Alih fungsi lahan gambut

Alih fungsi lahan gambut merupakan perubahan fungsi dari lahan gambut yang, pada umumnya, tidak sesuai dengan fungsi awal lahan gambut sebagai penyeimbang ekosistem sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan.[1] Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) C (karbon) yang efisien dan pemendam (sink) C yang penting sehingga dapat disimpulkan bahwa lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar, terutama dalam tanah gambut.[2][3][4] Lahan gambut sendiri memiliki kandungan karbon antara 40 sampai 60 Gt. Hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai bobot isi, % C organik, kedalaman gambut dan luas gambut yang digunakan dalam menghitung kandungan karbon gambut tersebut. Akan tetapi, alih fungsi lahan dapat dengan cepat mengubahnya menjadi sumber (source) emisi CO2 di atmosfer.[2][5] Kerusakan hutan rawa gambut di Kalimantan telah memberi kontribusi dalam peningkatan emisi karbon dioksida (CO2).[2][3][6][7]

Penampang horizontal siklus alami karbon di lahan gambut

Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian telah menyebabkan kerusakan lahan. Kegiatan pertanian tersebut mencakup pembukaan lahan, berupa penebangan pohon (deforestation) dan penebasan semak, pembakaran sisa-sisa vegetasi, pembuatan saluran drainase; dan pemadatan tanah untuk penyiapan lahan dan pembuatan guludan.[2] Contoh alih fungsi lahan gambut adalah membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut dan mengurangi tingkat keasaman lahan gambut yang tinggi.[8] Selain itu, alih fungsi lahan gambut juga ditandai dengan pengeringan mendadak lahan gambut melalui cara dibakar (yang menjadi salah satu sumber atau penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia).[9] Penyebabnya adalah lahan gambut seringkali dianggap sebagai lahan yang tidak berguna dan lahan terbuang yang dapat dikeringkan dan dialihfungsikan. Anggapan ini telah menjadi salah satu penyebab utama degradasi dan kerusakan lahan gambut, terutama dalam perubahan tata guna lahan untuk pertanian dan perkebunan (umumnya kelapa sawit).[10]

Meskipun demikian, sudah ada perkembangan teknologi untuk dapat melakukan konversi lahan gambut tanpa perlu dibakar. Teknologi tersebut memiliki kekurangan antara lain biaya ekonomi yang besar (mahal) dan memerlukan kajian lebih lanjut yaitu menggunakan alat berat yang fungsinya bukan untuk menghancurkan lahan tetapi lebih menghilangkan hama gulma. Hal terpenting ketika mengubah fungsi dari kawasan gambut yaitu haruslah menanam vegetasi yang tahan air supaya menjaga prinsip tidak mengubah sifat basah dari ekosistem gambut yaitu basah dan tidak dengan cara mengeringkan lahan gambut.[11] Selain itu, apabila mengubah fungsi kawasan gambut sebagai lahan untuk tanaman industri (kelapa sawit dan akasia) harus ditanami sawit atau akasia yang tahan air sehingga apabila tanamannya menggenang, hal tersebut baik-baik saja asalkan tidak menghilangkan kondisi basah dari sifat asli lahan gambut

Kronologi

Perubahan lahan gambut di Indonesia dimulai sejak abad ke-20.

Era Kolonial (Hindia Belanda)

Pada tahun 1920, lahan gambut dibuka pertama kalinya di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Era Orde Baru

Seiring dengan maraknya transmigrasi di periode Orde Baru, lahan gambut menjadi sasaran proyek lahan 1 juta hektar untuk mega rice project di Kalimantan Tengah. Proyek ini sendiri sebenarnya berfungsi untuk mendukung program swasembada pangan di era Orde Baru dengan tujuan memanfaatkan lahan terlantar yang akan dihuni oleh transmigran yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Secara kebetulan, proyek yang dianggap gagal ini juga disertai dengan peristiwa kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera tahun 1997. Peningkatan emisi karbon dioksida (CO2) sebagai hasil kebakaran hutan tersebut antara 0,87 – 2,57 Gt C.[2][6][7] Emisi tersebut sebanding dengan 3-10 Gt CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer menyebabkan peningkatan suhu sebesar 1- 3,5 o C di permukaan dunia.[2][12]

 
Pohon kelapa sawit. Umumnya alih fungsi lahan gambut sering difungsikan sebagai lahan untuk hutan kelapa sawit.

