Tirto Adhi Soerjo

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan,Jurnalis,Wartawan
Revisi sejak 30 Oktober 2019 15.17 oleh Farhanauthor (bicara | kontrib) (Lahir dari keluarga bangsawan Jawa di Blora, Tirto pertama kali belajar untuk menjadi dokter tetapi kemudian fokus pada jurnalisme. Seorang pekerja lepas sejak tahun 1894, pada tahun 1902 Tirto diangkat menjadi editor Pembrita Betawi yang berbasis di Batavia (Sekarang Jakarta). Tirto mendirikan surat kabar pertamanya pada tahun 1903, dan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1907, membuat Medan Prijaji sebagai media bagi orang Indonesia asli yang berpendidikan.)

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (ER, EYD: Tirto Adhi Suryo) (Blora, 18801918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia yang dikenal karena kritikannya yang tajam terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Beliau dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat sebagai T.A.S..

Tirto Adhi Soerjo
Lahir1880
Blora, Hindia Belanda
Meninggal1918 (umur 37–38)
Batavia, Hindia Belanda
PekerjaanJurnalis
Tahun aktif1894–1912
Suami/istriputeri (boki) Fatimah (keturunan Sultan Bacan, Maluku Utara).

Lahir dari keluarga bangsawan Jawa di Blora, Tirto pertama kali belajar untuk menjadi dokter tetapi kemudian fokus pada jurnalisme. Seorang pekerja lepas sejak tahun 1894, pada tahun 1902 Tirto diangkat menjadi editor Pembrita Betawi yang berbasis di Batavia (Sekarang Jakarta). Tirto mendirikan surat kabar pertamanya pada tahun 1903, dan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1907, membuat Medan Prijaji sebagai media bagi orang Indonesia asli yang berpendidikan.

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.[1]

Pandangan

Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.

Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Dalam budaya populer

Pranala luar

Sumber

  1. ^ Tokoh Jabar dapat anugrah
  2. ^ "Tentang Kami". Tirto. Diakses tanggal 13 September 2018.