Tiang Bisj
Bisj Pole juga dieja sebagai Bis Pole adalah artefak yang digunakan dalam ritual keagamaan di Kepulauan Pasifik Selatan. Bisj Pole ditemukan di Amerika Utara, tetapi lebih sering di Selandia Baru, Vanuatu, terutama di daerah Asmat (Papua Nugini), dan sepanjang pantai casuarinan.[1]
Deskripsi
Tingginya berkisar antara 12 hingga 26 kaki (3,7 hingga 7,9m). Terdiri dari figur-figur berukir, yang dianggap mewakili leluhur yang terbunuh oleh musuh. Disusun bertingkat satu per satu diatas ukiran yang lain. Rangkaian kompleks tersebut berakhir dengan ornamen hiasan kerawang yang terbuat dari proyeksi akar datar dari batang pohon yang ditebang. Pohon itu diukir terbalik sehingga akarnya menonjol keluar dari perut tokoh paling atas. Tonjolan seperti sayap atau ' tsjemen ' ini diukir menjadi pola seperti bentuk anak-anak dan burung sering dianyam di dalamnya. [1][2]
Tiiang-tiang berfungsi sebagai penanda bagi orang-orang mati, dan dinamai berdasarkan ritual yang mereka bentuk sebagai pusatnya, yaitu bisj. Tiang- tiang bisj tersebut diukir dari pohon pala liar oleh pemahat-pemahat agama suku Asmat setelah seorang anggota dibunuh oleh suku lain dari pihak musuh. Setelah tiang tersebut dicat dan didekorasi, kemudian diikat ke perancah depan rumah seorang pria. Tempat dari tiang tersebut tetap dipajang selama upacara Bisj Pole berlangsung. [2][3][4]
Makna Simbol
- Simbol-simbol phallic melambangkan kekuatan dan kejantanan leluhur dan menjaga pejuang dalam misi pengayauan.
- Simbol-simbol canoe prow melambangkan perahu yang akan membawa arwah yang telah meninggal ke alam baka.
- Sosok manusia mewakili leluhur yang telah meninggal.
- Tiang-tiang bisj memberi penghormatan kepada leluhur untuk membawa harmoni dan kekuatan spiritual kepada masyarakat.[4]
Ritual
Masa Lampau
Orang Asmat meyakini bahwa jika ada seorang anggota suku atau komunitas diburu, maka arwah nya akan tinggal di desa dan akan menimbulkan ketidakharmonisan. Banyak ritual Bisj Pole termasuk menari, menyamar, menyanyi dan mengayau semuanya dilakukan oleh pria. Tiang-tiang bisj tersebut biasanya memiliki pangkalan yang dimaksudkan menahahan kepala musuh yang diambil dari misi mengayau. [4]
Secara tradisional, orang Asmat di barat daya Papua Nugini juga percaya bahwa tidak ada kematian yang disebabkan karena kecelakaan maupun penuaan. Sebaliknya, setiap kematian yang terjadi dianggap sebagai pekerjaan yang dibawa oleh musuh melalui pertempuran atau melalui sihir, oleh karena itu setiap kematian harus dibalaskan. Dalam daerah Asmat, pohon bakau yang diumpamakan sebagai musuh, akan ditebang secara seremonial . Ketika kulit dilucuti dari batang dan getah merah merembes dari kayu putih, mengingatkan akan darah prajurit yang ditaklukan. Setelah sebuah komunitas mengalami sejumlah kematian, mereka akan mengadakan pesta. Mereka menciptakan dan mendirikan tiang-tiang bisj yang merupakan pusat dari acara-acara seremonial ini. Tiang-tiang bisj adalah sarana untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mati dan, pada saat yang sama, menjanjikan pembalasan atas kematian mereka. [1] [5]
Bisj Pole ditafsirkan sebagai, bentuk lain dari "Kapal Jiwa" dalam sebuah seremonial upacara besar penuh dengan tokoh berukir, yang dikatakan memiliki kekuatan khusus. Tiang-tiang bisj didirikan menghadap sungai dan yang diumpamakan secara metaforis sebagai kano, untuk membawa arwah orang-orang mati menyeberangi lautan ke alam leluhur. Sementara bagian bawah tiang diumpamakan secara harfiah berbentuk sampan, yang bagian vertikal tiang terdiri dari angka-angka yang mewakili orang-orang mati tersebut. Setiap tiang bisj diukir menjadi satu bagian dari satu pohon bakau terbalik. Elemen proyeksi di bagian atas setiap tiang, dibuat dari salah satu akar pohon yang lebar dan rata, sedangkan akar lainnya dihilangkan. Tiang tersebut diukir dengan referensi lingga, simbol kesuburan, dan motif lain yang menggugah tradisi pengayauan. Kapal itu dimaksudkan untuk membawa jiwa-jiwa orang yang baru saja meninggal jauh dari desa dan untuk memberikan kekuatan magis kepada para pemula selama upacara dilakukan. Ritual yang mengelilingi tiang-tiang bisj menunjukan bahwa mereka bermaksud melindungi jiwa-jiwa orang mati, dan menjauhkanya dari desa. [1][6]
