Arif Bagus Prasetyo

Sastrawan Indonesia
Revisi sejak 10 September 2019 13.50 oleh Me iwan (bicara | kontrib) (→‎Referensi: Perubahan kosmetika)

Templat:Infobox artis indonesia Arif Bagus Prasetyo (lahir 30 September 1971) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal luas sebagai penyair, kritikus sastra, dan penerjemah. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi puisi. Tahun 2018, Arif Bagus Prasetyo dipercaya menjadi salah satu anggota dewan juri Kusala Sastra Khatulistiwa.[1]

Latar belakang

Arif Bagus Prasetyo dilahirkan pada 30 September 1971 di Madiun, tumbuh di Surabaya, tinggal di Denpasar, Bali. Dia dikenal sebagai penyair, kritikus sastra, penerjemah dan kurator seni rupa. Bergabung dengan Bengkel Muda Surabaya pada awal 1990-an, dan ikut mendirikan Kelompok Seni Rupa Bermain pada 1994. Pada 2002, ia mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.

Tulisannya disiarkan di berbagai media di dalam dan luar negeri, seperti Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Kompas, Majalah Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Visual Arts, Sarasvati, Asian Art News (Hong Kong), Perisa (Malaysia), Bahana (Brunei), Iowa Review (Amerika Serikat) dan Inside Indonesia (Australia). Ia juga kerap diundang sebagai narasumber dalam forum seni-budaya tingkat internasional, antara lain, Seminar Low Stream Echoes di Jeju Museum of Contemporary Art, Jeju, Korea Selatan (2014), Democratic Human Rights and Peace Exhibition Workshop di Gwangju Museum of Art, Gwangju, Korea Selatan (2015) dan International Symposium Asian Art and Network di Jeju Museum of Art, Jeju, Korea Selatan (2016).

Dalam forum Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang pada 2010, dia melontarkan gagasan bahwa era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Dulu, kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna. Namun kini kritik sastra dapat menempati wilayah paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kini kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Kritikus tidak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya. Kritikus dapat memperlakukan karya sastra sebagai bahan mentah untuk menyusun narasi baru, menciptakan karya baru yang berasal dari, tapi berdiri sejajar dengan, karya yang ditelaah. Di sini, kritik sastra memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif. Karya sastra tidaklah ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarang. Pengarang sudah menyampaikan seluruh pesan dan maksudnya secara total dan final dalam karyanya. Karena itu, karya sastra tidak butuh kritikus untuk berbicara kepada pembaca. Karya sastra tidak butuh jembatan penyambung lidah. Jadi, kritik sastra pada masa kini sebaiknya berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya makna karya sastra. Pada 2011, gagasan tentang seni kritik dikemukakan lagi dalam koran Kompas, dan menimbulkan polemik.

Bibliografi

  • Mahasukka (IndonesiaTera, 2000)
  • Mangu Putra: Nature, Culture, Tension (Jezz Gallery, 2000)
  • Melampaui Rupa: Sebingkai Wajah Seni Lukis Indonesia Mutakhir (Jezz Gallery, 2001)
  • Stephan Spicher: Eternal Line on Paper (Matamera Books, 2005)
  • Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (Grasindo, 2005)
  • Memento: Buku Puisi (Buku Arti, 2009)
  • Memento: Poems (Arti Books, 2015)

Terjemahan

  • Istri oleh Bharati Mukherjee (2001)
  • Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih oleh Octavio Paz (2002)
  • Batu-Batu Lapar oleh Rabindranath Tagore (2002)
  • Siul Gelombang oleh Rabindranath Tagore (2002)
  • Sejarah Aib oleh Jorge Luis Borges (2006)
  • Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson (2006)
  • Blindness oleh Jose Saramago (2007)
  • Peradaban Pesisir oleh Adrian Vickers (2009)
  • Sejarah Dunia dalam 10 ½ Bab oleh Julian Barnes (2009)
  • Bali Benteng Terbuka oleh Henk Schulte Nordholt (2010)
  • Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi oleh Huub de Jonge (2011)
  • Dangdut oleh Andrew N. Weintraub (2012)
  • Aceh setelah Tsunami dan Konflik oleh Anthony Reid dkk. (2013)
  • Kakawin Sumanasantaka Karya Mpu Monaguna oleh P. Worsley dkk. (2014)
  • Figur Bertopi dalam Relief Candi Majapahit oleh Lydia Kieven (2014)
  • Rumah Leluhur Kami oleh Thomas Reuter (2018)
  • Dharma Patanjala oleh Andrea Acri
  • Mahabharata oleh Ramesh Menon
  • The Ministry of Utmost Happiness oleh Arundhati Roy
  • Taman di Jawa oleh Denys Lombard
  • Jawa, Indonesia dan Islam oleh Mark Woodward
  • Fantasizing the Feminine in Indonesia oleh L. J. Sears dkk.
  • Negara oleh Clifford Geertz
  • Bali: A Paradise Created oleh Adrian Vickers
  • Serambi Kekerasan oleh Anthony Reid dkk.
  • Prasasti Nusantara oleh Arlo Griffiths

Penghargaan

  • Hadiah II Kritik Seni Rupa dari Dewan Kesenian Jakarta, 2005.
  • Hadiah I Kritik Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta, 2007.
  • Anugerah “Widya Pataka” dari Pemerintah Provinsi Bali, 2009.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ ID Writers: Arif Bagus Prasetyo diakes 3 Desember 2018