Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru atau Tetralogi Bumi Manusia adalah nama untuk empat roman karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.

Tetralogi Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional, dan pengukuhan atas seorang yang bernama Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan sebagai tokoh Minke.

Sampul Child of All Nations (Anak Semua Bangsa versi bahasa Inggris), Penguin, 1984.

Sejarah

sunting

Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya.

Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menerbitkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain.

Naskah pertama terpilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh petugas penjara dan sampai tidak pernah dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Sementara itu, Hasjim dan Joesoef berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik.

Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus 1980.

Tetralogi

sunting

Keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintah Indonesia antara tahun 1965-1979. Setelah Pramoedya bebas, dia menerbitkan keempat cerita tersebut dalam bentuk novel yang kemudian dilarang peredarannya tak lama setelah diterbitkan. Pemerintah Indonesia menuduh bahwa karya-karyanya mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya.

Keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan Hasta Mitra):

Ketiga karya terakhir ini bahkan langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya 1-2 bulan setelah terbit.

Di luar negeri, Tetralogi Buru diterbitkan dengan nama The Buru Quartet. Penerjemah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa ke dalam bahasa Inggris, Max Lane, yang sejak April 1980 bertugas sebagai pegawai di Kedubes Australia di Jakarta, harus dikembalikan ke negaranya pada September 1981 karena menerjemahkan kedua buku tersebut. Karya itu diterjemahkan ke bahasa Rusia pada tahun 1986 oleh E. Rudenko dengan kata pengantar oleh V. Sikorsky (judulnya "Mir Chelovechesky") dan diterbitkan oleh badan penerbit "Progress".

Sinopsis

sunting

Tetralogi kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898-1918, ini bercerita tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur sejarahnya, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga Belanda totok yang terjadi di Surabaya.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting