Lahan tidur
Lahan tidur adalah lahan pertanian yang sudah tidak digunakan selama lebih dari dua tahun.[1] Lahan tidur umumnya merupakan sebuah bagian dari sistem peladangan berpindah di mana petani membuka hutan, menanamnya selama beberapa musim tanam, dan meninggalkannya untuk membuka lahan baru.[2] Lahan tidur sering kali berupa lahan yang kritis dan miskin nutrisi sehingga sulit untuk ditanami tanaman penghasil pangan maupun tanaman pertanian lain yang cepat menghasilkan.
Penyebab
suntingPenyebab terbentuknya lahan tidur bisa dilihat secara fisik dan sosial. Ketika suatu lahan tidak lagi mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal, biasanya lahan ditinggalkan. Hal ini umum terjadi pada sistem ladang berpindah. Sistem ladang berpindah diketahui sebagai penyebab terjadinya degradasi lahan yang dapat menuju ke desertifikasi.
Selain faktor kondisi tanah, faktor sosial ekonomi juga menentukan. Petani yang tidak lagi menganggap pertanian sebagai sebuah mata pencaharian yang menguntungkan akan beralih dan meninggalkan lahannya.[3] Perbaikan pola tanam dengan diversifikasi komoditas dan rotasi tanaman dapat memperkaya jenis sumber penghasilan petani sehingga petani mendapatkan penghasilan alternatif di luar tanaman utama. Selain itu, diversifikasi mencegah harga jatuh setelah panen.[2]
Di masyarakat adat pedalaman Kalimantan, lahan tidur merupakan bagian dari aktivitas bercocok tanam berpindah (shifting cultivation) dengan tebang dan bakar. Pertanian intensif jarang sekali dilakukan. Sebuah lahan pertanian yang tidak lagi produktif akan ditinggalkan sehingga menjadi lahan tidur, dan petani membuka hutan untuk menjadi lahan pertanian baru.[4]
Lahan tidur di atas tanah gambut dapat ditumbuhi semak belukar yang mampu terbakar dengan mudah di musim kemarau.[3] Semak belukar kering dan tanah gambut merupakan dua komponen dari hutan gambut yang sering menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan gambut.
Sebuah lahan yang tidak menghasilkan dalam waktu lama meski terdapat tanaman pertanian di atasnya juga disebut sebagai lahan tidur. Tanaman pertanian yang berdiri biasanya tanaman yang membutuhkan waktu lama untuk dipanen, seperti tanaman penghasil kayu. Agar tidak terlihat sebagai lahan tidur, pada lahan yang ditanami pohon penghasil kayu dapat dilakukan tumpang sari dengan tanaman pertanian yang cepat menghasilkan, atau ditanami rerumputan sebagai lahan penggembalaan dan sumber pakan hewan ternak.[5]
Pemanfaatan
suntingLahan tidur dapat digunakan sebagai lahan pembudidayaan tanaman yang pertumbuhannya lambat seperti pohon penghasil kayu.[6] Karena pohon penghasil kayu membutuhkan nutrisi yang relatif lebih sedikit dibandingkan tanaman pangan, dan penanaman pohon kayu lebih dianggap sebagai sebuah "tabungan" masa depan. Lahan tidur umumnya berupa lahan kritis yang miskin nutrisi, namun dengan pengusahaan tanaman penghasil kayu, lahan tidur dapat menjadi sumber pendapatan sekaligus memperbaiki kondisi tanah dan lingkungan.[6]
Sejak tahun 1970an, Kalimantan sudah memiliki begitu banyak lahan tidur yang kritis akibat praktik peladangan berpindah. Tanaman kelapa sawit awalnya diperkenalkan sebagai upaya restorasi lahan kritis tersebut.[7]
Di Kalimantan Barat, sejak tahun 1990an tanaman lidah buaya dari varietas chinensis dibudidayakan di atas lahan gambut yang terbengkalai dan kurang subur. Lidah budaya merupakan tanaman yang mampu beradaptasi di berbagai jenis lingkungan dan mampu tumbuh di atas tanah yang kurang subur.[8]
Di beberapa tempat di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, lahan tidur telah diubah menjadi lahan penanaman Sorghum bicolor. Sorghum dikenal sebagai tanaman yang mampu tumbuh dan menghasilkan di lahan kritis di mana tanaman pertanian lain tidak dapat tumbuh dengan baik. Sorghum dapat dipanen sebanyak tiga kali, dan dapat dipanen pada usia tanam 55 hari. Sorghum merupakan tanaman multi fungsi selain sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Biji-bijian dan batangnya mengandung gula yang dapat diubah menjadi etanol, dan jeraminya dapat dijadikan bahan bakar.[9] Sehingga pemanfaatan lahan kritis tidak hanya bermanfaat sebagai penghasil bahan pangan, namun juga sebagai penghasil bioenergi.
Di beberapa tempat di mana pertanian tidak dipandang sebagai sebuah mata pencaharian yang menguntungkan, lahan tidur dianggap tidak memiliki nilai ekonomi selain sebagai lahan untuk dibangunnya sebuah bangunan komersial.[10] Di daerah perkotaan besar yang membutuhkan ruang terbuka hijau, lahan tidur dapat dimanfaatkan untuk memenuhi target luasan ruang terbuka hijau dalam rencana pembangunan.[11]
Status
suntingPada masyarakat adat pedalaman Kalimantan, lahan tidur jarang dianggap sebagai lahan yang kosong. Sebuah lahan kosong dibiarkan tanpa ditanam dengan alasan tertentu. Sehingga lahan tidur tetap memiliki status kepemilikan tertentu meski berada di hutan, yang ditentukan oleh konsensi di dalam masyarakat adat tersebut. Konsensi tersebut menjadikan kepemilikan bukanlah status yang tetap. Kepemilikan tidak selalu secara individu, tetapi juga dapat secara berkelompok.[4]
Sejak zaman Orde Baru di Indonesia, lahan tidur dipaksakan untuk digunakan sebagai jalan untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Hal ini berlaku di bawah Hukum Dasar Agraria bahwa suatu lahan harus dikelola dengan produktif sebagai bagian dari fungsi sosialnya, entah di bawah hak sewa maupun hak milik.[12]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Rita Hanafie. Pengantar Ekonomi Pertanian. ISBN 9792912916.
- ^ a b Muhammad Noor. Pertanian Lahan Gambut,Potensi Dan Kendala. ISBN 9796729717.
- ^ a b Suyanto, S., Chokkalingam, U., Wibowo, P. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. ISBN 9793361492.
- ^ a b Charles Victor Barber (1999). Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat. ISBN 9794613126.
- ^ Kayu Jabon. ISBN 9790024584.
- ^ a b Daru Maheldaswara. Budi Daya Tanaman Jati Emas. Kanisius. ISBN 9792103813.
- ^ van Noordwijk, M., Sakuntaladewi, N., Agus, F. (2010). Perubahan pola perladangan: pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. World Agroforestry Centre. ISBN 9793198540.
- ^ Mengebunkan Lidah Buaya secara Intensif. ISBN 9793084928.
- ^ Rama Prihandana, Roy Hendroko (2008). Energi hijau: pilihan bijak menuju negeri mandiri energi. ISBN 9790020678.
- ^ Yuyun Alamsyah. Antisipasi Krisis Global: Bisnis FastFood. ISBN 9792748385.
- ^ Nirwono Joga, Iwan Ismaun (2011). RTH tiga puluh persen! resolusi kota hijau. ISBN 9792271856.
- ^ Peter van Diermen, Chris Manning, Landung Simatupang (2000). Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis. ISBN 9799492017.