Alih fungsi lahan gambut

Revisi sejak 1 Oktober 2019 20.28 oleh Edowidivirgian (bicara | kontrib) (Membuat artikel baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Alih fungsi lahan gambut merupakan perubahan fungsi dari lahan gambut yang, pada umumnya, tidak sesuai dengan fungsi awal lahan gambut sebagai penyeimbang ekosistem sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan.[1] Contoh alih fungsi lahan gambut adalah membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut dan mengurangi tingkat keasaman lahan gambut yang tinggi.[2] Selain itu, alih fungsi lahan gambut juga ditandai dengan pengeringan mendadak lahan gambut melalui cara dibakar (yang menjadi salah satu sumber atau penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia). Penyebabnya adalah lahan gambut seringkali dianggap sebagai lahan yang tidak berguna dan lahan terbuang yang dapat dikeringkan dan dialihfungsikan. Anggapan ini telah menjadi salah satu penyebab utama degradasi dan kerusakan lahan gambut, terutama dalam perubahan tata guna lahan untuk pertanian dan perkebunan (umumnya kelapa sawit).[3]

Penampang horizontal siklus alami karbon di lahan gambut

Meskipun demikian, sudah ada perkembangan teknologi untuk dapat melakukan konversi lahan gambut tanpa perlu dibakar. Teknologi tersebut memiliki kekurangan antara lain biaya ekonomi yang besar (mahal) dan memerlukan kajian lebih lanjut yaitu menggunakan alat berat yang fungsinya bukan untuk menghancurkan lahan tetapi lebih menghilangkan hama gulma. Hal terpenting ketika mengubah fungsi dari kawasan gambut yaitu haruslah menanam vegetasi yang tahan air supaya menjaga prinsip tidak mengubah sifat basah dari ekosistem gambut yaitu basah dan tidak dengan cara mengeringkan lahan gambut.[4] Selain itu, apabila mengubah fungsi kawasan gambut sebagai lahan untuk tanaman industri (kelapa sawit dan akasia) harus ditanami sawit atau akasia yang tahan air sehingga apabila tanamannya menggenang, hal tersebut baik-baik saja asalkan tidak menghilangkan kondisi basah dari sifat asli lahan gambut

Kronologi

Perubahan lahan gambut di Indonesia dimulai sejak abad ke-20. Pada tahun 1920, lahan gambut dibuka pertama kalinya di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Era Orde Baru

Seiring dengan maraknya transmigrasi di periode Orde Baru, lahan gambut menjadi sasaran proyek lahan 1 juta hektar untuk mega rice project di Kalimantan Tengah. Proyek ini sendiri sebenarnya berfungsi untuk mendukung program swasembada pangan di era Orde Baru dengan tujuan memanfaatkan lahan terlantar yang akan dihuni oleh transmigran yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa.

 
Pohon kelapa sawit. Umumnya alih fungsi lahan gambut sering difungsikan sebagai lahan untuk hutan kelapa sawit.

Era Reformasi

Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Soeharto, fungsi lahan gambut marak diubah menjadi kebun sawit dan akasia. Di antara bulan Juni - September 2014, 4.000 hektar gambut hilang akibat banyaknya perizinan yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit.[3]




Referensi

  1. ^ Irma, Wirdati; Gunawan, Totok; Suratman, Suratman (2018-08-07). "Pengaruh Konversi Lahan Gambut Terhadap Ketahanan Lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera". Jurnal Ketahanan Nasional (dalam bahasa Inggris). 24 (2): 170–191. doi:10.22146/jkn.36679. ISSN 2527-9688. 
  2. ^ "Alih Fungsi Lahan Gambut, Salah Satu Pemicu Langganan Kebakaran Lahan dan Hutan". Dompet Dhuafa. Diakses tanggal 2019-10-01. 
  3. ^ a b "Pengalihfungsian lahan gambut | Penyebab kerusakan lahan gambut | Pantau Gambut". pantaugambut.id. Diakses tanggal 2019-10-01. 
  4. ^ Nusantara, Solusi Sistem. "Perlu Kajian Lanjut Untuk Teknologi Alih Fungsi Kawasan Gambut | Politik". www.gatra.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-01.