Hisyam bin Abdul Malik
Hisyam bin 'Abdul-Malik (691 (umur -53–-52); bahasa Arab: هشام بن عبد الملك) adalah khalifah yang berkuasa sejak tahun 724 sampai 743. Dia berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Hisyam juga merupakan putra terakhir 'Abdul Malik yang menjadi khalifah. Di antara para khalifah Umayyah yang berkuasa dari Syria, Hisyam menjadi satu dari tiga khalifah yang memiliki masa kekuasaan terlama, dua yang lain adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan 'Abdul Malik bin Marwan. Mewarisi tampuk kepemimpinan dari salah satu negara terluas di dunia berikut segala permasalahan yang ada, Hisyam cukup berhasil mempertahankan kestabilan kekhalifahan.
Hisyām bin ‘Abdul-Malik هشام بن عبد الملك | |||||
---|---|---|---|---|---|
Khalifah | |||||
Berkuasa | 26 Januari 724 – 6 Februari 743 (19 tahun, 12 hari) | ||||
Pendahulu | Yazid bin 'Abdul Malik | ||||
Penerus | Al-Walid bin Yazid | ||||
Kelahiran | 691 | ||||
Kematian | 6 Februari 743 (usia 52) | ||||
Keturunan | Maslamah Mu'awiyah Sa'id Sulayman | ||||
| |||||
Wangsa | Umayyah (Marwani) | ||||
Ayah | 'Abdul Malik bin Marwan | ||||
Ibu | Fatimah binti Hisyam[1] |
Awal kehidupan
Hisyam lahir pada tahun 691 di masa kekuasaan ayahnya, 'Abdul Malik bin Marwan. Kedua orangtuanya telah bercerai. Saat 'Abdul Malik bertempur melawan pasukan Mush'ab dan berhasil membunuhnya, berita kelahiran Hisyam sampai kepada 'Abdul Malik, dan itu diyakini sebagai pertanda baik. 'Abdul Malik memberinya nama Manshur, tetapi sang ibu, wanita dari Bani Makzhum, memberinya nama Hisyam yang merupakan nama ayahnya. 'Abdul Malik tidak menentangnya dan putra mereka akhirnya dinamai Hisyam.
Sebelum menjabat sebagai khalifah, Hisyam tinggal di istana Damaskus tanpa memegang jabatan penting di pemerintahan. Saat saudaranya seayah, Khalifah Sulaiman, menderita sakit parah, Raja' bin Haiwah mengumumkan keputusan khalifah bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz akan menjadi khalifah setelahnya, kemudian diikuti Yazid bin 'Abdul Malik. Hisyam menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian mematuhinya setelah Raja' mengancam akan menggunakan kekerasan pada pihak yang menentang keputusan tersebut.[2] Saat berada di atas mimbar, 'Umar meminta agar Hisyam yang pertama kali memberikan sumpah setia (bai'at) padanya. Hisyam kemudian maju membai'at 'Umar, diikuti hadirin yang lain.[3]
'Umar mangkat karena diracun dan tampuk kekhalifahan kembali ke tangan keturunan 'Abdul Malik, kali ini kepada Yazid. Saudara seayah Yazid dan Hisyam, Maslamah, diberhentikan dari jabatannya oleh Yazid sebagai gubernur Iraq lantaran lebih mendukung Hisyam sebagai putra mahkota daripada Al-Walid yang merupakan putra Khalifah Yazid. Namun usia Al-Walid yang masih muda dipandang belum layak menjadikannya sebagai khalifah, sehingga akhirnya Yazid menetapkan Hisyam sebagai putra mahkota dan Al-Walid sebagai wakil putra mahkota. Saat Yazid mangkat pada 724, Hisyam dinobatkan sebagai khalifah.
Khalifah
Di antara empat putra 'Abdul Malik yang menjadi khalifah, Hisyam merupakan yang terakhir naik takhta dan paling lama berkuasa. Seperti saudaranya Al-Walid I, Hisyam merupakan pelindung seni yang besar, dan ia kembali mendorong berkembangnya seni di negaranya. Ia juga mendorong pengembangan pendidikan dengan membangun banyak sekolah, dan barangkali sumbangsih terpentingnya ialah mengawasi penerjemahan sejumlah karya besar sastra dan ilmiah ke dalam bahasa Arab.
Hisyam berusaha mengembalikan penafsiran syariah sebagaimana di masa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dan menjalankannya pula terhadap anggota keluarganya sendiri. Kemampuannya menyatukan garis keturunan Umayyah diperkirakan merupakan faktor penting dalam keberhasilannya.