Di masa sebelumnya, upacara tiang-tiang bisj Asmat disertai dengan kunjungan pengayauan. Seperti dalam banyak budaya di seluruh dunia, bagi orang Asmat, kepala dianggap mengandung jiwa dan, karenanya, adalah bagian tubuh yang paling suci. Mengambil kepala orang lain adalah cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang diciptakan oleh kematian dalam suatu komunitas. Meskipun pengayauan berhenti di kalangan Asmat pada pertengahan abad ke-20, langkah-langkah yang terlibat dalam produksi Bisj Pole menggemakan elemen praktik itu. Pembuat tiang pertama-tama menebang pohon dan kemudian mengupasnya, melepaskan getah merah seperti darah dalam prosesnya. Selanjutnya, pohon itu dibawa ke desa, di mana ia diterima dengan antusiasme yang sama yang akan menyertai kedatangan mayat musuh. Akhirnya, setelah diukir, tiang yang lengkap didirikan di luar rumah pria, sama seperti kepala musuh yang dipenggal mungkin ditampilkan. Sesuai dengan anggapan bahwa dunia harus dijaga keseimbangannya, begitu upacara bisj selesai, tiang-tiang dipindahkan ke kebun kelapa sawit, di mana mereka dibiarkan membusuk. Saat membusuk, tiang-tiang tersebut memberi makan bumi, berkontribusi terhadap panen sagu yang melimpah, makanan pokok orang Asmat.[6]
Masa Kini
Saat ini pembuatan Bisj Pole terpisah dari konteks aslinya, yang sebelumnya digunakan dalam ritual. Bisj Pole tiidak hanya diproduksi orang-orang Assmat, tetapi juga orang-orang non-Asmat untuk mewakili seni Papua Barat dan Indonesia. Desainnya muncul di T-shirt, gantungan kunci, dan ukiran di berbagai situs penting seperti Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Bisj Pole juga digunakan untuk mempromosikan pariwisata dan juga diplomasi budaya Indonesia. [6][7]
Novel "Ritual of the Dead: An Artifact Mystery"
Ritual of the Dead: An Artifact Mystery merupakan novel karya Jennifer S. Alderson. Novel ini didasarkan pada pameran seni Asmat yang sebenarnya, dengan judul, Bis Poles: Sculptures from the Rain Forest. Sejarah dibalik ritual, orang Asmat, Papua Nugini, merupakan beberapa hal yang dibahas dalam novel ini. Terdapat beberapa fakta juga bahwa Bisj Pole dipajang di beberapa museum di Eropa, diantaranya di Tropenmuseum , Mission Museum Steyl , Wereldmuseum , National Ethnographic Museum , dan Museum Bronbeek .[2][8]
Pihak museum, terutama National Ethnographic Museum, khawatir bahwa ritual terkait seni dan ukiran kayu akan punah. Hal ini dilatarbelakangi banyaknya praktik perburuan kepala, ekspedisi pembalasan, dan juga kanibalisme pada masa lalu. Tapi setelah pengamanan dan kristenisasi Asmat praktik-praktik tersebut dilarang.[9]
Referensi
- ^ a b c d "Bisj pole | religious carving". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-02.
- ^ a b c "What is a Bis Pole and Why Were They Desired by Collectors? – Jennifer S. Alderson" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-02.
- ^ "Bisj Poles: Sculptures From the Rain Forest".
- ^ a b c "📌 Bisj Pole". Academic Dictionaries and Encyclopedias (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-03.
- ^ "Bis Pole".
- ^ a b c "Art: Bis Pole". Annenberg Learner (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-02.
- ^ "Beyond the Museum". Inside Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-03.
- ^ "Rituals of the Dead: An Artifact Mystery".
- ^ Zee, Pauline van der (2007). Bisj-poles: sculptures from the rain forest (dalam bahasa English). Amsterdam: KIT Publishers. ISBN 978-90-6832-478-5. OCLC 184829547.