuji sendiri memiliki filosofi sebagai rumah tangga, dan juga sebagai sarana untuk menolak bencana dan menyucikan diri sebelum memasuki rumah ...".
  93. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Pada rumah Betawi panggung siapapun yang memasuki rumah harus melalui tangga terlebih dahulu ...".
  94. ^ "Rumah Panggung Betawi". kemdikbud. Diakses tanggal 18 April 2019. 
  95. ^ Haryanti, Rosiana (11 Juli 2018). "Arsitektur Rumah Betawi, Sarat Nilai Filosofis". kompasonline. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  96. ^ Swadarma (2014), hlm. 66 : “Balaksuji saat ini sudah sangat jarang ditemukan di rumah-rumah Betawi tradisional dan banyak dialihkan sebagai tangga pada masjid ...".
  97. ^ Marzuqi, Abdillah M. (6 Agustus 2017). "Mengenal Rumah Asli Suku Betawi". mediaindonesiaonline. Diakses tanggal 12 April 2019. 
  98. ^ Swadarma (2014), hlm. 34: “Bahan-bahan material bangunan etnik Betawi tempo dulu adalah bahan alami yang terdapat di alam sekitar, seperti kayu sawo. kayu nangka, bambu, kayu kecapi, cempaka, juk, dan rumbia ...".
  99. ^ a b c d e f "Panggung, Rumah". Provinsi DKI Jakarta. Diakses tanggal 15 April 2019. 
  100. ^ a b Swadarma (2014), hlm. 73 : “Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ...".
  101. ^ a b BP Budpar (2002), hlm. 10. :" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning...".
  102. ^ Suwardi (2009), hlm. 16. :" Mungkin ada yang memberikan pohon yang ada di kebunnya yang akan dijadikan bahan bangunan, baik tiang atau papan serta keperluan lainnya ...".
  103. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Sebagai masyarakat yang dibentuk oleh multietnis, banyak kepercayaan-kepercayaan yang terbawa hingga sekarang ...".
  104. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pada prinsipnya larangan serta aturan tersebut ditujukan agar penghuni yang kelak menempati rumah yang sedang dibangun terhindar dari musibah dalam hidupnya ...".
  105. ^ "Rumah Betawi". jakarta. 5 Oktober 2017. Diakses tanggal 13 Mei 2019. 
  106. ^ Swadarma (2014), hlm. 74 : “Akan tetapi, ada kepercayaan orang Betawi yang melarang rumah anak didirikan tepat di sebelah kanan rumah orang tuanya ...".
  107. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Kayu cempaka merupakan salah satu kayu yang berbau harum ...".
  108. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pohon asem sering ditemukan berada di kebun-kebun warga Betawi., tetapi bila diperhatikan ternyata pohon asem hampir tidak pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah ...".
  109. ^ Swadarma (2014), hlm. 73 : “Pada saat meratakan tanah di lokasi rumah akan dibangun, biasanya masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satu garam bata lagi di tengah-tengah ...".

Daftar pustaka

Buku

  • BP Budpar, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2002). Arsitektur Tradisional Betawi - Sumbawa - Palembang - Minahasa - Dani (PDF) (edisi ke-1). Jakarta: Seksi Publikasi Subdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. 
  • Mustika, Arniz (2008). Adopsi Budaya Pada Arsitektur Betawi. Bandung: PT. Cipta Sastra Salura. ISBN 978-979-17433-2-7. 
  • Tanjung, Anita Chairul (2018). Pesona Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
  • Saidi, Ridwan (2002). Jakarta Dari Majakatera Hingga VOC. Jakarta: Yayasan Renaissance. ISBN 978-602-51335-3-4. 
  • Supriatna, Nana (2006). Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas Program Bahasa. Jakarta: Grafindo Media Pratama. 
  • Swadarma, Doni; Aryanto, Yunus (2014). Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi. ISBN 978-979-661-212-3. 
  • Anom, I.G.N; Sugiyanti, Sri; Hasibuan, Hadniwati; Dewi, Puspa; Ernawati; Sumono, Hardini; Supriyatun, Rini; lsmijono (1996). Hasil pemugaran Dan temuan benda cagar budaya Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Sardjono, Agung Budi (2006). Aneka Desain Rumah Bertingkat. Griya Kreasi. ISBN 9792636080. 
  • Suswandari (2017). Kearifan Lokal Etnik Betawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-229-753-6. 
  • Ruchiat, Rachmat; Wibisono, Singgih; Syamsudin, Rachmat (2003). Ikhtisar Kesenian Betawi (edisi ke-2). Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta. ISBN 979-95292-2-0. 
  • Karim, Mulyawan, ed. (2009). Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas. Mata Air, Air Mata. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-425-6. 
  • Lubis, Ridwan (2017). Agama dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragam di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-03-6100-0. 
  • Lohanda, Mona (1995). Leirissa, R.Z, ed. Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 100-113. 
  • Idik, Mutholib; Attahiyat, Chandrian; Fachruddin, Sugiyo; Nasir, Djaelani (1986/1987). Dapur dan Alat-alat memasak tradisional Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Daerah. 

Jurnal Ilmiah

Lainnya

Habitat for Humanity Indonesia (2016). "Rumah Tipe Panggung" (PDF). habitatindonesia. Diakses tanggal 30 April 2019. 

Bacaan Lanjutan