Era Reformasi

Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Soeharto, fungsi lahan gambut marak diubah menjadi kebun sawit dan akasia. Di antara bulan Juni - September 2014, 4.000 hektar gambut hilang akibat banyaknya perizinan yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit.[10] Selain itu, dua peristiwa kebakaran hutan pada tahun 2015 dan 2019 merupakan catatan penting dan kritis untuk alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan (hutan) kelapa sawit. Menurut beberapa ilmuwan, emisi karbon yang dihasilkan dari peristiwa kebakaran hutan di tahun 2015 melebihi emisi yang dihasilkan di tahun 1997.[12]





Referensi

  1. ^ Irma, Wirdati; Gunawan, Totok; Suratman, Suratman (2018-08-07). "Pengaruh Konversi Lahan Gambut Terhadap Ketahanan Lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera". Jurnal Ketahanan Nasional (dalam bahasa Inggris). 24 (2): 170–191. doi:10.22146/jkn.36679. ISSN 2527-9688. 
  2. ^ a b c d e f Nusantara, Rossie Wiedya; Sudarmadji, Djohan (2014). "EMISI CO2 TANAH AKIBAT ALIH FUNGSI LAHAN HUTAN RAWA GAMBUT DI KALIMANTAN BARAT". JURNAL MANUSIA DAN LINGKUNGAN. 21 (3): 268–276. doi:https://doi.org/10.22146/jml.18553 Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 62 (bantuan)
  3. ^ a b Newbery, D. M.; Clutton–Brock, T. H.; Prance, G. T.; Page, S. E.; Rieley, J. O.; Shotyk, Ø. W.; Weiss, D. (1999-11-29). "Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat swamp forest". Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B: Biological Sciences. 354 (1391): 1885–1897. doi:10.1098/rstb.1999.0529. PMC 1692688 . PMID 11605630. 
  4. ^ Limpens, J.; Berendse, F.; Blodau, C.; Canadell, J. G.; Freeman, C.; Holden, J.; Roulet, N.; Rydin, H.; Schaepman-Strub, G. (2008-10-31). "Peatlands and the carbon cycle: from local processes to global implications – a synthesis". Biogeosciences (dalam bahasa English). 5 (5): 1475–1491. doi:https://doi.org/10.5194/bg-5-1475-2008 Periksa nilai |doi= (bantuan). ISSN 1726-4170. 
  5. ^ "Uncertainties, deficiencies and unknowns in greenhouse gas emissions from tropical peatlands". International Peatland Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-01. 
  6. ^ a b Page, Susan E.; Siegert, Florian; Rieley, John O.; Boehm, Hans-Dieter V.; Jaya, Adi; Limin, Suwido (2002-11). "The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997". Nature (dalam bahasa Inggris). 420 (6911): 61–65. doi:10.1038/nature01131. ISSN 1476-4687. 
  7. ^ a b Page, Susan; Hosciło, Agata; Wösten, Henk; Jauhiainen, Jyrki; Silvius, Marcel; Rieley, Jack; Ritzema, Henk; Tansey, Kevin; Graham, Laura (2009-09-01). "Restoration Ecology of Lowland Tropical Peatlands in Southeast Asia: Current Knowledge and Future Research Directions". Ecosystems (dalam bahasa Inggris). 12 (6): 888–905. doi:10.1007/s10021-008-9216-2. ISSN 1435-0629. 
  8. ^ "Alih Fungsi Lahan Gambut, Salah Satu Pemicu Langganan Kebakaran Lahan dan Hutan". Dompet Dhuafa. Diakses tanggal 2019-10-01. 
  9. ^ kompas.id (2017-07-27). "Alih Fungsi Lahan Gambut Jadi Perkebunan Picu Kebakaran". Kompas.id. Diakses tanggal 2019-10-01. 
  10. ^ a b "Pengalihfungsian lahan gambut | Penyebab kerusakan lahan gambut | Pantau Gambut". pantaugambut.id. Diakses tanggal 2019-10-01. 
  11. ^ Nusantara, Solusi Sistem. "Perlu Kajian Lanjut Untuk Teknologi Alih Fungsi Kawasan Gambut | Politik". www.gatra.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-01. 
  12. ^ a b hermesauto (2016-06-29). "Indonesia forest fires in 2015 released most carbon since 1997: Scientists". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-01.