Penyakit Jembrana
Penyakit jembrana adalah penyakit hewan menular pada sapi yang disebabkan oleh virus jembrana. Penyakit ini bersifat akut dan menimbulkan tanda klinis yang jelas pada sapi bali (Bos javanicus domesticus), sedangkan pada jenis sapi lainnya hanya bersifat subklinis dan tidak menunjukkan tanda klinis yang nyata.[1][2] Penyakit jembrana pertama kali ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada tahun 1964,[3] dan kini telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia.
Penyakit jembrana | |
---|---|
Sapi bali merupakan hewan yang rentan terhadap penyakit jembrana | |
Informasi umum | |
Spesialisasi | Penyakit infeksius |
Penyebab | Virus jembrana |
Aspek klinis | |
Gejala dan tanda | Demam, stomatitis, pembesaran kelenjar getah bening, keringat darah |
Tata laksana | |
Pencegahan | Pemberian vaksin |
Hewan peka
Spesies rentan bagi virus jembrana hanyalah sapi bali, baik jantan maupun betina.[2] Sapi termuda yang terinfeksi berumur 4 minggu dan tertua berumur 9 tahun.[4] Sapi yang bertahan hidup akan menjadi pembawa virus selama minimum 2 tahun setelah pulih dari kasus klinis, tetapi perannya dalam penularan penyakit tidak diketahui.[1][5]
Melalui infeksi buatan, sapi ongole (Bos indicus), sapi friesian holstein (Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), dan babi mengalami demam ringan setelah diinokulasi virus jembrana, tetapi tidak ada tanda klinis lain yang nyata.[1] Meskipun tidak menunjukkan tanda klinis yang jelas, kerbau, babi, kambing, dan domba mampu membawa virus jembrana hingga enam bulan.[2]
Cara penularan
Penularan terjadi melalui kontak langsung antara hewan terinfeksi dan hewan sehat. Selain itu, penularan juga terjadi serta secara tidak langsung melalui perantara vektor mekanis berupa serangga seperti lalat Tabanus rubidus dan jarum suntik.[6][7] Pada fase akut, partikel virus dapat dideteksi di air liur dan susu sapi.[5] Pada fase ini, titer virus jembrana dalam darah mencapai 108 ID50/ml (setara dengan 1010 hingga 1011 kopi genom virus/ml plasma)[8] dan akan turun hingga 101 ID50/ml pada 60 hari setelah pulih dari penyakit akut.[5] Sapi menjadi tertular melalui rute mulut (oral) dan hidung (intranasal), serta melalui lapisan mukosa pada konjungtiva.[5] Secara eksperimental, penularan penyakit dari sapi terinfeksi ke sapi peka terjadi ketika sapi-sapi tersebut ditempatkan pada ruangan yang sama.[5]
Tanda klinis
Masa inkubasi penyakit pada infeksi alami sulit diketahui, tetapi pada infeksi buatan masa inkubasinya berkisar antara 4-12 hari.[9][10] Sapi bisa mati mendadak tanpa tanda klinis yang dapat diamati pada kasus akut, terutama pada periode awal wabah.[10] Tanda klinis yang muncul secara konsisten yaitu demam tinggi dan pembesaran kelenjar getah bening.[11] Pembesaran ini terlihat jelas pada hari ke-5 hingga ke-7 di daerah bahu (preskapularis), depan lutut (prefemoralis), dan bawah telinga (parotis).[10][11] Diare berdarah dapat ditemukan beberapa hari setelah demam dan/atau menjelang kematian.[10]
Tanda klinis lain yang terlihat yaitu bercak darah pada kulit (keringat darah atau hemohidrosis) di daerah punggung, paha bagian dalam, perut, kaki, dan skrotum.[10][11] Keringat darah ini terjadi akibat gigitan serangga dan tidak teramati pada infeksi buatan karena hewan ditempatkan pada kandang bebas serangga.[11] Erosi membran mukosa dapat terjadi di vagina dan di bagian mulut seperti lidah, bibir bawah, dan gusi yang akan mengakibatkan peningkatan air liur (hipersalivasi).[11] Membran mukosa mulut, mata, dan alat kelamin juga bisa menjadi pucat. [10] Hewan yang bunting dapat mengalami keguguran yang terjadi pada semua masa kebuntingan.[11]
Diagnosis
Diagnosis banding untuk penyakit jembrana di antaranya demam kataral malignan (MCF), penyakit sampar sapi (rinderpest), diare ganas sapi dan penyakit mukosal (BVD-MD), penyakit mulut dan kuku (PMK), demam tiga hari (BEF), serta septisemia epizotik dan penyakit surra.[12] Penegakan diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksaan tanda klinis dan patologis, serta pengujian laboratorium.