Militer
Pada tahun 723 di masa akhir kekuasaan Khalifah Yazid, Sa'id bin 'Amr al-Harasy digantikan kedudukannya oleh Muslim bin Sa'id bin Aslam Al-Kilabi sebagai gubernur Khurasan. Di tahun selanjutnya, Muslim Al-Kilabi berencana untuk menaklukkan Lembah Fergana di kawasan Asia Tengah. Kelompok Yamani (Arab selatan) di Balkh awalnya menolak turut serta dalam pasukan lantaran berharap Muslim Al-Kilabi (seorang Qais atau Arab utara) diberhentikan oleh khalifah baru. Mereka baru bergabung dalam peperangan setelah Nashr bin Sayyar mengalahkan mereka di Baruqan.[4][5][6] Meski demikian, 4.000 pasukan suku Azd dari kelompok Yamani keluar dari pasukan.[7][8][5]
Muslim Al-Kilabi memimpin pasukannya di sepanjang lembah Yaxartes ke Ferghana, mengepungnya, dan menghancurkan pedesaan di sekelilingya. Pada titik ini, pasukan Umayyah mengetahui bahwa Suluk, Khan Agung Türgesy, bergerak menuju mereka dengan kekuatan pasukan yang jauh lebih besar. Pasukan Umayyah kemudian menghentikan pengepungan dan mundur ke selatan. Hari kedua setelah pasukan Umayyah menyeberang sungai Wadi As-Subuh, pasukan Türgesy berhasil menyusul dan menyerang perkemahan 'Abdullah bin Abu 'Abdullah yang terpisah dari rombongan utama. Meski banyak korban berjatuhan dari pihak pasukan Arab dan sekutu Sogdian mereka, salah satu di antaranya adalah saudara dari pemimpin Sogdian, mereka berhasil memukul mundur serangan tersebut.[5][9]
Pasukan Arab kembali mundur selama delapan hari dan kerap menjadi bulan-bulanan pasukan berkuda Türgesy. Pada hari kesembilan, pihak Umayyah tiba di Yaxartes dan jalan pulang mereka dihadang oleh pasukan dari Syasy, Fergana, dan sisa dari pemberontakan Sogdian yang ditekan Sa'id bin 'Amr al-Harasy pada masa Khalifah Yazid bin 'Abdul Malik. Pihak Arab berkemah pada malam hari dan kemudian membakar barang bawaan mereka, dikatakan berharga senilai satu juta dirham, sebagai persiapan untuk berperang. Pada hari berikutnya, meskipun menderita kehausan dan dikurung di antara Türgesy di belakang dan pasukan Transoxian di depan, pasukan Arab yang putus asa berhasil menerobos garis musuh dan melintasi Yaxartes. Seperti yang ditulis Ath-Thabari, ketika mereka mencapai Khujand dan terbilang telah aman, "menderita kelaparan dan kelelahan, pasukan menyebar dalam kekacauan". Di sana, kepemimpinan tentara secara resmi dipindahkan ke Abdur-Rahman bin Na'im al-Ghamidi, yang memimpin sisa-sisa tentara kembali ke Samarkand.[10][11][12] Peristiwa ini kerap disebut sejarawan Arab sebagai Hari Dahaga (bahasa Arab: ﻳﻮﻢ ﺍلعطش, Yaumul 'athasy). Kekalahan pasukan Umayyah pada peristiwa ini menjadi pemicu runtuhnya pemerintahan Muslim di kawasan Transoxiana selama beberapa tahun setelahnya.[11][13][14]
Di daratan sekitar kota Ardabil di kawasan Kaukasus, pihak Umayyah berhadapan dengan serangan pasukan bangsa Khazar pada tahun 730 yang dikenal dengan Pertempuran Marj Ardabil. Penyerbuan ini dilakukan sebagai pembalasan atas serangan kekhalifahan terhadap Khazar selama Perang Khazar-Arab yang berlangsung puluhan tahun di awal abad ke-8. Jenderal Umayyah, Al-Jarrah bin 'Abdullah memimpin pasukan dan berperang dengan pihak Khazar selama tiga hari. Pihak mawali yang keluar dari barisan pasukan Umayyah menjadikan pihak Umayyah mengalami kekalahan. Al-Jarrah sendiri tewas dalam perang ini.[15][16] Sejarawan Arab Kristen, Uskup Agapius putra Konstantin (Mahbūb bin Qūsthanthin) menyatakan bahwa 20.000 orang tewas di pihak Umayyah dan dua kalinya ditawan, mungkin termasuk penduduk Ardabil dan kawasan di sekitarnya.