Pemeriksaan klinis dan patologis
Penegakan diagnosis sementara di lapangan dapat dilakukan dengan melihat tanda klinis seperti demam tinggi, pembengkakan kelenjar getah bening, dan diare berdarah.[13] Apabila sapi telah mati, pemeriksaan bedah bangkai dapat dilakukan untuk melihat perubahan patologis berupa perdarahan pada seluruh organ, terutama pada organ limfoid atau jaringan limfoid, serta pembengkakan limpa.[13]
Pengujian laboratorium
Spesimen yang dapat diambil untuk pengujian laboratorium yaitu serum untuk uji serologi, serta darah dengan antikoagulan atau spesimen limpa segar dingin untuk uji reaksi berantai polimerase (PCR).[14] Untuk pemeriksaan histopatologi, spesimennya dapat berupa limpa, kelenjar getah bening, hati, ginjal, otak, paru-paru, dan kelenjar adrenal yang diawetkan dengan formalin.[14] Uji serologi dapat berupa ELISA untuk mendeteksi antibodi dan blot Western.[15] Karena antigen yang digunakan dalam uji ELISA mampu bereaksi silang dengan Lentivirus lainnya, maka uji ELISA jembrana memiliki spesifisitas yang rendah walaupun sensitivitasnya tinggi.[15] Uji imunohistokimia digunakan untuk melihat perubahan warna pada sel terinfeksi, sedangkan uji biologis dengan menyuntikkan spesimen pada sapi bali yang peka merupakan uji diagnostik yang paling tepat.[13][16] Di Indonesia, laboratorium referensi untuk diagnosis penyakit jembrana adalah Balai Besar Veteriner Denpasar.[14]
Catatan kaki
- ^ a b c Soeharsono dkk. 1990.
- ^ a b c Dirkeswan 2015, hlm. 11.
- ^ Dirkeswan 2015, hlm. 1.
- ^ Dirkeswan 2014, hlm. 50.
- ^ a b c d e Soeharsono dkk. 1995.
- ^ Dirkeswan 2014, hlm. 51.
- ^ Dirkeswan 2015, hlm. 12.
- ^ Kusumawati dkk. 2014.
- ^ Soeharsono dkk. 1997.
- ^ a b c d e f Dirkeswan 2015, hlm. 14.
- ^ a b c d e f Dirkeswan 2014, hlm. 52.
- ^ Dirkeswan 2014, hlm. 58.
- ^ a b c Dirkeswan 2015, hlm. 21.
- ^ a b c Dirkeswan 2015, hlm. 23.
- ^ a b Dirkeswan 2015, hlm. 20.
- ^ Dirkeswan 2015, hlm. 22.
Daftar pustaka
Buku
- Direktorat Kesehatan Hewan (2014). Manual Penyakit Hewan Mamalia, cetakan ke-2 (PDF). Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 49–60.
- Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana (PDF). Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
- Soeharsono, S.; Budiantono, A.; Sulistyana, K.; Tenaya, M.; Hartaningsih, N.; Dharma, D.M.N.; Soesanto, M.; Wilcox, G.E. (1997). "Clinical Changes in Bali Cattle and Other Ruminants Following Infection with Jembrana Disease Virus". Dalam Wilcox, G.E.; Soeharsono, S.; Dharma, D.M.N.; Copland, J.W. Jembrana Disease and the Bovine Lentiviruses: Proceedings of a Workshop 10-13 June 1996 Bali, Indonesia (PDF). ACIAR Proceedings. Brisbane: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm. 10–25. ISBN 1-86320-197-1. OCLC 37039261.
Jurnal
- Kusumawati, Asmarani; Wanahari, Tenri Ashari; Putri, Rizqa Febriliany; Untari, Tri; Hartati, Sri; Mappakaya, Basofi Ashari; Putro, Prabowo Purwono (30 Desember 2014). "Clinical and Pathological Perspectives of Jembrana Disease Virus Infection: A Review". Biosciences Biotechnology Research Asia. 11 (3): 1221–1225. doi:10.13005/bbra/1509. ISSN 0973-1245.
- Soeharsono, S.; Hartaningsih, N.; Soetrisno, M.; Kertayadnya, G.; Wilcox, G. E. (1990). "Studies of experimental Jembrana disease in Bali cattle. I. Transmission and persistence of the infectious agent in ruminants and pigs, and resistance of recovered cattle to re-infection". Journal of Comparative Pathology. 103 (1): 49–59. doi:10.1016/s0021-9975(08)80134-x. ISSN 0021-9975. PMID 2394846.
- Soeharsono, S.; Wilcox, G. E.; Putra, A. A.; Hartaningsih, N.; Sulistyana, K.; Tenaya, M. (1995). "The transmission of Jembrana disease, a lentivirus disease of Bos javanicus cattle". Epidemiology and Infection. 115 (2): 367–374. doi:10.1017/s0950268800058489. ISSN 0950-2688. PMC 2271399 . PMID 7589275.