Setelah menduduki Ardabil, pihak Khazar mengerahkan pasukan ke Mosul. Hisyam kemudian mengangkat Sa'id bin 'Amr al-Harasy sebagai pemimpin pasukan untuk melawan Khazar, tetapi dia hanya memiliki sedikit pasukan. Sebagai gantinya, Hisyam memberikan tombak yang dikatakan pernah digunakan dalam Perang Badar untuk digunakan sebagai panji, juga 100.000 dirham untuk merekrut pasukan (termasuk dari mereka yang pernah bertarung di Ardabil).[17] Pihak Umayyah pada akhirnya dapat memukul mundur Khazar ke utara Pegunungan Kaukasus, termasuk membebaskan tawanan perang mereka. Meski mencapai keberhasilan, Sa'id Al-Harasy kemudian diberhentikan pada 731 dan bahkan ditahan sementara di Qabalah lantaran kecemburuan saudara tiri Hisyam, Maslamah. Hisyam kemudian mengangkat Maslamah sebagai gubernur Armenia dan Azerbaijan dan melanjutkan pertempuran melawan Khazar.[18]. Ketidakmampuan Maslamah dalam menghadapi Khazar menjadikan kedudukan gubernur diserahkan kepada saudara tiri Hisyam yang lain, Marwan bin Muhammad. Pada musim semi 733, kedudukan tersebut diserahkan kepada Sa'id bin 'Amr. Meski demikian, Sa'id lebih menggunakan strategi bertahan dalam menghadapi Khazar, sangat mungkin akibat kelelahan pasukannya dalam melawan Khazar. Sa'id meninggalkan kedudukannya pada 735 karena kehilangan penglihatannya.[19][20] Pada tahun 737, pasukan Umayyah di bawah kepemimpinan Marwan bin Muhammad berhasil meraih kemenangan nominal.[21][22]
Di tempat lain, Hisyam mengirimkan pasukan untuk mengakhiri pemberontakan Hindu di bawah pimpinan Jai Singh di Sind. Ini membuat Bani Umayyah dapat menegaskan kembali kekuasannya atas provinsi di India.
Di Spanyol, perseteruan dalam negeri selama bertahun-tahun diakhiri, dan Hisyam mengirimkan pasukan besar yang berangkat ke Prancis. Walau pada awalnya sukses, pasukan Islam kemudian dikalahkan dalam Pertempuran Tours (bahasa Arab: balat asy-syuhada) oleh Charles Martel. Meskipun demikian, kekhalifahan Islam tetap melanjutkan kekuasaannya atas Spanyol.
Di Afrika Utara, pemberontakan besar suku Berber berhasil ditumpas dengan tewasnya ratusan ribu pemberontak. Kemenangan ini selamanya mengakhiri pemberontakan di sana. Hisyam juga menghadapi pemberontakan oleh Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali, tetapi pasukan Zaid berhasil dikalahkannya.
Walaupun Hisyam sukses, kaum pendukung Bani Abbasiyah terus memperoleh tambahan kekuatan dan membangun basis mereka di Khurasan dan Irak. Namun, mereka belum cukup kuat untuk membuat gerakan terbuka terhadap Bani Umayyah pada masa pemerintahan Hisyam.
Wafat
Hisyam bin Abdul-Malik meninggal karena difteri pada tahun 743. Ia digantikan keponakannya Al-Walid II.
Rujukan
- ^ Dr. Eli Munif Shahla, "Al-Ayam al-Akhira fi Hayat al-Kulafa", Dar al-Kitab al-Arabi, 1st ed., 1998, p. 238
- ^ Hawting 2000, hlm. 72.
- ^ Powers 1990, hlm. 72–73.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 176.
- ^ a b c Gibb 1923, hlm. 65.
- ^ Shaban 1979, hlm. 103–104.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 13–14.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 126.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 15.
- ^ Blankinship 1989, hlm. 15–16.
- ^ a b Blankinship 1994, hlm. 127.
- ^ Gibb 1923, hlm. 65–66.
- ^ Hawting 2000, hlm. 85.
- ^ Shaban 1979, hlm. 106.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 149–150.
- ^ Brook 2006, hlm. 127–128.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150–151.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 171.
- ^ Crone 1980, hlm. 144.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 150–154, 170–174.
- ^ Brook 2006, hlm. 128–129.
Daftar pustaka
- (Inggris) Bacharach, Jere L., Khalid Y. Blankinship, The End of Expansion: The Caliphate of Hisham A.D. 724-738/A.H. 105-120, Albany, SUNY Press, 1989.
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihad State: The Reign of Hisham Ibn 'Abd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
- Brook, Kevin Alan (2006). The Jews of Khazaria, Second Edition. Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. ISBN 978-0-7425-4982-1.
- Crone, Patricia (1980). Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity. Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-52940-9.
- Gibb, H. A. R. (1923). The Arab Conquests in Central Asia. London: The Royal Asiatic Society. OCLC 685253133.
- Hawting, G. R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (2nd Edition). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Powers, David Stephan (1990). The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid. New York: State University of New York Press.
- Shaban, M. A. (1979). The ʿAbbāsid Revolution. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-29534-3.
Lihat pula
Hisyam bin Abdul Malik Marwani Cabang kadet Bani Umayyah Lahir: 691 Meninggal: 6 Februari 743
| ||
Jabatan Islam Sunni | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Yazid bin 'Abdul Malik |
Khalifah 26 Januari 724 – 6 Februari 743 |
Diteruskan oleh: Al-Walid bin Yazid |